tirto.id - Salah satu bentuk karya sastra adalah cerita pendek atau disingkat cerpen. Sebagai cerita yang singkat, lazimnya cerpen dibaca sekali duduk. Tidak seperti novel yang panjang dan memuat konflik kompleks, cerpen hanya menyajikan satu permasalahan secara gamblang. Lantas, apa struktur teks yang membentuk cerpen hingga menghasilkan kisah yang utuh?
Secara definitif, cerita pendek adalah karangan singkat mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan, sebagaimana ditulis Cicilia Ingga Kusuma dalam Bahasa Indonesia: Cerita Pendek (2016).
Untuk ukuran panjangnya, tidak ada patokan pasti terkait jumlah halaman atau jumlah kata dalam suatu cerpen.
Cerpen Umar Kayam atau Budi Darma yang dimuat di majalah Horison merupakan cerita panjang. Sementara itu, sebagian cerpen Agus Noor yang terbit di Koran Tempo atau Jawa Pos merupakan cerpen yang sangat pendek dan singkat.
Sebut saja, cerpen Agus Noor bertajuk "Enam Cerita" yang merupakan kompilasi 6 kisah berbeda-beda digabungkan untuk dimuat di rubrik cerpen Koran Tempo. Setiap cerita hanya terdiri dari tiga atau empat paragraf, bahkan ada yang hanya satu paragraf. Tren menulis cerita yang sangat singkat dan pendek ini dikenal sebagai fiksi mini.
Akan tetapi, tanpa memperdulikan panjang-pendeknya sebuah cerpen, yang paling penting, menurut Harris Effendi Thahar dalam Kiat Menulis Cerita Pendek (1999) cerpen harus ada (topik) yang dikisahkan, tokoh, dan karakter tokoh.
"Tidak penting tema dan alurnya, yang penting enak dibaca dan mengesankan, karena bagus bahasanya," tulis Thahar (hlm. 5).
Selain itu, pembeda cerpen dengan karya prosa yang lain adalah konflik yang diangkat cenderung fokus dan terpusat pada satu masalah.
Sementara itu, novel lumrahnya mengandung konflik yang kompleks dan karakter tokoh yang beragam, sedangkan cerpen tidak. Konfliknya terfokus pada satu masalah dan diulik secara tajam.
Contoh Cerita Pendek Singkat
Contoh cerita pendek berikut merupakan kisah yang sangat pendek, namun padu sebagai sebuah cerpen. Sebab, ia memenuhi unsur dan struktur teks sebuah cerita, yang meliputi pengenalan, pengungkapan peristiwa, pembukaan konflik, puncak konflik, dan ending.
Cerpen Sapardi Djoko Damono berikut bertajuk "Meditasi Sunan Kalijaga" yang tercantum dalam antologi Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon (2015). Cerpen singkat tersebut hanya terdiri dari 370 kata. Hal itu menunjukkan bahwa sebuah cerita dapat dijalin dengan utuh walau deskripsinya sangat singkat.
Meditasi Sunan Kalijaga
: Nano Riantiarno
Sahabatku, yang barusan lulus dari sebuah sekolah drama terkemuka di Jepang, mengajakku nonton pertunjukan drama “Meditasi Sunan Kalijaga” yang, menurut kata-katanya, “pasti akan sangat istimewa.” Aku sudah lama tidak pergi bersamanya; sekarang mumpung ada kesempatan bisa ngobrol lagi dengannya. Depan Gedung Kesenian dipenuhi calon penonton yang berpakaian rapi, ada yang pakai jas, ada yang pakai jaket. Aku jadi agak kikuk sebab hanya pakai baju lengan pendek dan celana jeans yang sudah agak belel. Sahabatku hanya pakai t-shirt.
Sampai di dalam gedung baru aku sadar bahwa memang perlu pakai pakaian lengkap karena AC-nya dingin sekali. Setelah pengumuman basa-basi tentang larangan memotret dan menyalakan telepon seluler, layar dibuka. Lampu gedung dimatikan. Panggung sepi dan gelap. Ketika menjadi semakin terang tampak bayang-bayang seorang mengenakan sorban yang duduk bersila. Tidak ada sosok lain. Tidak ada pula benda lain di panggung. Tidak ada suara. Tidak ada musik. Tidak ada gamelan.
Kami, penonton, semua menunggu. Sepuluh menit. Lima belas menit, tiga puluh menit. Tidak ada di antara kami yang tampak gelisah, semua tenang, setenang panggung. Dan kami dengan tajam mengarahkan pandangan ke panggung, menanti apa yang akan terjadi. Bayang-bayang sosok itu tetap tidak bergerak sama sekali.
Tetapi kami tidak pasrah, kami tetap menyimpan keingintahuan dan, tentu saja, kesabaran menunggu apa yang akan terjadi di panggung. Pada satu titik ketenangan kami, di panggung muncul seekor kucing dari arah kiri, menengok kiri-kanan seperti mencurigai sesuatu, lalu menyeberang panggung. Semua pandangan diarahkan kepadanya, kepala kami perlahan serempak bergerak dari kiri ke kanan sampai kucing itu hilang dari pandangan diikuti oleh paduan suara desah kami, sangat panjang dan pelan, menandakan kekaguman. Setelah itu panggung kembali lengang seperti semula.
Kami sangat lega, setidaknya ada sesuatu yang terjadi di panggung. Dan persis sejam setelah dibuka, layar pun ditutup. Lampu ruangan menyala pertanda pertunjukan usai. Seorang pembawa acara (tampaknya begitu) muncul dari arah kiri, membungkuk sopan.
“Terima kasih atas kehadiran Anda semua malam ini. Kami mohon maaf sebesar-besarnya bahwa selama pertunjukan yang seharusnya khusyuk tadi ada seekor kucing lewat. Itu di luar rencana kami. Untung saja Sunan Kalijaga tidak terganggu meditasinya oleh si kucing. Sekali lagi kami mohon maaf. Lain kali kami tidak akan membiarkan kucing berkeliaran di panggung.”
Gedung pun riuh-rendah oleh tepuk tangan kami. ***
Struktur Teks Cerpen dalam Karya Sastra
Agar tercipta cerpen yang padu dan utuh, unsur-unsur teksnya harus terpenuhi. Struktur cerpen membentuk jalinan cerita terkait hubungan kausalitas (sebab-akibat) atau secara kronologis.
Berikut ini struktur teks cerpen sebagaimana ditulis Sumiati dalam Bahasa Indonesia (2020). Struktur teks cerpen di bawah ini merupakan konsep cerita secara konvensional, serta tidak baku. Tidak harus selalu diterapkan dalam pembuatan cerpen.
Bagaimanapun juga, cerpen termasuk bagian dari seni literasi. Sebagai karya seni, tidak ada patokan pasti karena bersandar pada kreativitas yang dinamis.
1. Pengenalan Situasi Cerita (Eksposisi dan Orientasi)
Di bagian awal cerita, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antartokoh. Pengenalan situasi cerita juga kerap dijalin-kaitkan dengan deskripsi cerita.
Pada cerpen "Meditasi Sunan Kalijaga" di atas, paragraf pertama menjelaskan situasi cerita. Tokoh aku dan sahabatnya yang lulus dari sekolah drama di Jepang. Ada juga pembukaan adegan yang berlanjut untuk menonton pertunjukan "Meditasi Sunan Kalijaga" yang akan berlangsung di Gedung Kesenian. Semua deskripsi itu merupakan eksposisi atau pengenalan situasi cerita.
2. Pengungkapan Peristiwa (Komplikasi)
Dalam bagian ini, pengarang menghadirkan peristiwa awal yang menimbulkan masalah, pertentangan, ataupun konflik bagi para tokohnya.
Pada cerpen di atas, konfliknya tampak samar. Sebab, ia menghadirkan sindiran humor. Dalam kasus ini, sebuah pertunjukan biasanya menghadirkan gerak atau aksi di atas panggung.
Akan tetapi, pertunjukan "Meditasi Sunan Kalijaga" hanya menyajikan pertunjukan kosong yang hening dan tenang. Sapardi Djoko Damono bermain komedi dalam cerita tersebut karena isyarat meditasi memang menunjukkan sikap tenang dan tak ada gerak apa pun.
3. Pembukaan Konflik (Rising Action)
Pengarang mulai membuka masalah dengan melibatkan tokoh pada situasi yang sukar. Pada cerpen "Meditasi Sunan Kalijaga", pembukaan masalah itu dimulai dengan keheningan yang terus bertambah hingga 30 menit. Semua penonton di Gedung Kesenian terus menunggu, namun tidak terjadi apa pun di atas panggung.
4. Puncak konflik (Turning Point)
Bagian keempat pada struktur teks cerpen adalah puncak konflik yang ditandai dengan perubahan nasib tokoh atau beberapa tokohnya. Misalnya, apakah tokoh kemudian mampu menyelesaikan masalahnya atau gagal.
Pada cerpen "Meditasi Sunan Kalijaga", puncak konflik hadir ketika muncul seekor kucing di tengah panggung. Kucing itu menarik perhatian seluruh penonton, termasuk tokoh aku. Selain itu, penonton menganggap bahwa kucing itu merupakan bagian dari aspek pertunjukan drama tersebut.
5. Penyelesaian (Ending atau Koda)
Struktur teks cerpen yang terakhir adalah penyelesaian atau ending. Pada bagian ini, pengarang memaparkan sikap atau nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa konflik di atas.
Pada jenis penyelesaian yang lain, ada juga ending terbuka ketika akhir cerita dibikin mengambang. Dengan demikian, penyelesaian cerita diserangkan kepada pembaca.
Dalam cerpen "Meditasi Sunan Kalijaga", ending-nya tergolong ending terbuka, yaitu bentuk sindiran bahwa terserah pembaca membayangkan situasi cerita tersebut, entah sebagai ejekan terhadap drama serius yang nyeni, atau sekadar cerita komedi yang berakhir apa adanya.