tirto.id - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah memasuki tahun pertamanya per Senin (20/10/2025). Selama satu tahun memimpin pemerintahan Republik Indonesia di tengah ketidakpastian global serta lebih dari 110 konflik bersenjata yang terjadi di berbagai belahan dunia, Prabowo menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap menjadi salah satu yang tertinggi di antara negara-negara anggota G20.
“Di tengah kondisi seperti ini di mana keadaan geopolitik begitu tidak menentu, geoekonomi pun tidak menentu, di mana mata rantai komoditas-komoditas strategis pasti terpengaruh oleh keadaan geopolitik dunia yang tidak menentu. Alhamdulillah kita mampu menjaga pertumbuhan ekonomi masih tetap tinggi dibandingkan seluruh dunia, kita berada di 5 persen,” ucap Prabowo dalam Rapat Kabinet Merah Putih yang berlangsung di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Prabowo juga menyoroti keberhasilan pemerintah dalam menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap berada di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), serta mengendalikan inflasi pada kisaran 2 persen–terendah di antara negara-negara anggota G20.
Prabowo menambahkan bahwa saat ini banyak negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi dan memiliki sektor industri yang kuat, tapi menghadapi tingkat inflasi yang juga sangat tinggi.“Ini jangan dianggap remeh. Banyak negara dengan industri bagus, tapi inflasinya tinggi. Kita justru berhasil menjaga stabilitas dan kepercayaan pasar,” katanya.
Sejak sebelum dilantik, Prabowo telah menyuarakan keyakinannya bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dalam dua hingga tiga tahun pemerintahannya. Terbaru, optimisme itu dia sampaikan dalam Forbes Global CEO Conference di Jakarta, Rabu (15/10/2025).Untuk mencapai target tersebut, Prabowo menyebutkan sejumlah program telah dijalankan, salah satunya penciptaan 1,5 juta lapangan kerja melalui pendirian Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
"Para pakar ekonomi mengatakan kepada saya bahwa setiap pertumbuhan ekonomi satu persen dapat menciptakan sekitar 400.000 lapangan kerja. Nah, kita sudah menciptakan 1,5 juta lapangan kerja, itu setara dengan tiga persen pertumbuhan," tuturnya.
Ekonom sekaligus Direktur Program dan Kebijakan PRASASTI, Piter Abdullah, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo bukanlah hal yang berlebihan alias masih realistis. Menurutnya, di tengah bonus demografi dengan mayoritas penduduk usia muda yang membutuhkan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi tinggi bukan sekadar target, melainkan keharusan.
“Saya sangat tidak sependapat kalau kita mengatakan pertumbuhan ekonomi 8 persen itu adalah sebuah hal yang mustahil. Itu salah besar. Kita punya potensi untuk tumbuh tinggi di atas 8 persen, bahkan di atas 10 persen seperti yang dialami oleh Cina,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (21/10/2025).
Bagi Piter, yang menentukan apakah target 8 persen itu realistis atau tidak bukanlah angka targetnya, melainkan kebijakan dan program konkret yang akan diambil.
“Kalau Presiden Prabowo mengambil kebijakan yang tepat dan menjalankan program yang benar, pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan hanya mungkin, tapi bisa sangat mudah dicapai,” ujar Piter.
Target Pertumbuhan Ekonomi Pemerintahan Prabowo
Sebagai landasan awal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 mencanangkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir masa pemerintahan Presiden Prabowo sebesar 8,0 persen.
Preseden sejarah menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia mampu mencapai pertumbuhan lebih tinggi dari 8,0 persen pada lima tahun berbeda–yakni pada 1968, 1973, 1977, 1980, dan 1995.
Perekonomian Indonesia–juga dunia–sempat mengalami turbulensi karena Pandemi COVID-19. Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat itu melakukan beberapa program untuk memulihkan perekonomian. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat pulih lebih cepat dibandingkan banyak negara lain.
“Pada tahun 2022, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3 persen dan tahun 2023 sebesar 5,05 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki modal yang cukup untuk mampu mencapai pertumbuhan ekonomi lebih dari 8,0 persen,” demikian tertulis di dokumen RPJMN 2025-2029.
Pertumbuhan ekonomi 8,0 persen kemudian dicanangkan sebagai salah satu sasaran pembangunan nasional oleh Pemerintahan Presiden Prabowo. Target pertumbuhan ekonomi itu bakal dicapai dengan skenario bertahap, dimulai dari pertumbuhan 5,3 persen pada 2025 dan menuju 8,0 persen pada 2029.
Namun demikian, sejumlah pihak memandang bahwa target tersebut kemungkinan besar tidak akan tercapai. Pasalnya, dua lembaga internasional, yaitu IMF dan Bank Dunia, telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi di bawah target pemerintah, yakni kurang dari 5 persen.Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi Oktober 2025, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,9 persen untuk 2025 dan 2026. Angka ini sebenarnya mengalami sedikit peningkatan dibandingkan proyeksi sebelumnya yang dirilis pada Juli 2025, yaitu 4,8 persen.
Sementara itu, berdasarkan asesmen serupa, Bank Dunia juga merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,8 persen, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 4,7 persen. Revisi ini tertuang dalam laporan terbaru World Bank East Asia and the Pacific Economic Update edisi Oktober 2025.
Kekhawatiran tersebut tampaknya mulai terbukti. Pada Kuartal I 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat hanya sebesar 4,87 persen, lebih rendah dibandingkan target yang ditetapkan maupun dibandingkan capaian pada kuartal tahun sebelumnya. Memasuki Kuartal II 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi menjadi 5,12 persen.
Meski mencatat pertumbuhan 5,12 persen pada Kuartal II 2025, sejumlah ekonom dan organisasi masyarakat sipil mempertanyakan validitas data tersebut. LPEM FEB UI memproyeksikan pertumbuhan hanya di kisaran 4,78-4,82 persen, sementara Bank Indonesia memperkirakan antara 4,7-5,1 persen. Artinya, data BPS justru melebihi batas atas proyeksi paling optimistis.
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti sejumlah kejanggalan dalam laporan BPS tersebut. Mereka bahkan mengirim surat kepada United Nations Statistics Division (UNSD) untuk meminta audit atas data BPS tersebut.
Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengkritisi pertumbuhan industri manufaktur yang disebut tumbuh 5,68 persen secara tahunan. Padahal, PMI manufaktur masih mengalami kontraksi dan kontribusinya terhadap PDB justru menurun dari triwulan sebelumnya.
“Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah, yakni 18,67 persen dibanding triwulan ke-I 2025 yang sebesar 19,25 persen. Yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya. Jadi, apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68 persen yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi.” ungkap Bhima, dikutip Selasa (12/8/2025).
Seperti disampaikan Bhima, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia memang meningkat. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan bahwa sepanjang Januari hingga Juli 2025, terdapat 42.385 kasus PHK–naik 32,19 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Peningkatan angka PHK ini sejalan dengan penutupan sejumlah pabrik di awal 2025. Salah satu kasus terbesar terjadi pada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex Group) di Sukoharjo, Jawa Tengah. Setelah dinyatakan bangkrut, sebanyak 10.665 pekerja kehilangan pekerjaan, dengan hari kerja terakhir jatuh pada 28 Februari 2025.
CELIOS juga menyebut adanya ketidaksesuaian antara data ekspor-impor yang tumbuh 10-11 persen dengan turunnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 22 persen secara tahunan (yoy). Lembaga tersebut turut mempertanyakan logika pertumbuhan Kuartal II yang justru lebih tinggi dari Kuartal I, meskipun periode sebelumnya bertepatan dengan Ramadan dan Idulfitri yang biasanya mendorong konsumsi.“Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadan-Idulfitri. Triwulan I 2025 saja hanya tumbuh 4,87 persen year on year, jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12 persen,” ujar ekonom CELIOS, Nailul Huda kepada Tirto, Senin (20/10/2025).
Kritik serupa juga datang dari INDEF. Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menyebut data BPS tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Beberapa sektor utama seperti industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan dinilai belum menunjukkan penguatan signifikan.
Misalnya, pertumbuhan sektor perdagangan versi BPS sebesar 5,37 persen bertentangan dengan keluhan asosiasi ritel yang melaporkan penurunan permintaan dan indikasi melemahnya daya beli masyarakat.
“Kalau kita melihat dari apa yang disampaikan oleh BPS terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini, salah satu yang perlu kita lihat kembali apakah pertumbuhan tersebut memang terproyeksikan di lapangan,” kata Andry dalam "Diskusi Publik: Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025", Rabu (6/9/2025).
Capaian Ekonomi di Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo
Ekonom Piter Abdullah dari lembaga think tank Prasasti menilai bahwa capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia selama satu tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum sepenuhnya memenuhi target yang telah ditetapkan.
“Dalam melakukan sesuatu, bagian yang paling sulit adalah di awal. Karena, apa yang kita rencanakan belum tentu semuanya berjalan sesuai rencana. Apalagi, kalau kita bicara soal kondisi Indonesia, yang semua orang tahu sangat kompleks dengan banyak persoalan,” ujarnya.
Piter menjelaskan bahwa kajian terbaru Prasasti mendapati sektor ekonomi dan industri masih berada pada kategori developing, artinya masih memerlukan banyak perbaikan.Menurutnya, sejumlah indikator menunjukkan stabilitas ekonomi telah dijaga—seperti inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil, serta penurunan angka kemiskinan. Namun, banyak indikator kinerja utama (KPI) yang belum mencapai sasaran, termasuk target dalam RPJMN.
Ekonom yang juga Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia sejauh ini masih cenderung stagnan. Menurutnya, salah satu penyebab stagnasi tersebut adalah pendekatan kebijakan ekonomi yang terlalu normatif dan berfokus pada konsumsi rumah tangga.
“Harusnya kalau pertumbuhan ekonomi itu ingin tinggi, maka perlu extra resources ya, usaha yang tidak normatif. Memang agak lebih sulit, contohnya mendorong ekspor, mendorong investasi. Itu lebih sulit daripada kita mendorong konsumsi. Karena, kalau mendorong konsumsi ya kasih aja BLT dan Bansos, naik daya beli,” ujar Esther kepada Tirto, Senin (20/10/2025).
Selain itu, Esther juga mengungkap sejumlah tantangan eksternal dan internal di balik upaya pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkannya. Dari sisi eksternal, gonjang ganjing akibat perang dagang menyebabkan PHK massal yang menyebabkan tekanan fiskal semakin berat.Faktor internal juga tak kalah pelik untuk diatasi demi mengejar target tersebut. Peningkatan defisit fiskal dari 2,5 persen menjadi 2,7 persen, misalnya, akan berdampak pada kemampuan pembayaran utang yang mencapai 40 persen terhadap PDB.
“Nah, di sisi lain, Indonesia memang harus tumbuh lebih dari 6 persen karena kalau tidak tumbuh, Indonesia sudah 32 tahun terjebak dalam negara yang posisinya kelas tengah atau kita sebut dengan middle income trap,” ujarnya.
Masih Realistiskah Target Pertumbuhan Ekonomi 5,3 persen Tahun Ini?
Terkait target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada 2025, Piter menilai angka tersebut masih realistis untuk dicapai, meskipun waktu yang tersisa sangat terbatas. Dia menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada capaian jangka pendek, melainkan lebih memaksimalkan empat tahun ke depan.
“Yang perlu dilihat oleh Presiden Prabowo bukan hanya tahun ini. Karena apa pun yang dilakukan sekarang dengan sisa waktu tinggal dua bulan tidak mudah untuk langsung mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi jauh lebih tinggi. Jadi, lebih baik Presiden melihat ke depan, ke sisa empat tahun masa pemerintahannya,” ujar Piter.
Pendapat berbeda disampaikan Ekonom CELIOS, Nailul Huda. Dia menilai target pertumbuhan ekonomi pemerintah untuk 2025 sulit tercapai. Huda memproyeksikan pertumbuhan hanya akan berada di kisaran 4,8 hingga 5,0 persen.
Menurutnya, target 5,2 hingga 5,3 persen kecil kemungkinan tercapai, kecuali pemerintah kembali "mengotak-atik" data seperti yang diduga pada rilis pertumbuhan Kuartal II 2025.
“Dengan melihat tren yang masih negatif, seperti daya beli masih melemah, lapangan kerja yang semakin susah, saya melihat potensi ekonomi tumbuh 5,2-5,3 [persen] sangat susah. Pun sejak awal, target tersebut sangat ambisius, tapi minim aksi,” ujarnya kepada Tirto, Senin (20/10/2025).
Huda menyoroti perekonomian Kuartal I 2025 justru mengalami pelemahan, meski bertepatan dengan Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendorong pertumbuhan.
Dengan realisasi pertumbuhan ekonomi Semester I hanya 4,99 persen, dia menghitung Indonesia perlu tumbuh 5,2 hingga 5,4 persen di sisa dua kuartal untuk mencapai target tahunan. Namun, karena Kuartal III telah terlewati dengan indikasi perlambatan, Kuartal IV harus tumbuh 5,5 hingga 5,6 persen—angka yang dinilainya sangat sulit dicapai.
“Triwulan III sudah terlewati dan tampaknya melambat. Triwulan IV harus tumbuh 5,5-5,6 persen dan itu sangat susah dilakukan. Jadi, saya tegaskan target tersebut tidak mungkin tercapai,” ujarnya.
Lalu, apa rekomendasi langkah evaluasi kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah ke depan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi?
Esther dari INDEF menilai bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen di 2029 sebagaimana ambisi Presiden Prabowo, Indonesia membutuhkan investasi hingga Rp14 ribu triliun dan rasio ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang lebih efisien.
Diketahui, data BPS mencatat skor ICOR Indonesia pada akhir 2023 berada di level 6,33. Angka ini mencerminkan masih tingginya investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan satu unit output pertumbuhan ekonomi.
“Artinya, investasi di Indonesia masih tergolong boros karena input yang besar tidak menghasilkan output yang sepadan,” jelas Esther.
Kepada pemerintah, Esther menggarisbawahi pentingnya penyusunan target ekonomi yang realistis dan berbasis data. Pemerintah perlu mempertimbangkan tantangan struktural dalam perekonomian nasional dan mengalihkan fokus dari kebijakan populis menuju kebijakan yang produktif.
Esther mengingatkan agar pemerintah mesti mulai mengalihkan fokus kebijakan dari konsumsi ke sektor-sektor yang lebih produktif dan berdampak jangka panjang, seperti peningkatan ekspor, investasi, dan iklim usaha yang lebih kompetitif.
"Kita perlu mendorong agar investasi lebih banyak masuk ke Indonesia dengan menciptakan iklim bisnis yang lebih efisien dan terjangkau. Saya yakin, jika ini dilakukan, pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat tercapai. Selain itu, meningkatnya investasi dan ekspor akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Piter dari Prasasti menilai pemerintah perlu mendorong belanja negara dan meningkatkan stimulus ekonomi.
“Pemerintah perlu menggejot belanja, meningkatkan stimulus, melakukan ekspansi belanja menggerakan ekonomi dan langkah ini yang sudah dilakukan oleh Menteri Keuangan yang baru,” ujarnya.
Namun, langkah ini harus dibarengi dengan dukungan nyata dari sektor riil melalui kebijakan-kebijakan kementerian teknis. Diperlukan sinergi antarkebijakan agar upaya mendorong pertumbuhan ekonomi tidak berjalan parsial.
“Jangan sampai Menteri Keuangan berjalan sendiri, sementara kementerian teknis tidak mendukung. Harus ada dukungan dari sisi deregulasi, pelonggaran di berbagai sektor, supaya apa yang dimaksud dengan ‘menggerakkan mesin ekonomi’ benar-benar bisa terjadi,” terang Piter.
Strategi Pemerintah Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi
Melalui keterangan resmi yang diterima Tirto, Badan Komunikasi Pemerintah RI menyebut pada tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah menitikberatkan kebijakan ekonomi pada upaya menjaga stabilitas sambil mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat secara langsung.
“Pemerintah memastikan bahwa ekonomi tidak hanya tumbuh, tetapi tumbuh dengan kualitas dan keberpihakan. Hasilnya, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kinerja ekonomi terbaik di dunia di tengah tekanan global,” terang Badan Komunikasi Pemerintah melalui keterangan resmi, dikutip Senin (20/10/2025).
Dari sisi langkah taktis, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, optimistis perekonomian Indonesia pada 2026 akan lebih cerah dibandingkan 2025. Keyakinan ini diawali oleh proyeksi pembalikan arah pertumbuhan ekonomi pada Kuartal IV 2025 yang diprediksi mencapai 5,5 persen.
"Kalau 5,5, itu memang kita ekspektasi ada perbalikan arah pertumbuhan ekonomi dengan triwulan keempat itu, Oktober, November, Desember, dua bulan dari sekarang," ujar Purbaya dalam Media Gathering APBN 2025, di Novotel, Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Menkeu Purbaya pun telah melakukan beberapa langkah taktis. Pertama, injeksi likuiditas dengan menggelontorkan dana sebesar Rp200 triliun ke sistem perbankan pada akhir September 2025. Menurutnya, langkah ini telah mendorong pertumbuhan uang primer mencapai 13,1 persen.
Kedua, akselerasi belanja pemerintah melalui kementerian/lembaga. Bahkan, Purbaya pun telah mengancam akan mengalihkan anggaran K/L jika penyerapannya tetap lambat di akhir tahun ini. Kombinasi stimulus fiskal dan moneter ini diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi Kuartal IV melampaui Kuartal III yang diproyeksi sekitar 5,1 persen.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi
Masuk tirto.id





































