Menuju konten utama

Mencari Solusi Menata Transportasi Bandung di Era Pemimpin Baru

Transportasi umum di Bandung dinilai masih jauh dari sempurna. Apa penyebabnya?

Mencari Solusi Menata Transportasi Bandung di Era Pemimpin Baru
Kemacetan di Jalan Gegerkalong sekitar Kampus UPI Bandung. tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - Bandung menduduki posisi ke-12 sebagai kota termacet di dunia versi TomTom Traffic Index 2024. Peringkat tersebut dinilai oleh TomTom berdasarkan waktu tempuh rata-rata kendaraan dan tingkat kemacetan. Pemeringkatan diberikan kepada 500 kota di 62 negara dan 6 benua.

"Melibatkan 500 kota di 62 negara di 6 benua, TomTom Traffic Index mengevaluasi kota-kota di seluruh dunia berdasarkan waktu tempuh rata-rata dan tingkat kemacetan, menyediakan akses gratis ke informasi berkualitas tinggi dan bermanfaat," tulis TomTom pada lamannya, dikutip Tirto pada Senin (20/1/2025).

Senada dengan temuan TomTom, Hani, mahasiswi Universitas Padjadjaran yang rutin menggunakan transportasi umum di Bandung, berbagi pengalamannya. Menurut Hani, transportasi umum di Bandung masih jauh dari sempurna. Meskipun jumlah rute yang tersedia cukup banyak, ia merasa bahwa aksesibilitasnya masih terbatas.

“Ada beberapa rute yang tidak menjangkau daerah-daerah tertentu, terutama kawasan yang lebih terpencil,” jelasnya kepada Tirto.

Selain itu, kondisi armada transportasi juga menjadi sorotan. Hani mengungkapkan bahwa banyak kendaraan umum, seperti bus, berada dalam kondisi kurang layak. Beberapa unit kendaraan bahkan sering mengeluarkan bunyi aneh yang mengganggu kenyamanan penumpang. Ia juga menyoroti kurangnya pemanfaatan fitur-fitur yang ada, seperti pintu tengah bus yang sering kali tidak digunakan dengan optimal.

Cerita serupa datang dari mahasiswa lainnya, Destia, ia menyoroti kondisi transportasi umum di Bandung saat ini masih jauh dari aman dan nyaman. Ia mengaku sering merasa was-was saat menggunakan angkot atau bus, terutama karena adanya tindakan tidak sopan dari beberapa oknum yang memanfaatkan keramaian.

“Kadang ada orang yang sengaja mencuri-curi kesempatan untuk bertindak tidak pantas,” ungkapnya.

Hal ini menunjukkan pentingnya peningkatan keamanan dalam sistem transportasi publik, baik melalui pengawasan langsung maupun penggunaan teknologi seperti CCTV.

Destia juga menyoroti masalah infrastruktur jalan di Bandung. Ia menyebut bahwa banyak jalan yang berlubang, sehingga berbahaya bagi pengguna kendaraan roda dua. Kondisi ini diperparah oleh sistem drainase yang buruk, yang sering menyebabkan banjir di berbagai area kota saat musim hujan.

“Banjir di area pasar dan jalan-jalan utama menjadi masalah besar. Ini sangat menghambat mobilitas,” katanya.

Selain itu, Destia merasa bahwa trotoar di Bandung tidak ramah bagi pejalan kaki, karena banyak trotoar yang digunakan oleh pedagang kaki lima atau tidak dirawat dengan baik.

Transportasi Bandung

Bus Damri Bandung rute Jatinangor-Dipatiukur Bandung. tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

Daryl Gema dan Gina Gegana, dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Enter Nusantara (Energi Terbarukan untuk Nusantara) menyampaikan kritik mendalam terhadap sistem transportasi yang dinilai jauh dari inklusif dan berkeadilan. Mereka mengungkapkan bahwa, transportasi publik di Bandung masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Banyak moda transportasi yang dianggap tidak memberikan kenyamanan dan keamanan, terutama bagi perempuan. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Enter Nusantara, menyebutkan bahwa pelecehan seksual dan kriminalitas seperti pencopetan sering terjadi di transportasi umum, khususnya angkot.

"Transportasi publik menjadi sesuatu yang tidak rasional untuk digunakan, karena minimnya rute, waktu perjalanan yang lama, fasilitas yang tidak memadai, sulitnya akses informasi, dan rasa tidak aman," jelas Daryl kepada wartawan Tirto (18/1/2025).

Hal ini juga berdampak besar pada penyandang disabilitas yang aksesibilitasnya sangat terbatas. Pendapat serupa disampaikan oleh Gina Gegana, yang menyoroti rendahnya jumlah pengguna transportasi publik di Bandung, yang hanya berkisar 10–13 persen. Menurutnya, kondisi ini tidak disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap manfaat transportasi umum, tetapi karena fasilitasnya tidak mendukung.

"Transportasi publik di Bandung sangat sulit diakses oleh masyarakat rentan. Mereka akhirnya mengeluarkan biaya besar untuk bermobilisasi atau bahkan terpaksa mengesampingkan kebutuhan mobilitas mereka karena sistem transportasi yang tidak inklusif," ungkap Gina.

Terkait wacana pembangunan gedung parkir dengan melibatkan investor, Daryl menyebut langkah tersebut tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat Bandung yang sebenarnya. Ia mengkritik pendekatan yang terlalu berorientasi pada kendaraan pribadi dan menilai rencana ini hanya menguntungkan segelintir pihak.

"Mengapa mereka tidak memperbanyak dan mengintegrasikan transportasi publik? Pemikiran ini jelas car-centric dan hanya akan memperparah ketergantungan pada kendaraan pribadi," tegasnya.

Gina menambahkan bahwa pendekatan tersebut mengabaikan aspek sosial yang lebih esensial. Menurutnya, kemacetan tidak semata-mata disebabkan oleh lahan parkir yang terbatas, melainkan oleh minimnya fasilitas transportasi komunal yang layak.

"Selama ini orang sulit bermobilisasi menggunakan transportasi umum karena fasilitasnya tidak memadai. Kalau itu diperbaiki, masyarakat tidak perlu membawa kendaraan pribadi, dan kebutuhan akan lahan parkir pun bisa berkurang," kata Gina.

Rencana pembangunan Tol Pasteur-Lembang juga tidak luput dari kritik. Daryl menilai proyek ini tidak ideal dan hanya akan menciptakan masalah baru seperti peningkatan jumlah kendaraan dan emisi karbon.

"Pembuatan tol ini hanya memfasilitasi kendaraan pribadi. Alih-alih mengatasi kemacetan, justru akan menambah ketergantungan pada mobil pribadi dan merusak lingkungan," ujar Daryl.

Gina menambahkan bahwa proyek tersebut lebih menguntungkan pihak luar dibanding warga Bandung sendiri. "Pembangunan tol ini berpotensi mengurangi ruang terbuka hijau dan meningkatkan ketimpangan akses. Ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah kemacetan secara mendasar," katanya.

Jurus Mengurai Kemacetan Bandung

Dalam sebuah video podcast bertajuk “Bertemu dengan Wali Kota dan Wakil, ini Langkah Bersama untuk Atasi Masalah Kota Bandung” yang diunggah di kanal YouTube Dedi Mulyadi pada 15 Januari 2025, Gubernur Jawa Barat, berdiskusi dengan Wali Kota Bandung Farhan-Erwin tentang strategi mengatasi permasalahan tersebut.

Salah satu isu utama yang dibahas adalah kemacetan di Bandung. Farhan mengungkapkan bahwa parkir di badan jalan menjadi penyebab signifikan penyempitan jalan yang memicu kemacetan.

"Kami akan mengundang banyak sekali investor untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang akan dibangun menjadi gedung parkir," ungkap Farhan, dikutip Tirto pada Sabtu (18/1/2025).

Namun, Dedi Mulyadi menyoroti kurangnya efektivitas implementasi parkir digital yang sebelumnya diterapkan di beberapa titik kota Bandung.

"Oh mesin parkir? Sekarang masih ada, tapi tidak berfungsi," ujar Farhan sambil tertawa menanggapi pertanyaan Dedi.

Menurut Farhan, masyarakat perlu waktu untuk beradaptasi dengan teknologi tersebut. Selain itu, penggunaan mesin parkir dapat mengancam profesi juru parkir yang selama ini bergantung pada sistem manual.

Farhan menambahkan bahwa pihaknya tidak ingin menghilangkan profesi juru parkir, melainkan memindahkan lokasi parkir dari badan jalan ke gedung parkir. Farhan juga membiarkan organisasi masyarakat (ormas) untuk mengelola parkir.

“Petugas parkir ini bisa berasal dari mana saja, Pak, yang penting manusia,” ujarnya menanggapi pertanyaan Dedi soal parkir yang dikelola oleh ormas.

Dedi menekankan pentingnya profesionalisme dalam pengelolaan parkir. Ia menyarankan agar juru parkir yang berasal dari ormas diberi pelatihan khusus dan tidak lagi terlibat dalam aktivitas organisasi yang tidak relevan.

"Harus taat pada ketentuan juru parkir yang ditetapkan oleh dinas perhubungan," tegas Dedi.

Selain parkir, solusi lain yang diusulkan melibatkan proyek besar seperti pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) dan Light Rail Transit (LRT) dengan anggaran mencapai Rp1 triliun, serta pembangunan Tol Pasteur-Lembang.

"Yang penting adalah kemacetan di Pasteur selesai. Artinya, mereka yang bertujuan ke Lembang tidak usah lewat Pasteur," jelas Dedi.

Farhan juga menyoroti permasalahan trotoar di Bandung yang belum ramah bagi pejalan kaki. Ia mengusulkan pembangunan trotoar dengan bahan yang kuat, dilengkapi peneduh dan penerangan yang memadai.

"Tadinya saya pikir kita bisa membangun sebuah ducting di bawah, tapi ternyata di bawah sudah banyak utilisasi," kata Farhan, menyinggung keterbatasan ruang bawah tanah untuk infrastruktur tambahan.

Transportasi Bandung

Tumpukan angkutan kota (Angkot) yang menunggu penumpang di Terminal Stasiun Hall Bandung. tirto.id/Dini Putri Rahmayanti

Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono, berpendapat jika isu transportasi publik membutuhkan pendekatan yang cermat dan berorientasi jangka panjang.

Sony menjelaskan bahwa parkir di perkotaan terbagi menjadi dua jenis utama: on-street parking (parkir di pinggir jalan) dan off-street parking (parkir di gedung atau kawasan). Untuk parkir di gedung, pengelolanya wajib membayar retribusi ke pemerintah, sedangkan parkir pinggir jalan memiliki dinamika yang lebih kompleks.

“Di Bandung dan banyak kota di Indonesia, parkir pinggir jalan sebagian besar dikelola oleh masyarakat atau ormas, selain pemerintah daerah. Saat ini, pemerintah kota Bandung hanya mengelola sekitar 60% lahan parkir pinggir jalan, sementara sisanya dikuasai oleh ormas atau kelompok masyarakat,” Ungkap Sony kepada Tirto, Sabtu (18/1/2023).

Permasalahan utama dalam pengelolaan parkir adalah menentukan apakah parkir pinggir jalan diposisikan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau sebagai alat dalam Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (Transport Demand Management atau TDM). Sony menyoroti bahwa selama ini Bandung memanfaatkan parkir pinggir jalan lebih sebagai sumber PAD, tetapi realisasinya masih jauh dari target.

Gagasan Wali Kota Bandung yang baru untuk lebih melibatkan ormas bertujuan mengintegrasikan pengelolaan parkir ormas ke dalam sistem yang memberikan kontribusi pada PAD.

“Pada dasarnya, ormas yang mengelola parkir bisa diatur untuk menyetor pendapatan ke pemkot. Atau, pengelolaan yang selama ini ditangani pemerintah bisa diserahkan ke ormas dengan sistem setoran yang jelas,” jelas Sony.

Namun, implementasi gagasan ini memerlukan dialog yang baik antara pemerintah dan ormas untuk menyepakati besaran setoran dan target PAD. Di sisi lain, layanan kepada masyarakat tidak boleh diabaikan.

“Pemerintah harus memastikan layanan parkir memadai, mulai dari ketersediaan lahan, keamanan kendaraan, hingga sistem pembayaran yang modern seperti QRIS atau mesin parkir,” tambahnya.

Apa Solusi agar Bandung Lebih Baik?

Daryl Gema dan Gina Gegana, dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Enter Nusantara (Energi Terbarukan untuk NUsantara) menekankan pentingnya membangun sistem transportasi publik yang berkeadilan. Mereka menyarankan perbaikan dan perluasan jaringan transportasi, integrasi moda transportasi, dan pengembangan sistem Bus Rapid Transit (BRT).

Selain itu, mereka juga mendorong optimalisasi ruang publik dan transisi ke bahan bakar energi terbarukan untuk transportasi umum sebagai langkah nyata mengatasi krisis iklim. Mereka menyebut bahwa transportasi adalah sektor kedua penyumbang emisi karbon terbesar setelah energi listrik, sehingga optimalisasi transportasi publik akan berdampak signifikan dalam mengurangi emisi karbon.

"Transportasi publik yang inklusif adalah kunci untuk mengatasi berbagai persoalan transportasi, sosial, dan lingkungan di Bandung. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret berdasarkan riset dan masukan dari masyarakat," pungkas Daryl.

Raihan Aulia, Founder Komunitas Transport for Bandung, menjelaskan bahwa dari segi kuantitas transportasi di Bandung cukup memadai dengan 18 rute bus, kereta lokal, dan lebih dari 40 rute angkot, kualitas layanan masih jauh dari harapan.

"Mayoritas angkot tidak memenuhi standar kenyamanan karena armadanya kurang terawat. Dari segi keamanan, hanya Metro Jabar Trans yang cukup bisa diandalkan dengan adanya CCTV dan sistem pelaporan yang baik," ujarnya pada wartawan Tirto.

Dari sisi keterjangkauan, tarif transportasi memang cukup bersahabat, namun rute yang ada belum efisien dan tidak terintegrasi. Tanpa integrasi, masyarakat sering kali harus membayar lebih banyak dibandingkan mengoperasikan kendaraan pribadi, sehingga mereka enggan berpindah ke transportasi publickTerkait wacana pembangunan gedung parkir yang melibatkan ormas, Raihan menilai perlu adanya regulasi ketat.

"Percuma membangun gedung parkir kalau pungutan liar atau tarif nembak tetap terjadi. Pemerintah harus memastikan ormas yang mengelola mematuhi standar, dengan konsekuensi tegas jika melanggar," tegasnya.

Sementara itu, rencana pembangunan Tol Pasteur-Lembang mendapat kritik dari Raihan.

"Sangat disayangkan tol baru direncanakan sebelum ada transportasi publik memadai ke Lembang. Ini justru akan memperparah kemacetan di Bandung Utara," jelasnya.

Menurut Raihan, Bandung tidak butuh teknologi transportasi canggih, melainkan sistem yang terintegrasi dan bisa diandalkan. Ia menambahkan, pembenahan pada transportasi publik yang nyaman dan inklusif harus menjadi fokus utama pemerintah Kota Bandung saat ini.

Tol Pasteur-Lembang juga Solusi?

Kemacetan yang terus melanda kawasan wisata Lembang juga memunculkan wacana pembangunan tol Pasteur-Lembang. Selain itu, ada usulan lain seperti kereta gantung dari Ngamprah ke Lembang. Namun, menurut Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono, pembangunan tol perkotaan sebagai solusi kemacetan adalah pendekatan yang keliru.

“Pembangunan tol dalam kota, termasuk tol Pasteur-Lembang, hanya akan mendorong peningkatan jumlah kendaraan menuju Lembang. Akibatnya, Lembang akan semakin padat dan tidak nyaman bagi wisatawan,” ujar Sony.

Ia menambahkan, lonjakan kendaraan pribadi akibat tol juga akan memicu peningkatan kebutuhan lahan parkir, membuat kawasan tersebut semakin sesak. Sony menilai pembangunan tol lebih seperti menunda masalah ketimbang menyelesaikannya.

“Menempatkan jalan tol perkotaan sebagai solusi kemacetan hanyalah akan menyimpan bom waktu,” katanya.

Isu pembangunan tol dalam kota juga kembali mencuat dengan rencana menghidupkan proyek Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR). Proyek ini, yang pernah dikaji pada pertengahan 1990-an, kini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Namun, Sony mengingatkan bahwa pergerakan perkotaan seharusnya berfokus pada pemindahan orang, bukan kendaraan.

“Tidak ada kota besar di dunia ini yang nyaman dihuni dan berkelanjutan jika memiliki jalan tol yang membelah kota. Jakarta, misalnya, tetap macet meski memiliki jaringan tol dalam kota,” katanya.

Sebaliknya, Jakarta mulai beralih ke solusi transportasi massal seperti LRT dan MRT dalam satu dekade terakhir. Sony percaya, Bandung juga harus belajar dari langkah tersebut. Transportasi publik yang terintegrasi, ramah pengguna, dan efisien adalah kunci untuk mengatasi kemacetan perkotaan.

“Ini artinya, jalan tol memang bukan solusi kemacetan perkotaan,” pungkas Sony.

Baca juga artikel terkait KEMACETAN atau tulisan lainnya dari Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - News
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Anggun P Situmorang