tirto.id - Ada saja yang membuat Arijal resah. Belum juga terima Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaannya, kabar pemotongan lewat pajak THR yang konon lebih tinggi membuat pikirannya berkecamuk. Terlebih perhitungan pajak tunjangan yang datangnya setahun sekali itu akan dilakukan penyesuaian lewat mekanisme baru.
"Sudah gaji seadanya, dipotong pajak seenaknya," keluh karyawan swasta yang bekerja di wilayah Tendean, Jakarta Selatan, kepada Tirto Rabu (27/3/2024).
Dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)disebutkan,penghitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 pada bulan diterimanya THR dihitung berdasarkan skema tarif efektif rata-rata (TER). TER terbagi atas Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian.
Tarif Efektif Bulanan dikategorikan berdasarkan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan wajib pajak pada awal tahun pajak. TER Efektif Bulanan terbagi menjadi kategori Kategori A, Kategori B, dan Kategori C. Sedangkan Tarif Efektif Harian ditetapkan khusus untuk pegawai tidak tetap.
Sebagai gambaran untuk kasus wajib pajak menerima THR, dengan metode penghitungan PPh pasal 21 sebelum TER, maka pemberi kerja akan melakukan dua kali penghitungan dengan tarif pasal 17 yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR.
Sedangkan dengan penerapan TER, maka pemberi kerja tinggal menjumlahkan gaji dan THR yang diterima pada bulan bersangkutan dikali tarif sesuai tabel TER.
Sehingga wajar jumlah PPh pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR akan lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Ini karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar sebab terdiri dari komponen gaji dan THR.
Kabar bahwa potongan pajak THR bakal lebih besar lantaran menggunakan sistem TER sempat disampaikan oleh akun X @hrdbacot dalam unggahannya pada Selasa (26/3/2024) kemarin. Dalam unggahan tersebut, akun @hrdbacot meminta masyarakat agar tidak kaget dengan kebijakan baru tersebut.
"Gimana rasanya? Mincot udah ingetin kan jauh-jauh hari sebelum THR cair biar gak shock. Walaupun kalian dapetnya nett, gak berkurang gajinya karena gak merasa kepotong. Tapi tetap aja, itu kewajiban pajak pribadi yang ditunjangkan perusahaan untuk kalian. Btw kalo mau share SS pajak TER THR-nya, boleh banget reply beserta harapan kalian duit pajak itu, mau dititipkan ke pemerintah untuk apa," tulisnya di akun X.
Membebani Pekerja
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengakui pihaknya menjadi salah satu yang protes terkait mekanisme baru perhitungan PPh 21.
PPh Pasal 21/26 sejatinya adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
Penghasilan berupa seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya. Kemudian bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur, dan lain sebagainya.
"Kalau dalam setahun memang tidak ada bedanya. Tapi kalau dapat bonus atau THR, lebih besar potongannya," kata dia kepada Tirto, Rabu (27/3/2024)
Menurut Fajry, kebijakan baru ini jelas akan membebani masyarakat jika komponen bonus atau THR dijadikan sasaran objek pajak. Dampaknya, jadi lebih besar pajak yang harus dibayarkan dibandingkan metode semula meski di akhir tahun nanti akan ada penyesuaian.
"Kita butuh THR buat hari raya. Di bulan kita mendapatkan THR malah beban pajaknya lebih besar dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya. Meski dalam setahun sama," ujar dia.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan memang sebaiknya THR tidak dimasukan sebagai objek pajak yang dikenakan pajak. Terlebih THR bukan pendapatan seperti halnya gaji.
"Kalau tunjangan hari raya itu jangan dikenakan pajak karena itu bukan pendapatan. Tapi itu seperti uang liburan musim panas kalau di negara-negara Eropa yang diberikan ke masyarakat sebagai bentuk tunjangan negara," ujar dia kepada Tirto, Rabu (27/3/2024)
Di sisi lain, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Pajak, Dwi Astuti, memastikan bahwa penerapan metode penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Hal ini, menurutnya, karena tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh pasal 21 masa pajak Januari sampai November.
Nantinya pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan memperhitungkan kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada masa Januari sampai November.
"Sehingga beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama," kata dia kepada Tirto, Rabu (27/3/2024).
Perbandingan Perhitungan Lama dengan Baru
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, melihat bahwa kebijakan TER di PP 58/2023 dan PMK 168/2023 yang mulai berlaku Januari 2024 telah mengubah skema penghitungan PPh 21 bulanan. Perubahan krusial yang sedang ramai didiskusikan saat ini berkaitan dengan pembagian penghasilan sebagai objek pemotongan PPh 21.
Di aturan lama sesuai PMK 252/2008, penghasilan pegawai tetap dibagi menjadi dua: (a) penghasilan teratur (misalnya gaji bulanan), dan (b) penghasilan tidak teratur (misalnya THR dan bonus). PPh 21 dihitung berdasarkan penghasilan teratur yang disetahunkan dan penghasilan tidak teratur yang tidak disetahunkan.
Di aturan baru sesuai PMK 168/2023, tidak ada lagi pembagian penghasilan menjadi dua seperti di aturan lama. Jadi, basis penghitungan PPh 21-nya mengacu pada penghasilan bruto bulanan. Tarif TER menggunakan asumsi bahwa penghasilan bruto tersebut disetahunkan.
Misalnya, di Maret 2024 ini, seorang pegawai mendapatkan gaji Rp20 juta dan THR Rp20 juta. Berdasarkan aturan lama, basis penghitungan PPh 21 berasal dari angka (gaji x 12 bulan) + THR = (Rp20 juta x12) + Rp20 juta = Rp 240 juta + Rp20 juta = Rp 260 juta.
Selanjutnya, penghasilan tersebut dikurangi dengan biaya jabatan dan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sebelum diterapkan tarif Pasal 17 UU PPh.
Berdasarkan aturan baru, basis penghitungan PPh 21 mengacu pada penghasilan bruto x 12 = Rp40 juta x 12 = Rp480 juta. Selanjutnya, penghasilan tersebut dikurangi dengan biaya jabatan dan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sblm diterapkan tarif Pasal 17 UU PPh.
"Jadi, perbedaan signifikan antara aturan lama dan aturan baru ada pada penghasilan bruto setahun yang menjadi basis penghitungan PPh 21. Untuk aturan lama, basisnya adalah Rp260 juta, sedangkan aturan baru menggunakan basis Rp480 juta," kata dia kepada Tirto, Rabu (27/3/2024).
Pada kenyataannya, lanjut Prianto, di masa Desember, basis penghasilan bruto untuk penghitungan PPh 21 mengacu pada gaji x 12 + THR = Rp20 juta x 12 + Rp20 juta = Rp260 juta.
Jadi, perhitungan PPh 21 di masa yang ada penghasilan tidak teraturnya, ada basis perhitungan yang berbeda secara signifikan. Hasilnya berupa PPh 21 yang berbeda untuk aturan lama dan aturan baru.
Berdasarkan ilustrasi di atas, jika dikomparasikan, beban PPh 21 dengan TER dari tarif PPh 21 maka sesuai aturan sebelumnya. Kondisi demikian memberikan beban lebih besar bagi pegawai yang harus menanggung pajaknya.
"Asas keadilan menjadi sedikit terabaikan karena perubahan cara perhitungan tersebut," ujarnya.
Di sisi lain, Prianto melihat urgensi dari perubahan tersebut pada dasarnya mengacu pada asas simply city, ease of administration, dan kepastian hukum. Ketiga asas tersebut tertuang di PMK 168/2023.
"Ketiga asas tersebut lebih condong ke sisi otoritas pajak. Dengan kata lain, penggunaan TER akan lebih sederhana dan mudah administrasinya jika digunakan teknologi informasi, sebagaimana tertuang di aplikasi e-Bupot PPh 21/26,” ujarnya.
Selain itu, aturan TER juga dinilainya lebih memberikan kepastian hukum karena basisnya langsung dari penghasilan bruto tanpa ada pembedaan penghasilan teratur dan tidak teratur.
"Potensi dispute dari sisi peraturan untuk masa pajak sebelum masa pajak terakhir akan minimal karena digunakan TER," tutup dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi