tirto.id - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tengah mengkaji tiga opsi libur sekolah selama Ramadan. Tiga opsi tersebut yakni: libur penuh selama Ramadan, libur sebagian, dan masuk penuh seperti biasa. Namun, dari tiga opsi tersebut kesepakatan atas libur sekolah selama Ramadan telah diputuskan dalam rapat bersama antara Kemendikdasmen dengan pihak Kementerian Agama (Kemenag), namun belum diumumkan secara resmi.
"Intinya sudah kami bicarakan dalam rapat koordinasi lintas kementerian dan sudah ada kesepakatan, Isinya bagaimana tunggu sampai pada waktunya kami membahas, ya, nanti tunggu pada waktunya ya," kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, usai menghadiri pembukaan Tanwir I Aisyiyah di Hotel Tavia Heritage, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2025).
Kebijakan libur sekolah selama Ramadan sebenarnya sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Kebijakan itu ditujukan untuk siswa tingkat dasar atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan tingkat menengah atau Algemeene Middelbare School (AMS), sekolah binaan Belanda.
Setelah Indonesia Merdeka, Presiden pertama Indonesia, Soekarno, menjadwalkan ulang dan menghentikan sementara kegiatan formal dan informal selama Ramadan agar umat Muslim bisa khusyuk beribadah. Kemudian, Presiden kedua Indonesia, Soeharto, mengganti aturan dengan hanya meliburkan sekolah pada satu minggu pertama dan satu minggu terakhir pada Ramadan.
Namun ketika rezim orde baru tumbang, Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kembali meliburkan sekolah selama sebulan saat Ramadan hingga hari raya Idulfitri. Namun, sekolah-sekolah saat itu diminta untuk membuat kegiatan pesantren kilat agar libur yang diberikan tidak disalahgunakan.
Aturan ini tak berlangsung lama, Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, mengembalikan aturan libur sekolah saat Ramadan seperti era Soeharto. Sekarang, kebijakan libur Ramadan yang berlaku adalah libur selama tiga hari pertama awal puasa. Libur tersebut diatur dinas pendidikan dan kebijakan masing-masing sekolah.
Hanya saja, keputusan libur sekolah saat Ramadan ini dinilai sejumlah pihak justru akan memberikan dampak signifikan bagi proses belajar mengajar di Indonesia. Meskipun libur ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi murid dan guru menjalankan ibadah puasa, kenyataannya banyak hal yang berubah dalam rutinitas pendidikan.
Banyak Dampak Negatif
Perhimpunan Pendidikan dan Guru atau P2G menilai jika pemerintah kembali mengambil kebijakan seperti di era Gus Dur atau libur selama bulan puasa justru akan banyak dampak negatifnya. Pertama, tentu anak-anak akan semakin tertinggal pencapaian kurikulum.
“Jadi mata pelajaran dan proses pembelajaran tentu akan banyak yang tidak terpenuhi karena anak-anak libur. Sehingga ini akan menjadi beban pas libur panjang tersebut untuk mengejar ketertinggalan kurikulum. Jadi dampak negatif yang pertama ini tentu akan dirasakan oleh murid-murid secara akademis,” ujar Koordinator P2G, Satriwan Salim, kepada Tirto, Jumat (17/1/2025).
Belum lagi, kata Satriwan ketika anak-anak libur alias aktivitasnya hanya di rumah orang tua itu tidak bisa semuanya untuk mendampingi dan mengawasi anak-anaknya. Dia khawatir anak-anak justru akan lebih sering menggunakan gawainya untuk berselancar menggunakan media sosial atau mengakses konten-konten game online.
“Jadi alih-alih anak-anak fokus untuk ibadah di rumah selama Ramadan yang akan timbul adalah anak-anak justru fokus berselancar di dunia maya. Anak-anak akan menghabiskan waktunya untuk game online, untuk mengakses konten-konten pornografi, untuk mengakses konten-konten yang bernuansa kekerasan,” jelas dia.
Tentu saja kekhawatirkan itu bisa dipahami. Karena tidak semua orang tua mampu mendampingi anak-anak di rumah. Karena banyak orang tua yang tetap bekerja sekalipun anaknya libur. “Nah ini yang menjadi perhatian mestinya,” imbuh Satriwan.
Di sisi lainnya, lanjut Satriwan, kebijakan libur sekolah Ramadan yang panjang juga berdampak negatif terhadap penghasilan guru-guru honorer termasuk guru-guru sekolah maupun madrasa swasta. Kenapa? Karena kalau siswa itu betul-betul libur tidak ada aktivitas belajar di sekolah, guru pun ikut libur.
“Kalau gurunya libur, biasanya yayasan itu tidak akan membayarkan gaji guru secara penuh. Karena komponen di dalam gaji itu ada yang namanya uang transport. Ketika sekolah itu libur, tentu uang transport dan pendapatan guru itu akan dikurangi,” jelas dia.
Dia khawatir jika opsi libur Ramadan yang diambil pemerintah mengikuti era Gus Dur tentu akan berdampak terhadap berkurangnya penghasilan guru secara drastis. Terlebih pada bulan Ramadan dan Idulfitri konsumsi masyarakat termasuk dalam hal ini guru cukup meningkat. Akan tetapi penghasilan guru-gurunya justru menurun drastis.
“Ini yang saya pikir akan sangat ironis jika diliburkan,” jelas Satriwan.
Pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, menambahkan memang sebaiknya libur di Ramadan ini harus dibicarakan sangat serius karena akan men-trigger adanya polemik baik bagi orang tua maupun guru.
“Jadi di sekolah swasta itu kalau libur ya mereka nggak dapat gaji, nggak dapat honor gitu. Begitulah orang tua ya, tidak semua orang tua itu mereka siap dengan liburan satu bulan penuh gitu ya,” ujar Ubaid kepada Tirto, Jumat (17/1/2025).
Menurut Ubaid, ketimbang banyak dampak negatifnya maka pemerintah perlu mengkaji ulang dari tiga opsi yang ada. Pemerintah dalam hal ini harus mengambil jalan yang terbaik agar tidak berdampak signifikan.
“Menurut saya mesti diambil jalan yang terbaik ya itu. Kita tahu bahwa libur Ramadan biasanya itu kan minggu awal itu sekolah masih libur, kemudian minggu terakhir bulan Ramadan juga libur karena itu mudik,” ujarnya.
Mencari Titik Tengah
Sementara itu, Satriwan meminta kepada pemerintah jangan hanya melihat ibadah secara vertikal saja. Tetapi juga horizontal di mana belajar itu juga mengandung nilai-nilai dari ibadah. Untuk itu, P2G memberikan usul dengan beberapa opsi atau beberapa formula kepada pemerintah. Pertama, pemerintah bisa saja membuat kebijakan yaitu durasi pembelajaran di sekolahnya diperpendek. Ini bisa dilakukan di jenjang SMA atau SMK atau Madrasah Aliyah.
“Biasanya di hari normal satu jam pelajaran itu 45 menit. Karena ini bulan puasa pemerintah bisa saja memperpendek durasi jam pelajaran yang biasanya 45 menit dijadikan 30 menit misalnya untuk level SMA,” ujar dia.
Kemudian dari yang biasanya masuk normal pukul 06.30 - 07.00 WIB, selama Ramadan bisa agak lebih mundur. Misalnya masuk pukul 07.30 WIB. Kemudian pulangnya itu pada saat zuhur atau jam 12.00.
“Nah ini bisa dijadikan opsi. Jadi masuknya lebih dimundurkan sedangkan pulang sekolahnya lebih cepat dan durasi pertemuannya juga lebih cepat jam pelajaran yang biasa 45 menit jadi 30. Untuk SMP juga demikian,” katanya.
“Kalau SMP itu biasanya satu jam pelajaran itu 40 menit lalu dipersingkat. SD juga demikian dipersingkat. Itu opsi dari P2G yang pertama,” tambah dia.
Opsi lainnya, kata dia, untuk libur bisa dilakukan satu minggu sebelum lebaran atau yang selama ini memang sudah dijadikan kebijakan oleh pemerintah. Artinya para murid tetap menempuh pembelajaran selama tiga minggu saat Ramadan.
Dalam waktu tiga minggu tersebut, pemerintah bisa saja menetapkan dua minggu pertama itu belajar seperti normal, tetapi durasinya diperpendek dan pulangnya lebih cepat. Kemudian satu minggu terakhir itu bisa dilakukan pesantren kilat untuk menanamkan nilai-nilai Ramadan kepada murid-murid termasuk memperdalam literasi mengenai agama.
Kemudian formula ketiga, pemerintah juga bisa menggunakan waktu tiga minggu itu dipakai dalam proses pembelajaran yang namanya kokurikuler. Kokurikuler adalah kegiatan pembelajaran peserta didik yang dilaksanakan untuk penguatan, pendalaman, dan/atau pengayaan mata pelajaran yang telah dipelajari dalam kegiatan intrakurikuler di kelas.
“Di mana di kurikulum mereka siswa itu diwajibkan melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis proyek yang sifatnya kokurikuler yang dinamakan dengan proyek penguatan profil belajar Pancasila,” jelas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang