Menuju konten utama
Setahun Prabowo-Gibran

Pengangguran Terbuka Turun ke 4,76%, "Ditolong" Ojek Online

Kebijakan ketenagakerjaan tak cukup hanya ciptakan lapangan kerja, tapi harus memastikan hak atas pekerjaan layak.

Pengangguran Terbuka Turun ke 4,76%,
Header Decode 3 - 1 Tahun Pemerintahan Prabowo Gibran. tirto.id/Fuad

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memulai pemerintahannya dengan membawa optimisme janji penciptaan 19 juta lapangan kerja. Kini, memasuki tahun pertamanya, pemerintahan Prabowo-Gibran menilai tren penyerapan tenaga kerja menunjukkan hasil positif seiring pelaksanaan berbagai program prioritas nasional.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melaporkan, pada tahun pertama pemerintahan ini tercipta 665 ribu lapangan kerja baru atau hampir tiga kali lipat dibandingkan periode awal pemerintahan sebelumnya yang di bawah 200 ribu per kuartal.

“Dari sisi capaian kualitatifnya, berbagai ukuran mengenai masalah penciptaan lapangan kerja, kuartal 2 kemarin mampu menciptakan 665 ribu. Dan saya kira ini kalau dibandingkan 5 tahun lalu yang di angka sekitar 220.000 ini juga 3 kali lipat," ujar Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono, dikutip Antara, Jumat (17/10/2025).

Janji penciptaan 19 juta lapangan kerja tersebut menjadi komitmen utama pasangan Prabowo-Gibran sejak masa kampanye. Dalam Debat Cawapres 2024, Gibran menegaskan komitmen melanjutkan hilirisasi, tidak hanya di sektor pertambangan, tetapi juga pertanian, perikanan, dan digital. Ia juga menekankan pemerataan pembangunan di luar Jawa melalui pengembangan UMKM dan ekonomi kreatif.

"Kita punya 64 juta UMKM yang menyumbangkan 61 persen untuk PDB kita. Jika 4 langkah tadi bisa kita penuhi insyaallah akan terbuka 19 juta lapangan pekerjaan," kata Gibran.

Strategi Pemerintah Ciptakan Lapangan Kerja

Komitmen pemerintah memperluas lapangan kerja diwujudkan melalui Paket Ekonomi Penyerapan Tenaga Kerja 2025. Paket kebijakan ini mencakup lima program utama: Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, Kampung Nelayan Merah Putih, revitalisasi tambak Pantura, modernisasi kapal nelayan, dan replanting perkebunan rakyat.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada program strategis yang berdampak langsung terhadap penyerapan tenaga kerja. Salah satunya Koperasi Desa Merah Putih yang ditargetkan menyerap 681 ribu pekerja baru pada 2025 dan dapat meningkat hingga 1 juta orang pada akhir tahun.

Kampung Nelayan Merah Putih menjadi prioritas dengan target pembangunan 100 desa nelayan tahun ini. Program ini disebut berpotensi menyerap 8.645 tenaga kerja. Dalam jangka panjang, program ini akan diperluas hingga 4 ribu titik yang diproyeksikan menciptakan 200 ribu lapangan kerja baru.

Pemerintah juga memperkuat sektor kelautan melalui revitalisasi tambak Pantura seluas 200 hektare yang diperkirakan menyerap 168 ribu tenaga kerja, serta modernisasi kapal nelayan untuk mendukung produktivitas maritim.

Di sektor pertanian, program replanting 870 ribu hektare perkebunan rakyat berpotensi menciptakan lebih dari 1,6 juta lapangan kerja dengan komoditas utama tebu, kakao, kelapa, kopi, mete, dan pala.

Selain melalui paket ekonomi tersebut, Prabowo juga menyoroti penciptaan 1,5 juta lapangan kerja melalui pendirian Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).

"Para pakar ekonomi mengatakan kepada saya bahwa setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen dapat menciptakan sekitar 400 ribu lapangan kerja. Nah, kita sudah menciptakan 1,5 juta lapangan kerja, itu setara dengan 3 persen pertumbuhan," tuturnya.

Penurunan tingkat pengangguran 2025

Pencari kerja mencari informasi lowongan kerja saat bursa kerja di Gedung Juang, Kota Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (29/8/2024). ANTARA FOTO/Henry Purba/agr/rwa.

Realita Ketenagakerjaan di Indonesia

Presiden Prabowo mengklaim tingkat pengangguran Indonesia kini berada pada level terendah sejak krisis moneter 1998. Klaim ini merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025, TPT Indonesia tercatat 4,76 persen–turun 0,06 persen dibanding periode yang sama pada 2024 dan lebih rendah dari 5,46 persen pada 1998. Meski begitu, BPS juga mencatat tambahan 83.450 penganggur baru sehingga total pengangguran mencapai 7,28 juta orang.

Di sisi lain, jumlah penduduk bekerja meningkat menjadi 145,7 juta orang–naik 3,59 juta dibanding tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, 96,48 juta bekerja penuh waktu dan 37,62 juta bekerja paruh waktu.

Namun, capaian tersebut masih tertinggal dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Berdasarkan data Trading Economics, dengan TPT 4,76 persen atau 7,28 juta penganggur, Indonesia memiliki tingkat pengangguran tertinggi di kawasan.

Sebagai perbandingan, Filipina mencatat sekitar 1,95 juta penganggur (Juni 2025), Malaysia sekitar 518,7 ribu, dan Singapura hanya 80,9 ribu (Desember 2024).

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai capaian pemerintah selama satu tahun terakhir masih bersifat semu. Menurutnya, klaim penurunan tingkat pengangguran itu tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan.

Bhima menjelaskan, serapan tenaga kerja dari investasi justru melemah. Berdasarkan data BKPM Kuartal III 2025, setiap investasi senilai Rp1 triliun hanya mampu menyerap 1.417 tenaga kerja–turun dibanding Kuartal III 2024 yang mencapai 1.506 orang.

Hal ini, katanya, menunjukkan lemahnya penyerapan investasi padat karya. Padahal, sektor tersebut sangat dibutuhkan untuk menyerap angkatan kerja Indonesia yang besar.

Bhima menyinggung juga data BPS yang mencatat 20,1 juta orang bekerja tanpa dibayar pada Februari 2025, sementara 59,4 persen pekerja berada di sektor informal, termasuk gig economy seperti ojek daring (ojol) dan kurir.

“Sebagian yang jadi pengangguran akhirnya lebih terserap di sektor informal. Angka pekerja informalnya 59,4 persen, sebagian di gig economy jadi ojol dan kurir. Itu bukan capaian yang bagus karena kerja di gig economy adalah survival mode [kondisi bertahan hidup],” ujar Bhima kepada Tirto, Jumat (24/10/2025).

Peneliti CELIOS lainnya, Nailul Huda, menegaskan bahwa penurunan TPT tidak otomatis menandakan peningkatan kualitas kerja. Dia menyebut proporsi pekerja informal meningkat dari 56 persen pada 2018 menjadi 60 persen pada 2025. Itu adalah tengara tren informalisasi tenaga kerja.

“Di sisi lain, pekerja informal masih belum terlindungi dengan berbagai program perlindungan sosial. Kesejahteraan pekerja informal pun masih jauh dari kata baik. Jadi saya melihat capaian di bidang ketenagakerjaan ini masih sangat semu,” ujar Huda kepada Tirto, Jumat (24/10/2025).

Peneliti ketenagakerjaan dan Dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Tidar, Anindya Dessi Wulansari, menyebut regulasi ketenagakerjaan Indonesia mendorong fleksibilisasi kerja yang menimbulkan “informalisasi formal”–kondisi pekerja tercatat bekerja, tetapi menghadapi kondisi rapuh, seperti kontrak pendek, pengalihan daya (outsourcing), kemitraan semu, atau magang tanpa jaminan hak.

“Akibatnya, banyak pekerja secara statistik dianggap terserap, tetapi secara substantif kehilangan perlindungan dasar, seperti upah layak, cuti, jaminan sosial, dan kepastian karier,” ujar Anindya kepada Tirto, Jumat (24/10/2025).

Penurunan tingkat pengangguran 2025

Sejumlah pencari kerja antre mengikuti bursa kerja di Gedung Juang, Kota Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (29/8/2024). ANTARA FOTO/Henry Purba/agr/rwa.

Lebih jauh, karena sistem kerja fleksibel kini diformalisasi dalam kategori pekerjaan formal, statistik tidak lagi mampu membedakan pekerja terlindungi dan tidak terlindungi.

“Dengan demikian, perbaikan angka ketenagakerjaan justru dapat menutupi realitas baru pasar kerja yang semakin tersegmentasi dan eksploitatif, menjadikan statistik bukan sekadar alat ukur melainkan alat legitimasi bagi politik ekonomi yang menormalisasi kerja fleksibel sebagai wujud kemajuan semu,” sambungnya.

Dari sisi pelaku usaha, Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, juga turut menyoroti menurunnya penciptaan lapangan kerja baru akibat perubahan tren investasi dari padat karya ke padat modal.

“10 tahun yang lalu itu masih Rp1 triliun investasi masih menyerap 4 ribu [tenaga kerja], sekarang sudah 1.000-an. Jadi, memang penurunannya sudah sangat berbeda dibandingkan dengan sebelumnya,” katanya saat Konferensi Pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

Menurut Shinta, pergeseran investasi ke sektor hilirisasi mineral dan otomatisasi industri menjadi faktor utama penurunan serapan tenaga kerja. Rendahnya daya saing investasi Indonesia, tercermin dari rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang tinggi, juga membuat investasi kurang efektif menciptakan pekerjaan.

Data Kementerian Investasi/BKPM mencatat realisasi investasi semester I 2025 mencapai Rp942,9 triliun–tumbuh 13,6 persen dibanding tahun sebelumnya, tapi hanya menyerap 1,26 juta tenaga kerja.

Di sisi lain, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat tajam. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan 42.385 kasus PHK sepanjang Januari–Juli 2025, naik 32,19 persen dari tahun sebelumnya. Salah satu kasus terbesar terjadi di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex Group), Sukoharjo, yang bangkrut dan memberhentikan 10.665 pekerja per 28 Februari 2025.

Persepsi Publik terhadap Kinerja Pemerintah di Bidang Ketenagakerjaan

Untuk menilai keberhasilan pemerintah dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) melakukan survei evaluasi satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Hasilnya menunjukkan mayoritas masyarakat masih belum puas terhadap kebijakan ketenagakerjaan.

Survei yang dilakukan dengan metodologi panel 120 jurnalis dari 60 media nasional dan survei publik terhadap 1.338 responden di seluruh Indonesia menunjukkan 33 persen responden menilai kebijakan ketenagakerjaan pemerintah buruk dan 17 persen menilai sangat buruk.

Menurut analisis CELIOS, penilaian negatif ini sejalan dengan kondisi di lapangan: PHK masih marak terjadi, terutama di sektor manufaktur. Kondisi ini lantas mendorong banyak pekerja beralih ke sektor informal akibat terbatasnya lapangan kerja formal.

Setelah satu tahun berjalan, masyarakat menilai kondisi ketenagakerjaan dan perlindungan pekerja belum menunjukkan peningkatan signifikan, terutama di tengah gelombang PHK di sektor digital dan manufaktur.

Temuan serupa disampaikan Indostrategi yang menempatkan bidang penciptaan lapangan kerja sebagai sektor dengan skor terendah (2,65) dalam evaluasi satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran.

Lembaga ini menilai sejumlah faktor global turut memperburuk situasi, seperti tarif tinggi Amerika Serikat, perang Rusia–Ukraina, serta pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat di bawah 3 persen.

Sementara dari dalam negeri, maraknya PHK di berbagai sentra industri semakin mempersempit peluang kerja. Karena itu, publik menantikan inovasi dan kebijakan nyata pemerintah untuk memperluas kesempatan kerja.

Senada, survei nasional Poltracking terhadap 1.220 responden pada 3–10 Oktober 2025 menunjukkan kesulitan mencari pekerjaan (10,3 persen) menduduki peringkat ketiga masalah utama yang paling banyak dirasakan masyarakat. Ia mengungguli isu korupsi, biaya pendidikan, dan kesehatan.

Sebagai informasi, Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) September 2025 menunjukkan bahwa masyarakat masih pesimistis terkait ketersediaan lapangan kerja. Hal ini tercermin dari Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) yang berada di zona pesimistis pada level 93,2. Data BI mencatat bahwa IKLK sudah berada di bawah angka 100, tanda pesimisme masyarakat, sejak Mei 2025.

Rekomendasi Kebijakan

Huda dari CELIOS menilai program pemerintah untuk meningkatkan jumlah pekerja masih berisiko gagal dan tidak berkelanjutan. Menurutnya, sebagian besar program bersifat jangka pendek dan berorientasi pada hasil instan, tanpa menyentuh akar persoalan ketenagakerjaan.

Dia menekankan, salah satu masalah utama yang membuat penyerapan tenaga kerja menurun adalah deindustrialisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, pembukaan pabrik baru sangat jarang terjadi, sementara pemerintah lebih banyak meluncurkan program seremonial dengan dampak sesaat.

“Yang ada adalah seremonial program pemerintah yang lagi-lagi dampaknya jangka pendek dan tidak sustain. Harusnya pemerintah memperbaiki iklim industri dengan memberantas korupsi dan masalah lainnya yang menghambat pertumbuhan industri,” ujar Huda.

Bhima dari CELIOS memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan ke pemerintah dalam hal ketenagakerjaan. Pertama, menghentikan efisiensi anggaran yang menekan serapan tenaga kerja di daerah.

Kedua, menyelamatkan industri padat karya yang sudah ada daripada fokus pada investasi baru padat modal, dengan mengalihkan insentif ke sektor yang membutuhkan dukungan agar PHK massal dapat dicegah.

“Ketiga, tekan MoU ke perusahaan yang menerima magang berbayar agar diterima menjadi pegawai setelah magang berakhir. Ini untuk menghindari kesalahan pada kartu prakerja, setelah dikasih uang dan pelatihan, tapi tidak jelas penempatan kerjanya, akhirnya menganggur lagi,” ujarnya

Anindya dari Universitas Tidar menekankan bahwa kebijakan ketenagakerjaan tidak cukup hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi harus memastikan hak atas pekerjaan layak dan perlindungan universal, termasuk jaminan sosial, upah layak, hak berserikat, dan akses pengembangan karier.

“Dengan demikian, hukum ketenagakerjaan ke depan harus memastikan bahwa setiap bentuk kontribusi ekonomi warga negara diakui, dijamin, dan dilindungi secara setara agar kemajuan teknologi benar-benar sejalan dengan kemajuan sosial dan keadilan ekonomi,” ujar Anindya.

Dalam RPJMN 2024-2029, pembukaan lapangan kerja menjadi salah satu prioritas nasional, terutama melalui pembangunan infrastruktur, koperasi, dan UMKM. Menanggapi hal tersebut Anindya menambahkan bahwa kebijakan pembangunan yang menekankan koperasi dan UMKM tanpa memperkuat regulasi perlindungan kerja cenderung mereproduksi pola distribusi risiko sosial dari negara kepada masyarakat.

“Pekerjaan yang tercipta mungkin banyak secara statistik, tetapi tetap berada dalam ketidakpastian dan kerentanan struktural. Keberhasilan menciptakan 19 juta lapangan kerja karenanya tidak dapat diukur hanya dari jumlahnya, melainkan dari sejauh mana negara memastikan pekerjaan tersebut layak, terlindungi, dan berkeadilan,” ujarnya.

Sementara itu, dari sisi pengusaha, Apindo mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis. Beberapa rekomendasi yang diajukan antara lain meningkatkan efisiensi ICOR agar investasi lebih berdampak pada penciptaan lapangan kerja, memperkuat pelatihan vokasi untuk mencetak tenaga kerja terampil, serta mendorong investasi padat karya di sektor-sektor seperti UMKM dan pariwisata.

"Kita tidak bisa hanya terpaku pada angka investasi semata. Yang lebih penting adalah bagaimana investasi itu benar-benar dapat menyerap tenaga kerja,” ujar Shinta.

Dari sisi pemerintah, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli masih optimistis janji 19 juta lapangan kerja pada era pemerintahan Prabowo-Gibran akan tercapai. Dia menekankan pentingnya menunggu data resmi, seperti Sakernas dari BPS, untuk menilai pertumbuhan lapangan kerja dan tingkat pengangguran secara akurat.

“Dari situ nanti akan terlihat berapa yang kemudian penambahan dalam year to year, sektor formal, informal, kita tunggu. Jadi, enggak usah kita menduga, nanti akan ada data yang valid yang kita jadikan sebagai acuan," ujarnya di Kementerian Ketenagakerjaan, Senin (20/10/2025).

Menurut Yassierli, pemerintah terus memantau data resmi pengangguran dari Sakernas untuk mengambil langkah peningkatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Kemudian, pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai solusi peningkatan ekonomi sekaligus penciptaan lapangan kerja.

Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menyebut pemerintah terus mengambil langkah untuk meningkatkan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja, termasuk melalui program MBG, koperasi desa/kelurahan Merah Putih, hilirisasi sumber daya alam, dan perumahan rakyat.

"Jadi, kalau 19 juta itu dibagi 5 tahun, nanti kita lihat. Dan saya optimistis, ini kan baru 1 tahun, dan terlihat ada sebuah tren berbagai inisiatif-inisiatif yang luar biasa, dan saya yakin itu akan menciptakan lapangan kerja," tandasnya.

Baca juga artikel terkait LAPANGAN KERJA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Decode
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi