Menuju konten utama
Transportasi Publik

Cerita Sopir Bajaj di Jakarta Bertahan di Tengah Gempuran Ojol

Surali dan Supardi hanya berharap Pemerintah Provinsi Jakarta lebih memperhatikan nasib pengemudi bajaj.

Cerita Sopir Bajaj di Jakarta Bertahan di Tengah Gempuran Ojol
Pengemudi bajaj tengah menunggu penumpang di area Pasar Senen, Jakarta Pusat. tirto.id/Dwi Aditya Putra

tirto.id - Butuh waktu lama bagi Surali untuk mendapatkan satu penumpang. Pengemudi bajaj itu, sudah menghabiskan kurang lebih satu setengah jam menunggu di sebrang pintu keluar Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.

Di tengah kekosongannya, sesekali ia selingi dengan mendengarkan musik, membalas chat istri, hingga mengobrol sesama pengemudi lain. Cara-cara itu dilakukan untuk membantu menutupi kejenuhan.

Belakangan, warga Cempaka Putih tersebut mengakui pendapatan hasil dari narik bajak tidak stabil. Salah satu faktornya karena banyak penumpang sudah beralih menggunakan moda transportasi online dan transportasi massal lainnya.

“Penumpangnya [sekarang] kurang," ujar dia membuka percakapan dengan reporter Tirto, Kamis (28/3/2024).

Bisa mendapatkan tiga sampai empat penumpang saja, kata Surali, sudah beruntung. Meskipun penghasilan bersih dibawa pulang tidak seberapa. Karena ia harus membayar setoran kepada sang pemilik bajaj.

“Sepi-sepinya Rp50.000 itu sudah bersih, di luar dari setoran,” imbuh dia.

Kondisi hari ini, tidak seperti dahulu. Di mana, ketika bajaj masih berwarna orange belum berevolusi menjadi biru penumpangnya masih cukup banyak. Di samping, saat itu memang pengemudi taksi maupun ojek online belum ramai-ramainya seperti sekarang.

“Waktu bajaj masih orange enak. Dulu setorannya mahal cepat dapat duitnya. Zaman dulu setoran Rp125.000 setiap hari. Tapi cepat [duitnya] dan penumpangnya banyak,” ujar dia.

Tentu kondisinya berbeda dengan saat ini. Meski setoran kepada pemilik bajaj turun menjadi Rp50.000 per hari, namun belum bisa menutup operasionalnya lantaran penumpang sudah bergeser. Maksimal bisa sampai Rp100-Rp150 ribu saja sudah bersyukur banget.

“Sekarang setoran berkurang, penumpang juga berkurang. Dulu ketutup sehari bisa Rp200.000. Gara gara ojol tuh bener-bener susah cari duitnya," kata dia.

Surali Pengemudi Bajaj

Surali, pengumudi bajaj sejak 1988 yang masih bertahan di tengah gempuran transportasi online. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Memang tidak ada cara lain bagi Surali untuk saat ini. Meski usianya sudah tidak lagi muda, namun ia tetap mensyukuri dan bertahan di tengah gempuran transportasi online. Terlebih ia sudah melakoni pekerjaan ini sejak 1988 ketika zaman bajaj masih berkelir merah.

“Tapi ya alhamdulillah yang penting bisa buat makan saja cukup sekarang,” kata dia.

Kondisi yang sama dirasakan oleh Supardi. Pengemudi bajaj lainnya yang sehari-hari mangkal di Stasiun Pasar Senen itu, ikut merasakan dampak dari kehadiran transportasi online.

Menurut dia, sejak keberadaan taksi dan ojek online menghiasi jalan DKI Jakarta, pendapatannya mulai berkurang. Sebab penumpang sebagian beralih menggunakan jasa mereka yang lebih murah.

“Ojol memang lebih murah. Tapi kalau kami, kan, enggak bisa kasih harga murah. Kadang harga beda-beda setiap bajaj tergantung kesepakatan dan tawar menawar," ujar dia kepada reporter Tirto.

Pria berusia 49 tahun itu mengaku, saat ini tidak pernah lebih dari 10 penumpang setiap harinya yang dia angkut. Rerata perjalannya mayoritas jarak pendek dengan ongkos rata-rata Rp15.000 sampai Rp20.000.

“Maksimal itu ya bisa Rp100.000 sampai Rp150.000 per hari. Itu di luar dari setoran," kata dia.

Untuk mendapatkan angka maksimal tersebut, kadang Supardi juga harus mengakali. Belakangan dia lebih memilih untuk mencari penumpang tetap dibandingkan yang tidak pasti. Bisanya ia mengantarkan ibu-ibunya yang belanja di Pasar Senen.

“Iya pinter-pinter kita sekarang. Kalau enggak begini ya susah," ujar dia.

Surali dan Supardi, hanya berharap Pemerintah Provinsi Jakarta lebih memperhatikan nasib pengemudi bajaj. Terlebih bajaj merupakan transportasi umum dan memang legal diizinkan beroperasi di kawasan Jakarta.

Kumpulan Bajaj

Pengemudi bajaj tengah menunggu penumpang di area Pasar Senin, Jakarta Pusat. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, melihat bahwa bajaj saat ini memang menjadi transportasi umum yang paling terdampak. Padahal dulu keberadaanya cukup eksis sebelum ada ojek online.

“Bajaj itu transportasi umum resmi yang terdampak, kan. Resmi loh itu oleh Pemda DKI. Tetapi ojol di mana-mana. Jadi ojol itu merusak sistem transportasi Indonesia," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (28/3/2024).

Djoko mengatakan, dulu transportasi roda tiga ini memang sempat dibuatkan aplikasi online. Harapannya tentu dapat bersaing dengan perkembangan tranportasi ada saat ini seperti taksi dan ojek online. Tapi, sayangnya perkembangannya tidak berlangsung lama.

“Kembali lagi itu [bajaj] milik perorangan itu susah. Ditambah Pemda DKI tidak berminat. Meskinya bisa, wong mereka melegalkan,” kata Djoko menambahkan.

Kendati demikian, Djoko mendorong agar Pemprov DKI Jakarta memperhatikan khusus transportasi roda tiga ini. “Pemprov harus membantu buat aplikasi dan operasionalnya karena bajaj bagian dari sistem transportasi di DKI Jakarta,” pungkas dia.

DANA PINJAMAN PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL

Pengemudi angkutan bajaj dengan muatan sarat barang melintas di Jembatan Cideng, Jakarta, Selasa (28/7/2020). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc)

Baca juga artikel terkait MODA TRANSPORTASI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz