tirto.id - “Kalau begini, saya mendingan naik motor lagi.” Suara Arief terdengar jelas dan tegas meski sepur dari arah Bogor melintas lewat ke arah Jakarta.
Suasana Stasiun Bojonggede cukup lengang pagi itu, masih dua jam sebelum azan salat Jumat. Arief sengaja menunda naik ke kereta yang baru saja meninggalkan stasiun untuk berbincang dengan reporter Tirto.
“Tidak keberatan, soal ini, saya emang pengen sambat,” kata Arief mantap ketika ditemui Tirto untuk diwawancarai.
Kami berbincang soal rencana pemerintah menerapkan skema penetapan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Wacana ini hendak diterapkan dengan alasan agar pemberian subsidi tarif KRL lebih tepat sasaran. Arief menilai alasan tersebut sebagai dalih yang konyol. Ia mempertanyakan cara berlogika pemangku kebijakan mengambil kesimpulan semacam itu.
“Ndak masuk akal mas, harusnya orang udah mau desakan gini naik KRL ya harus dikasih [insentif] lebih malah. Atau minimal, pelayanan dan fasilitas stasiun ditingkatkan, stasiun ini [Bojonggede] aja air dan tisunya masih suka habis,” ucap Arief.
Pria berusia 36 tahun yang tinggal di Kabupaten Bogor ini sehari-hari menggunakan kereta untuk sampai ke tempatnya bekerja di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Biasanya, ucap dia, Arief naik dari Stasiun Bojonggede atau Cilebut dan turun di Stasiun Tebet.
Ia berharap pemerintah berpikir ulang menggolkan wacana penyesuaian subsidi tarif KRL Jabodetabek berdasarkan NIK. Arief menekankan bahwa keluhan ini pasti bukan hanya datang darinya seorang.
“Kita yang naik KRL hampir tiap hari seminggu mah paham pasti. Berat ini ujungnya,” tutur dia.
Pernyataan Arief diaminkan oleh Nadia (20), mahasiswa salah satu kampus di Jakarta. Ia merasa rencana penyesuaian tarif KRL sama saja dengan kenaikan harga tiket. Pemerintah dinilai menggunakan bahasa yang halus untuk menyamarkan agenda aslinya.
“Bilang aja lah ada kenaikan harga tiket buat yang mampu. Masalahnya, memang bakal tepat sasaran itu subsidi pake NIK?” terang Nadia ketika ditemui Tirto di Stasiun Cikini, Jakarta, Jumat (30/8/2024) sore.
Nadia ragu kebijakan ini bakal tepat sasaran jika melihat rekam jejak pemberian insentif atau subsidi dari pemerintah kepada masyarakat kurang mampu. Ia menilai wacana penyesuaian subsidi tarif KRL berdasarkan NIK hanya mempertajam ketidakadilan di masyarakat.
“Sejujurnya emang judulnya bagus yah kasih subsidi tepat sasaran. Terus buat yang misal, ini ekonominya menengah gitu lah, enggak ada ya? Cuma naik aja gitu tarif kita?” keluhnya.
KRLMania – komunitas pengguna KRL Jabodetabek – turut menolak rencana penerapan subsidi KRL Jabodetabek berbasis NIK. Koordinator KRLMania, Nurcahyo, menyatakan rencana ini tidak akan menghasilkan kebijakan yang adil dan tepat sasaran.
Ia menegaskan bahwa KRL merupakan layanan transportasi publik yang seharusnya tidak didasarkan pada kemampuan ekonomi atau domisili penggunanya.
“Karena konsep subsidi transportasi publik berbeda dengan konsep bantuan sosial yang didasarkan pada kemampuan ekonomi,” kata Nurcahyo lewat keterangan tertulis, Jumat (30/8/2024).
Subsidi pemerintah terhadap transportasi macam KRL Jabodetabek, seharusnya dimotivasi kepentingan dalam mendorong penggunaan transportasi publik. Hal tersebut berguna untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mengurangi kemacetan, serta polusi udara.
Jika pemerintah merasa perlu memberikan tarif khusus untuk kelompok tertentu, KRLMania memberi rekomendasi untuk mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian.
Undang-undang itu memberikan pedoman yang jelas bahwa tarif khusus dapat diberikan kepada kelompok pelajar, lansia, dan penyandang disabilitas.
“Ini adalah kebijakan yang lebih adil dan terukur karena langsung menyasar kelompok yang rentan,” jelas Nurcahyo.
Ia menegaskan pengguna KRL telah memberikan kontribusi besar dalam mendukung keberlangsungan layanan ini selama bertahun-tahun. Padahal, masih banyak permasalahan yang harus diatasi pihak operator KRL.
Seperti keterlambatan kereta, kepadatan penumpang, serta kurangnya perawatan fasilitas umum semisal eskalator, lift, dan tempat duduk di stasiun dan dalam kereta. Kenaikan tarif tanpa diiringi perbaikan layanan dinilai akan membebani masyarakat.
“Wacana penerapan subsidi berbasis NIK jangan sampai digunakan sebagai alasan untuk menutupi rencana kenaikan tarif KRL,” tegas Nurcahyo.
Mengancam Kelas Menengah
Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menekankan implementasi subsidi tarif KRL berdasarkan NIK harus dihitung analisis untung dan ruginya dengan hati-hati. Pasalnya, sudah pasti rencana ini akan membuat tarif KRL berbeda-beda bagi setiap kelompok masyarakat.
“Kebijakan ini semakin memukul kelas menengah yang terus mengalami tekanan ekonomi seiring bertambahnya beban biaya hidup,” kata Media kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2024).
Idealnya, kata dia, justru pemerintah harus menyubsidi lebih banyak transportasi publik. Tarif tiket berbasis NIK dikhawatirkan mengurangi mobilitas sosial serta aksesibilitas pengguna transportasi publik.
Selain itu, subsidi berbasis NIK untuk menetapkan tarif, memerlukan akses dan penyimpanan data pribadi. Ini bisa memicu masalah privasi dan keamanan data jika tidak diantisipasi. Bila data tidak dikelola dengan baik, bisa terjadi penyalahgunaan atau kebocoran data.
“Sistem berbasis NIK dapat disalahgunakan oleh individu untuk membeli tiket dengan harga lebih murah menggunakan NIK orang lain, terutama jika tidak ada mekanisme verifikasi identitas yang ketat,” ujar Media.
Senada dengan Media, peneliti lain dari Celios, Nailul Huda, memandang kebijakan subsidi tarif KRL berdasarkan NIK berpotensi membebani kelompok ekonomi kelas menengah.
Saat ini saja, kata Huda, kelas menengah Indonesia masih amat membutuhkan peran pemerintah untuk menahan daya beli mereka.
Salah satu strategi yang bisa dilakukan, kata dia, dengan subsidi terhadap barang yang dikonsumsi kelas menengah. Subsidi dalam bentuk barang ini, artinya tidak ada pemisahan bagi masyarakat layak dan tidak layak menerima subsidi.
“Akan ada celah untuk dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak layak mendapatkan subsidi untuk menikmati subsidi PSO tersebut. Akan ada subsidi PSO yang tidak tepat sasaran,” kata Huda kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2024).
Bila dibuat subsidi tertutup, maka masyarakat kelas menengah diperkirakan bakal semakin tertekan. Sekarang saja kelompok ini sudah sangat tertekan kemampuan daya belinya dari berbagai kebijakan pemerintah. Kenaikan tarif KRL akan semakin memberatkan mereka.
“Kelas menengah akan merasakan dampak negatif kenaikan tarif KRL. Terlebih pengguna KRL ini adalah pekerja yang rata-rata peningkatan pendapatannya hanya 1,5 persen per tahun,” ucap Huda.
Diberitakan sebelumnya, rencana penerapan skema tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK tercantum dalam Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025. Dalam dokumen tersebut, belanja Subsidi PSO 2025 untuk PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI sebesar Rp4,79 triliun.
Anggaran belanja Subsidi PSO (Public Service Obligation) kepada KAI dialokasikan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api ekonomi jarak jauh, jarak sedang, dan jarak dekat. Juga untuk kereta api ekonomi Lebaran. KRL ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodetabek.
Selain melalui skema baru tersebut, mekanisme pengurangan pemberian subsidi pada kereta api penugasan PSO dilakukan melalui skema perhitungan pendapatan non tiket serta melakukan pelaksanaan verifikasi berbasis biaya pada penyelenggaraan kereta api PSO.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Risal Wasal, menegaskan skema penetapan subsidi tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK masih wacana dan tidak segera diberlakukan dalam waktu dekat. Ia mengeklaim belum terdapat rencana untuk menaikan tarif KRL Jabodetabek saat ini.
Sebelum diimplementasikan, DJKA berjanji melakukan pembahasan dengan pihak-pihak terkait, termasuk melakukan studi hingga membuka diskusi publik dengan akademisi serta perwakilan masyarakat.
Tarif KRL Jabodetabek memang belum naik sejak 2016, skema tarif saat ini sebesar Rp3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah Rp1.000 untuk setiap 10 kilometer.
“Diskusi publik ini akan dilakukan setelah skema pentarifan selesai dibahas secara internal, dan merupakan bagian dari sosialisasi kepada masyarakat,” kata Risal lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (29/8).
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Adita Irawati, turut menegaskan bahwa rencana ini tidak diterapkan dalam waktu dekat. Pihaknya akan terlebih dulu mengkaji rencana ini dengan matang agar tidak memberatkan pengguna KRL.
“Semuanya masih dalam pembahasan lintas sektoral. Termasuk soal kapan akan mulai diimplementasikannya,” kata Adita kepada reporter Tirto, Jumat (30/8).
Diberi Insentif, Bukan Dibebani
Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, memandang dasarnya subsidi KRL berbasis NIK diterapkan subsidi angkutan umum lebih tepat sasaran bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Hal itu sejalan dengan semakin besarnya alokasi anggaran PSO yang membebani anggaran negara.
Namun, pemangku kebijakan perlu melihat rencana ini dalam perspektif yang lebih luas. Kini persentase pengguna angkutan umum di Jabodetabek masih berkisar 15 persen. Adapun target rencana induk transportasi Jabodetabek ingin mencapai 60 persen di tahun 2030.
Dengan target demikian, kata Aditya, seharusnya tetap dilakukan upaya untuk mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum. Cara yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kualitas dan kapasitas angkutan umum, seraya menyediakan tarif yang terjangkau.
“Subsidi saat ini tetap harus diberikan kepada seluruh pengguna angkutan umum, tarif naik adalah keniscayaan, tetapi tetap harus ada unsur subsidi di dalam tarif tersebut,” kata dia kepada reporter Tirto, Jumat (30/8/2024).
Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, memandang seharusnya subsidi PSO untuk KAI termasuk subsidi untuk KRL terus ditambah bahkan dilipatgandakan.
Antara lain bisa menghapus subsidi kendaraan listrik – yang dinikmati kelas menengah ke atas – dan mengalihkan anggarannya untuk subsidi PSO bagi KAI.
“Jika subsidi kendaraan listrik tahun 2023 senilai Rp3,35 triliun dialihkan maka subsidi PSO PT KAI akan melonjak lebih dari dua kali lipat,” kata Yusuf kepada Tirto, Jumat (30/8/2024).
Yusuf menilai, kebijakan dari pemerintah tidak jelas, diskriminatif, serta tidak berkeadilan jika subsidi besar transportasi massal perkotaan saat ini banyak diarahkan ke MRT, LRT, atau Kereta Cepat semata, seraya meninggalkan KRL.
Padahal, dibandingkan KRL Jabodetabek, ketiganya termasuk transportasi publik yang mahal dengan daya angkut terbatas.
“Subsidi untuk setiap penumpang MRT dan LRT lebih dari lima kali lipat dibanding subsidi untuk setiap penumpang KRL. Dan ke depan, APBN berpotensi besar akan dibebani subsidi tiket Kereta Cepat,” jelas Yusuf.
Di sisi lain, Vice President Corporate Secretary KAI Commuter, Joni Martinus, menyebut pihaknya siap melaksanakan subsidi tarif KRL Jabodetabek berdasar NIK jika pemerintah resmi menerapkan kebijakan tersebut.
Selain itu, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) sebagai anak usaha PT KAI juga akan melakukan penyesuaian teknologi dan informasi saat kebijakan resmi dikeluarkan.
"Kalau nantinya pemerintah menetapkan kebijakan skema baru tersebut, maka secara information and technology (IT), kami akan siapkan dan siap untuk melakukan perubahan itu," ujarnya kepada Tirto, Jumat (30/8/2024).
Ia menegaskan KCI sebagai perusahaan layanan publik yang memiliki kewajiban pelayanan PSO, hanya mengikuti arahan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) selaku regulator.
Ia mengeklaim, rencana penerapan tarif KRL Jabodetabek berdasar NIK merupakan upaya pemerintah meningkatkan layanan perkeretaapian, khususnya KRL Jabodetabek.
"Kami ikut kebijakan dari regulator, karena KCI merupakan public service obligation," imbuh Joni.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto