tirto.id - Pemerintah mewajibkan perusahaan untuk membayarkan THR secara penuh kepada para pegawainya. THR merupakan bagian dari penghasilan yang dikenakan pajak.
Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan hak istimewa bagi karyawan di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam peraturan perusahaan. THR umumnya diberikan setahun sekali menjelang hari raya Idul Fitri atau Natal.
THR menjadi simbol apresiasi perusahaan terhadap dedikasi dan loyalitas karyawan. Pemberian THR hanya meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan karyawan, sekaligus membantu mereka memenuhi kebutuhan finansial saat menyambut hari raya.
Pemberian THR mencerminkan budaya perusahaan yang peduli terhadap karyawannya. Hal ini dapat meningkatkan semangat kerja dan loyalitas karyawan, serta mendorong terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dan karyawan.
Apakah THR Kena Pajak?
Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan bagian dari penghasilan karyawan yang dikenakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh 21). Hal ini berlaku bagi karyawan yang dikategorikan sebagai wajib pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Orang Pribadi (UU PPh).
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 penghasilan seseorang yang kena pajak adalah Rp4.500.000 juta per bulan. Artinya, seseorang yang akan dikenakan pajak termasuk pajak THR harus memiliki penghasilan minimal Rp5.400.000 per tahun.
Pemotongan PPh 21 atas THR tidak sama untuk setiap karyawan. Besaran pajak tergantung pada jumlah THR yang diterima dan kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Karyawan tanpa NPWP umumnya dikenakan potongan pajak yang lebih tinggi dibandingkan karyawan yang memiliki NPWP.
Aturan pemungutan pajak THR ditetapkan melalui Surat Keputusan No. FR-16/PJ/2016. Sedangkan pelaksanaan THR di tahun 2023 diperkuat dengan Surat Edaran (SE) No. M/2/HK.04/III/2023.
Cara Menghitung Pajak THR
Nilai pajak THR umumnya lebih tinggi daripada pajak gaji karena perhitungan penghasilannya berbeda. Melansir laman Pajakku, pajak dihitung berdasarkan penghasilan tahunan yang teratur, sedangkan pajak THR dihitung berdasarkan penghasilan yang tidak teratur dan tidak tahunan.
Ketentuan pemotongan pajak THR tertuang dalam PER-16/PJ/2016, Pasal 14 Ayat 2, huruf A dan B sebagai berikut:
A. Penghasilan Tetap dan Tidak Tetap:
- Penghasilan tetap adalah jumlah penghasilan tetap dalam satu bulan dikalikan dua belas bulan.
- Penghasilan tidak tetap adalah penghasilan yang diterima di luar penghasilan tetap, seperti THR.
- Pegawai yang telah bekerja 12 bulan atau lebih: THR yang dilaporkan adalah sebesar satu bulan gaji.
- Pegawai yang telah bekerja 1 bulan dari 12 bulan: THR yang dilaporkan dihitung secara proporsional berdasarkan jam kerja (bulan) dibagi 12 x satu bulan gaji.
Apabila perusahaan memiliki peraturan terkait THR dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau perturan lain yang lebih baik dari ketentuan Permenaker, maka THR yang dibayarkan adalah yang sesuai dengan PP atau PKB tersebut.
Berikut contoh menghitung pajak THR yang diterima karyawan:
Pak Tirto menerima gaji sebesar Rp72.000.000. Jelang lebaran 2024, Pak Tirto menerima THR sebesar Rp6.000.000. Berapakah pajak THR yang dibebankan kepada Pak Tirto?
1. Hitung penghasilan Bruto (Gaji 12 bulan + THR)
Rp72.000.000 + Rp6.000.000 = Rp78.000.000
2. Hitung biaya jabatan sesuai UU HPP 2021 (penghasilan bruto x 5 persen)
Rp78.000.000 x 5 persen = Rp3.900.000
3. Hitung gaji bersih (penghasilan bruto - biaya jabatan)
Rp78.000.000 - Rp3.900.000 = Rp74.100.000
4. Hitung penghasilan kena pajak (gaji bersih - PTKP 2023)
Rp74.100.000 - Rp54.000.000 = Rp20.100.000
5. Hitung PPh 21 terutang (penghasilan kena pajak x 5 persen)
Rp20.100.000 x 5 % = Rp1.005.000.
6. Hitung potongan THR
Rp1.005.000 - Rp720.000 = Rp285.000
7. Hitung jumlah THR kena pajak
Rp6.000.000 - Rp285.000 = Rp5.715.000.
Berdasarkan penghitungan di atas, maka Pak Tirto yang menerima THR Rp6.000.000 pada 2024 akan dibebankan pajak sebesar Rp285.000 dan akan menerima THR bersih sebesar Rp5.715.000.
Penulis: Ruhma Syifwatul Jinan
Editor: Iswara N Raditya & Yonada Nancy