tirto.id - Jika harus menyebut satu program yang paling identik dengan Presiden Prabowo Subianto, rasanya tidak berlebihan untuk menyebut Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai program tersebut. Program MBG amat sangat lekat dengan Prabowo sejak kampanye Pilpres 2024.
Dalam debat pamungkas calon presiden yang digelar pada 4 Februari 2024, misalnya, Tim Riset Tirto mencatat bahwa kata-kata yang berkaitan dengan MBG seperti “anak” (25 kali), “makan” (21 kali), dan “gratis” (14 kali) menjadi kata yang paling banyak diucapkan Prabowo dalam debat capres tersebut.
Program ini pun menjadi sangat populer, meski tak lepas dari pro dan kontra. Dalam survei nasional Poltracking bertajuk Evaluasi 1 Tahun Kinerja Prabowo-Gibran yang dilaksanakan pada 3–10 Oktober 2025, sebanyak 89,7 persen responden mengaku mengetahui program MBG. Menariknya, MBG juga dinilai sebagai program prioritas paling dirasakan manfaatnya dan dianggap paling tepat sasaran dibandingkan program lain.Dalam konteks janji politik, dukungan terhadap MBG menjadi salah satu faktor kunci kemenangan Prabowo-Gibran. Temuan survei Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyebut 92 persen responden yang memilih Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024 adalah karena program makan bergizi gratis.
“Sejarah” Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Sedari awal MBG tercantum dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran sebagai salah satu dari delapan program prioritas hasil terbaik cepat yang diawasi langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden. Program ini dirancang sebagai bagian dari strategi menuju Indonesia Emas 2045 dalam lima tahun ke depan.
Dalam pidatonya di Forbes Global CEO Conference, Prabowo mengungkap ide awal MBG muncul dari pengalamannya selama mengikuti beberapa pemilu, termasuk kekalahannya pada Pilpres 2009, 2014, dan 2019.
Selama kampanye yang ia jalani berulang kali, Prabowo mengaku kerap disambut anak-anak kecil. Ia terkejut saat mengetahui beberapa anak yang tampak berusia 4–5 tahun ternyata berusia 10 hingga 11 tahun. Pengalaman itu membuatnya menyadari langsung dampak tengkes (stunting) di lapangan.
"Dan itu banyak, saya terkejut, saya melihat langsung secara fisik, saya melihat [fenomena stunting], saya melihat malnutrisi, saya melihat kemiskinan dengan mata saya sendiri," ucapnya saat berpidato di Forbes Global CEO Conference yang berlokasi di salah satu hotel di Jakarta Selatan, Rabu (15/10/2025).
Dari fenomena tersebut, Prabowo kemudian menyadari ada sejumlah negara yang menyediakan program makan siang gratis. Misalnya, Inggris, Amerika Serikat, Brasil, hingga India.
Menurut Prabowo, salah satu negara tersebut memiliki pendapatan per kapita yang lebih rendah daripada Indonesia. Namun, pemimpin negara tersebut berani mengambil resiko untuk menerapkan program makan gratis.
"Jadi, saya bilang ke tim, kalau India bisa, kenapa Indonesia enggak bisa? India juga sudah menerapkan program itu sejak 2010," kata purnawirawan TNI itu.
Alasan Prabowo tersebut sebenarnya sangat berdasar. Secara global, program makan di sekolah menjangkau sekitar 368 juta anak atau setara 1 dari setiap 5 anak di dunia. Dalam konteks Indonesia, Studi CELIOS (2025) mengungkap bahwa hampir separuh keluarga di Indonesia masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan anak-anak mereka.
Sebanyak 49 persen rumah tangga melaporkan sering atau sangat sering mengalami kekurangan makanan, terutama di kalangan keluarga dengan penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Meski dinilai sebagai langkah mulia, studi CELIOS juga mencatat berbagai kekhawatiran masyarakat terhadap implementasi MBG.
Sekitar 46 persen responden khawatir soal penyaluran yang tidak efisien, disusul isu korupsi (37 persen), kualitas makanan (14 persen), dan tingginya biaya program (3 persen).
"Yang dibutuhkan dalam program perlindungan sosial bukan sekadar niat baik, tetapi perencanaan yang matang dan tata kelola yang jelas. Tanpa fondasi yang kokoh, sebaik apapun tujuan programnya, dampaknya akan tetap kurang dirasakan penerima manfaat," tulis CELIOS dalam studi tersebut.Implementasi dan Capaian Program MBG Sejauh Ini
Dalam rapat kabinet yang bertepatan dengan satu tahun pemerintahannya, Presiden Prabowo menyebut pelaksanaan Program MBG berjalan hampir sempurna. Ia mengakui adanya insiden keracunan di beberapa daerah, tapi menilai jumlahnya sangat kecil dibanding total porsi yang telah didistribusikan–sekitar 8.000 dari 1,4 miliar porsi atau setara 0,0007 persen.
"Masih dalam koridor error yang manusiawi. Kalau tidak salah, kekurangannya adalah katakanlah angka yang sakit itu adalah mungkin sekitar 0,0007 [persen] yang berarti 99,99 persen berhasil," ucap Prabowo dalam Rapat Kabinet di Istana Presiden, Senin (20/10/2025).
Per Oktober 2025, pemerintah telah mendirikan 12.508 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia dan menjangkau sekitar 36,7 juta penerima manfaat, termasuk anak usia PAUD, siswa SD hingga SMA, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.Presiden Prabowo mencontohkan pengalaman Brasil yang membutuhkan waktu 11 tahun untuk mencapai 40 juta penerima manfaat. Indonesia, kata Presiden, dalam waktu kurang dari satu tahun sudah mampu menjangkau 30 juta penerima.
Sebagai informasi, pemerintah awalnya menargetkan MBG dapat menjangkau 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Meski demikian, perkembangan terbaru menunjukkan adanya penyesuaian.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan bahwa target tersebut diundur, dengan proyeksi baru bahwa 82,9 juta penerima manfaat akan tercapai pada Februari 2026.
Sementara itu, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa hingga 8 September 2025, realisasi anggaran Program MBG baru mencapai Rp13 triliun atau 18,3 persen dari total pagu APBN 2025 sebesar Rp71 triliun.
Sebaran penerima MBG tercatat sebagai berikut: Jawa 13,26 juta orang, Sumatera 4,86 juta, Sulawesi 1,70 juta, Kalimantan 1,03 juta, Bali–Nusa Tenggara 1,34 juta, dan Maluku–Papua 0,52 juta orang.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menegaskan, jika serapan anggaran tetap rendah hingga akhir Oktober, pihaknya akan menarik dana MBG dari BGN. Dana yang tidak terserap itu akan dialihkan untuk membayar utang atau mengurangi defisit.
“Kalau di akhir Oktober kita bisa hitung dan kita antisipasi penyerapan hanya akan sekian, ya kita ambil. Kita sebar ke tempat lain atau untuk mengurangi defisit atau untuk mengurangi utang. Jadi, pada dasarnya tidak ada uang nganggur di departemen ataupun di kementerian,” katanya dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
Masalah Tata Kelola Hingga Lemahnya Sistem Keamanan Pangan
Pakar Global Health Security dari Griffith University, dr. Dicky Budiman, menilai bahwa MBG secara prinsip adalah kebijakan yang strategis dan visioner. Menurutnya, program ini merupakan bentuk investasi jangka panjang dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi anak sejak usia sekolah.
“Namun, setelah hampir satu tahun implementasi, program ini masih menghadapi tantangan serius. Khususnya, pada aspek tata kelola, pengawasan mutu, dan sistem keamanan pangan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (22/10/2025).
“Dengan kata lain, pelaksanaan MBG kuat di niat dan konsep tapi lemah di sistem dan kontrol lapangan. Program sebesar dan sepenting ini memerlukan standar yang sama ketatnya dengan sistem logistik vaksin karena menyangkut kesehatan masal dalam skala nasional yang tidak boleh dinegosiasikan dan tidak boleh dipertaruhkan,” sambungnya.
Senada, Associate Professor Public Health Monash University Indonesia, Grace Wangge, menyebut MBG masih menghadapi persoalan serius dalam aspek tata kelola. Salah satu masalah utama yang ia soroti adalah ketiadaan aturan yang jelas, terutama dalam hal kolaborasi lintas sektor.
Menurutnya, persoalan ini tidak hanya berkaitan dengan implementasi teknis, seperti Standar Pelayanan Pangan Gizi (SPPG) di tingkat hilir, melainkan menyangkut keseluruhan desain dan koordinasi program secara menyeluruh.
“Tujuan dan ukuran capaian yang mau dicapai juga berubah-ubah terus, mulai dari mau mengentaskan stunting, jadi meningkatkan prestasi, jadi jumlah penerima, jadi jumlah porsi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (22/10/2025).
Faktor utama yang menyebabkan ketidakjelasan ini, menurut Grace, adalah lemahnya koordinasi antarlembaga. Hal ini sangat terasa terutama dalam aspek pencegahan dan mitigasi terhadap kasus keracunan makanan.
Grace menegaskan bahwa penanganan isu seperti ini tidak cukup hanya dilakukan oleh BGN, tetapi membutuhkan peran yang lebih luas dan terstruktur dari berbagai pihak.
Ketiadaan Payung Hukum
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai akar persoalan Program MBG terletak pada ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025.
“Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik," kata Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, dalam keterangan pers (19/9/2025).
CISDI menyebut, meskipun bertujuan meningkatkan status gizi, MBG sejak awal tidak dipersiapkan secara matang–baik dari sisi regulasi, keamanan pangan, kecukupan nutrisi, hingga sistem monitoring dan evaluasi.
Hingga delapan bulan berjalan, program yang dijalankan secara terpusat oleh BGN ini masih belum memiliki payung hukum berupa peraturan presiden maupun regulasi teknis lainnya.
Diah mengatakan, absennya payung hukum MBG dan panduan teknis juga minimnya sistem pengawasan telah memicu berbagai macam persoalan di lapangan.
“Dampaknya, tata kelola kelembagaan menjadi tidak jelas, dari koordinasi antarkementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak,” tulis CISDI dalam keterangan pers (19/9/2025).
Grace dari Monash University Indonesia, tak menampik bahwa payung hukum amat urgen bagi program MBG di situasi maraknya kasus keracunan saat ini. Apalagi, tidak ada tanda-tanda pemerintah ingin melakukan moratorium program MBG.
Tetapi, bagi Grace, payung hukum dalam bentuk undang-undang (UU) tidak perlu dilakukan terburu-buru. Untuk konteks saat ini, akan lebih tepat bila lebih dulu mengeluarkan peraturan yang dapat diproses cepat di situasi genting, seperti perpres.
Di Jepang, misalnya, School Lunch Act baru terbit pada 1954, sementara program makan siangnya sendiri sudah berlangsung sejak 1890-an.
Grace pun menekankan, jangan sampai UU MBG nantinya melibas semua upaya program gizi masyarakat yang lain sehingga menjadikan MBG semacam super program.
“Perpres seharusnya lebih tepat untuk membantu koordinasi antarkementerian. Untuk mematenkan program di masa mendatang, kalau kemudian membahas UU boleh dilakukan. Untuk membuat UU kan perlu proses panjang dan kajian mendalam,” ucap Grace kepada wartawan Tirto, Kamis (2/10/2025).
Landasan hukum tata kelola MBG juga harus mengatur soal ukuran yang jelas dalam melakukan tindakan preventif dan reaktif terhadap munculnya kasus keracunan massal yang sudah pasti jadi risiko terbesar MBG. Payung hukum juga mesti memuat mekanisme sanksi sesuai tingkatan bagi pihak yang terbukti lalai atau sengaja menyebabkan keracunan.
“Soal lebih aman dan lancar tentunya tergantung pelaksanaan di lapangan, tapi kalau ada pelanggaran akan lebih mudah diidentifikasi siapa yang harus bertanggung jawab dan tidak ada kebingungan di masyarakat. Menciptakan juga rasa aman bahwa mereka dilindungi oleh hukum yang baik,” terang Grace.
Terbaru, Kepala BGN menyatakan bahwa peraturan presiden (perpres) terkait tata kelola MBG telah rampung dan siap didistribusikan.
“Sudah. Iya betul [perpres tinggal dibagikan],” ujar Dadan kepada Tirto, Selasa (21/10/2025).
Dia menjelaskan bahwa Perpres tersebut mengatur sanksi administratif bagi dapur MBG atau SPPG yang melanggar SOP, termasuk pemberhentian operasional. Meski begitu, Dadan menyebut sanksi semacam ini telah diberlakukan sebelumnya.
Maraknya Kasus Keracunan
Sorotan lain dari implementasi MBG adalah kasus keracunan makanan di sejumlah daerah. CISDI mencatat, sejak program diluncurkan pada 6 Januari hingga 19 September 2025, sedikitnya terjadi 5.626 kasus keracunan makanan di 17 provinsi. Data ini dihimpun dari pemantauan media serta pernyataan resmi Dinas Kesehatan daerah.
Sementara itu, BGN melaporkan 6.517 penerima MBG jadi korban keracunan. Jumlah korban itu tersebar di 75 kasus keracunan yang terjadi sejak Januari hingga September 2025. Lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat 5.207 siswa terdampak dari 60 kasus hingga 16 September 2025, dengan Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah kasus terbanyak, terutama pada Agustus.Salah satu insiden terbesar terjadi di Kabupaten Bandung Barat saat lebih dari 500 siswa dilaporkan mengalami gejala keracunan pada 24 September 2025. Di waktu hampir bersamaan, 277 siswa SD hingga SMA di Kabupaten Banggai Kepulauan juga mengalami keracunan usai mengonsumsi menu MBG pada 17 September.
Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta sekaligus Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menyebut berulangnya insiden keracunan dalam MBG ini menunjukan suatu kelemahan dalam konteks implementasi food safety atau keamanan pangan.
“Berulangnya insiden keracunan dalam MBG ini menunjukan suatu kelemahan dalam konteks implementasi food safety atau keamanan pangan. Ada sistem yang tidak berjalan baik sehingga pengelolaan pangan itu di tingkat lokal [beberapa wilayah],” ujar Mutia saat dihubungi Tirto, Kamis (24/4/2025).
Dari aspek food safety, Mutia menambahkan ada sejumlah faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah terhadap penyedia unit makanan MBG ke depannya agar permasalahan seperti keracunan ini tidak terjadi lagi.
Yang pertama adalah aspek rantai pasokan. Pemerintah harus memastikan bahwa bahan mentah yang digunakan dalam kondisi baik mulai dari sisi penyimpanan hingga proses pengolahan.
Mutia menambahkan, ada sejumlah langkah preventif yang bisa dilakukan pemerintah dalam kasus ini. Pertama, pastikan ada sertifikasi keamanan pangan bagi penyedia-penyedia MBG. Kedua, buat sistem digital untuk monitoring pelaporan real time.
Nantinya, sistem ini diharapkan bisa dipantau oleh semua pihak termasuk penyedia, pihak sekolah, dinas kesehatan, dan BGN untuk memastikan kualitas dan ketepatan waktu makanan yang diterima siswa.
“Ketiga, audit harus bagus. Inspeksi mendadak harus rutin dilakukan untuk memastikan bahwa kritikan control point yang saya sampaikan sudah aman. Keempat, kasihlah pelatihan berkala untuk penyedia MBG ini agar semua komponen mengerti artinya food safety,” tutup Mutia.
Soal ini, BGN menyebut pihaknya tengah mempersiapkan seluruh SPPG agar memiliki dua jenis sertifikasi utama, yakni Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) serta Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Peraturan tentang itu disebutnya telah sah sejak 20 Juni 2025.“Karena ada dua yang kami sudah buat keputusannya di Badan Gizi Nasional yang sudah saya tandatangani tanggal 20 Juni 2025, yang memang kami sedang mempersiapkan seluruh SPPG memiliki dua sertifikasi tersebut,” kata Dadan.
Mekanismenya, apabila SPPG telah mengantongi SLHS, proses akan dilanjutkan dengan sertifikasi HACCP yang berfokus pada aspek keamanan pangan.
Masukan Pakar untuk Pelaksanaan MBG
Grace dari Monash University Indonesia menyatakan perlunya perumusan indikator yang jelas dan terukur untuk output, outcome, dan dampak dalam jangka 1, 3, 5, 10, hingga 20 tahun. Pendekatannya harus berbasis program, bukan proyek, agar perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi berjalan menyeluruh dan berkesinambungan.
“Harus jelas penyusunan, pemantauan, dan evaluasinya. Tempatkan tenaga yang paham gizi, kesehatan, dan manajemen program kesehatan di BGN,” ujarnya.
Sementara itu, dr. Dicky menekankan perlunya pergeseran paradigma dari program pembagian makanan menjadi sistem pangan publik berbasis jaminan mutu dan risiko kesehatan.
Rekomendasi pertamanya adalah membangun sistem manajemen risiko dan keamanan pangan nasional untuk MBG dengan pendekatan HACCP di seluruh rantai pasok, dari dapur sekolah, katering, hingga distribusi logistik.
Rekomendasi kedua adalah penguatan tata kelola dan transparansi, melalui penerapan digital traceability agar sumber dan proses pengolahan makanan dapat ditelusuri publik dan pengawas. Dia juga mengusulkan pembentukan badan pengawas independen lintas kementerian untuk mencegah konflik kepentingan dan memperkuat akuntabilitas.
Selain itu, penting dikembangkan sistem surveilans pangan dan mekanisme respons cepat, terutama di sekolah dan fasilitas penerima MBG. Setiap kasus keracunan harus ditangani transparan melalui investigasi epidemiologis, dan hasilnya diumumkan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.
Rekomendasi terakhir dari Dicky adalah menjadikan kebijakan MBG berbasis evidence-based policy–dirancang sebagai intervensi gizi dan kesehatan masyarakat berbasis data, bukan sekadar proyek logistik atau pembagian makanan.
Evaluasi berkala oleh lembaga riset independen diperlukan untuk menilai efektivitas, efisiensi anggaran, dan dampak kesehatan.
“Sekali lagi, program MBG adalah kebijakan besar yang sangat potensial untuk meningkatkan status gizi nasional. Tapi, tanpa tata kelola yang kuat dan sistem keamanan pangan berbasis risiko, program ini bisa berubah jadi public health threat, jadi ancaman bahkan,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id





































