Menuju konten utama

Ketika Pasar Hasil Revitalisasi Tetap Saja Sepi, Apa Solusinya?

Revitalisasi pasar tradisional yang dilakukan pemerintah ternyata tak mampu membuat pasar ramai. Lalu, apa solusinya?

Ketika Pasar Hasil Revitalisasi Tetap Saja Sepi, Apa Solusinya?
Warga berjalan di antara kios dan los pedagang saat pembangunan revitalisasi pasar tradisional Jambu Dua, di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/3/2024). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/rwa.

tirto.id - Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, terlihat heran dengan hasil dari revitalisasi pasar tradisional yang dilakukan pemerintah. Saat ia bertandang ke Pasar Umum Negara di Kabupaten Jembrana dan Pasar Among Tani di Kota Batu, pedagang kedua pasar itu mengeluhkan kondisi pasar yang makin sepi. Padahal, kedua pasar tersebut baru saja selesai direvitalisasi menjadi lebih modern di akhir 2024.

Revitalisasi tersebut sudah dilaksanakan semenjak pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mula-mula, pemerintah mengadakan program tersebut dengan tujuan mengungkit perekonomian daerah dan menerapkan konsep green building pada bangunannya. Menteri Perdagangan era Jokowi, Zulkifli Hasan, bahkan sempat berharap pasar-pasar yang direvitalisasi itu menjadi ikon daerah masing-masing. Namun, realitas tampaknya berbanding terbalik dengan harapan.

“Kalau kita perhatikan, program revitalisasi pasar tradisional menjadi pasar modern yang dilakukan oleh pemerintah itu sudah luar biasa banyak. Namun, ada suatu situasi yang ternyata setelah direvitalisasi menjadi pasar modern itu ternyata masih sepi,” ujar Maman saat menemui awak media usai membuka Rakornas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Bali, Kamis (16/1/2025).

Maman mengaku sudah melakukan evaluasi mengenai kondisi pasar usai mendapatkan aspirasi dari pedagang-pedagang pasar. Beberapa informasi yang dia sempat terima menyebut turunnya daya beli masyarakat menjadi faktor utama sepinya pasar-pasar di sejumlah titik. Namun, berlawanan dengan opini yang ada, Maman menyebut ada dua penyebab utama yang sebenarnya memperburuk situasi pasar.

Penyebab pertama adalah temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyebut uang masyarakat yang mengalir ke judi online mencapai Rp900 triliun. Menurut Maman, seharusnya uang tersebut dapat dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, seperti pangan atau sandang.

“Misalnya baru dapat gaji, seharusnya bisa dibelanjakan untuk beli makanan dan lain sebagainya. Namun tidak dibelikan, malah dipakai untuk judi online. Itu problem sosial,” kata dia.

Permasalahan kedua—yang tampak sangat disorot Maman—adalah perubahan budaya belanja masyarakat yang beralih dari belanja langsung di pasar menjadi online. Pola belanja yang berubah tersebut menyebabkan masyarakat enggan menghabiskan waktu keluar dari rumah dan berinteraksi secara langsung di pasar.

“Rata-rata masyarakat kita sudah malas keluar rumah, jadi mereka pesan via handphone. Mereka belanja di media online. Mau beli sayur, beli beras, beli daging, beli apa pun. Sekarang sebagian besar, pelan-pelan sudah mulai bergeser,” kata Maman.

Maman Abdurrahman

Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menghadiri Rakornas Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Denpasar, Bali, Kamis (16/01/2025).tirto.id/Sandra

Namun, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, berbeda pandangan dengan Maman. Nailul tetap beranggapan bahwa daya beli masyarakat masih menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pasar menjadi sepi, khususnya pasar dengan fokus pariwisata.

Menurut Nailul, daya beli masyarakat yang menurun membuat masyarakat menahan konsumsi kebutuhannya, terutama konsumsi leisure dan hasrat traveling ke beberapa daerah. Faktor lainnya adalah ketidaksinkronan revitalisasi pasar tradisional dengan fungsinya.

“Revitalisasi pasar itu seharusnya mempunyai minimal salah satu dari dua fungsi pasar tradisional. Pertama, fungsi tempat jual beli barang. Fungsi pertama ini harus diukur dengan permintaan (konsumen) dan penawaran (penjual),” ujar Nailul ketika dihubungi kontributor Tirto, Jumat (17/1/2025).

Dari sisi permintaan, konsumen membutuhkan akses yang mudah, dekat dengan pemukiman, dan harga yang terjangkau. Sementara itu, dari sisi penjual, mereka berharap lokasi yang mudah diakses dan daya tampung kunjungan yang tinggi. Dengan terpenuhinya kedua sisi tersebut, maka perputaran uang akan lebih cepat.

Pasar tradisional yang diubah ke bentuk lebih modern, menurut Nailul, cenderung masuk ke dalam fungsi hiburan. Pasar dengan fungsi hiburan memperdagangkan barang-barang leisure, seperti makanan, ketimbang kebutuhan sehari-hari.

“Penonjolan dari sisi pariwisata, sehingga memang (pasar dengan fungsi hiburan) akan ramai ketika hari libur,” kata dia.

Nailul tidak menepis kemungkinan pengaruh dari faktor digitalisasi dapat mempengaruhi sepinya pasar, mengingat makin menjamurnya pelaku usaha di pasar online, terkhusus di bidang elektronik, sandang, dan kecantikan. Namun, untuk barang-barang kebutuhan pokok, pengaruh digitalisasi tidak signifikan.

Di sisi lain, Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, membenarkan, pasar menghadapi tantangan dari perkembangan teknologi dan modernisasi. Selain itu, terdapat faktor dari kebijakan yang nyatanya kurang memperhatikan kebutuhan mendasar pedagang kecil.

“Pandemi Covid-19 memang menjadi katalisator signifikan dalam mempercepat perubahan perilaku masyarakat. Pembatasan mobilitas, kekhawatiran terhadap kesehatan, dan penerapan protokol ketat di ruang publik membuat masyarakat mencari alternatif yang lebih aman dan efisien, salah satunya dengan berbelanja secara online,” ujar Anwar kepada Tirto.

Kondisi tersebut membuat pasar tradisional yang bergantung pada interaksi langsung mengalami penurunan kunjungan secara drastis, sementara toko daring dan marketplace menawarkan kenyamanan berbelanja dari rumah dengan berbagai pilihan barang. Sayangnya, pasar tradisional sering tidak memiliki infrastruktur yang bersaing dalam ekosistem tersebut.

“Menjamurnya warung dan toko ritel modern dengan harga bersaing juga menjadi salah satu faktor utama mengapa masyarakat meninggalkan pasar tradisional. Ini tidak lepas dari pola konsumsi masyarakat yang semakin mengutamakan kenyamanan dan efisiensi waktu,” terang Anwar.

Menurut Anwar, fluktuasi harga dan keterbatasan stok di pasar tradisional membuat masyarakat berpaling ke toko ritel yang memiliki sistem rantai pasok yang lebih terorganisasi dan kapasitas untuk membeli dalam jumlah besar langsung dari produsen, bahkan untuk produk kebutuhan sehari-hari.

“Lalu, pasar tradisional juga merupakan pusat interaksi sosial yang memiliki ciri khas tersendiri. Ketika proses revitalisasi mengubah karakter ini, seperti mengganti kios-kios kecil dengan bangunan modern atau menaikkan biaya sewa tempat yang tidak terjangkau pedagang kecil, pasar kehilangan daya tarik utamanya,” sambungnya.

Anwar menyorot ekosistem di dalam pasar tradisional yang didominasi rakyat kecil, seperti petani, nelayan, dan pedagang kecil. Sepinya pasar yang telah direvitalisasi ini dianggap menjadi tanda bahwa terdapat persoalan mendasar yang masih belum disentuh kebijakan revitalisasi fisik semata.

“Pasar modern dan e-commerce sering mendapat insentif besar, seperti pajak yang lebih ringan dan infrastruktur digital yang memadai, sementara pasar tradisional sering kali hanya diberi renovasi fisik tanpa solusi menyeluruh,” kata dia.

E-commerce Milik Pemerintah: Strategis atau Buntung?

Ide Menteri Maman sempat terpantik ketika dia melihat Zendo, aplikasi ojek online yang dirancang oleh Muhammadiyah. Miris melihat sepinya pasar karena peralihan pola belanja, Maman hendak mengkaji pembuatan marketplace atau e-commerce milik pemerintah. Dia berpikir, tidak ada salahnya pemerintah ambil langkah mereplikasi e-commerce swasta dengan konsep lebih maju.

“Kami dari Kementerian UMKM sudah mulai menyiapkan kajian untuk bergeser merancang marketplace atau e-commerce yang dibuat oleh pemerintah. Kami sudah harus mulai melihat ini sebagai salah satu terobosan untuk bisa beradaptasi dengan tantangan digitalisasi sekarang,” ucap Maman.

Politikus Partai Golkar ini mulai bercerita mengenai temuannya saat bertandang ke Pasar Tanah Abang beberapa hari yang lalu. Dia menemukan para pedagang di pasar tersebut enggan bertransformasi dan menjual dagangannya melalui e-commerce swasta yang sudah menjamur. Setelah diusut, rupanya pajak pemasangan iklan yang dibebankan kepada pedagang terus mencekik, naik dari 2 persen hingga 12 persen.

“Kami juga nanti akan panggil e-commerce, (bertanya) kenapa sampai bisa mengenakan biaya seperti itu? Kita menertibkan atau mencoba mengatur agar pajak ini tidak terlalu tinggi di e-commerce. Ini bukan pajak PPN, beda, ya,” tegasnya.

Apabila ide Maman terealisasi, aplikasi toko daring tersebut akan dikelola dalam bentuk BUMN atau BUMD. Namun, meskipun kelak pasar akan dirancang dalam bentuk daring, revitalisasi pasar masih akan terus berjalan untuk menjangksau masyarakat di lebih dari 500 kabupaten dan kota.

“Kami akan melakukan diversifikasi, yang sudah ada tetap berjalan. Tidak semuanya juga (diubah ke pasar digital), kan? Mungkin di daerah-daerah urban sudah bisa,” tutur Maman.

Merespons niat Menteri UMKM untuk merancang e-commerce, Anwar memberikan tiga catatan penting agar rencana tersebut berdampak terhadap masyarakat kecil. Dia menilai, gagasan pemerintah untuk memiliki pasar digital tersendiri, seperti PD Pasar Jaya Digital, merupakan langkah strategis yang bertujuan menjawab tantangan perubahan pola konsumsi di masyarakat era digital.

“Pasar digital pemerintah ini harus didasarkan pada justifikasi kebutuhan yang nyata. Sudah banyak platform e-commerce swasta yang telah eksis dan berkembang pesat di Indonesia, menyediakan ruang bagi UMKM untuk menjual produk mereka secara daring,” ucap Anwar.

Pasar digital dinilai juga tidak boleh bersifat eksklusif atau hanya melayani entitas besar seperti BUMN atau BUMD. Namun, tujuan utamanya harus untuk memberdayakan pedagang kecil dan pasar tradisional yang selama ini terpinggirkan dalam ekosistem digital.

“Contoh, pasar digital pemerintah harus dirancang dengan model yang ramah bagi pedagang kecil, tanpa biaya administrasi tinggi atau persyaratan teknis yang harus dipenuhi,” kata dia.

Hal tersebut berarti pasar digital milik pemerintah harus disertai dengan pelatihan gratis, dukungan logistik, dan akses kredit mikro untuk membantu pedagang kecil masuk ke pasar digital. Jika dikelola dengan benar, menurut Anwar, maka pemerintah bisa memanfaatkan pasar digital untuk memperbaiki ketimpangan ekonomi.

“Pemerintah dapat menggunakan pasar digital untuk memastikan harga barang kebutuhan pokok tetap terjangkau dengan memotong rantai distribusi yang panjang, sekaligus mempromosikan produk-produk lokal unggulan dari berbagai daerah,” imbuhnya.

PRESIDEN TINJAU PROYEK REVITALISASI PASAR JOHAR

Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri PUPR Basuki Hadimuljono (kedua kanan) meninjau Proyek Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Pasar Johar di Semarang, Jawa Tengah, Senin (30/12/2019). ANTARA FOTO/Aji Styawan/foc.

Sementara itu, Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), I Made Krisna Yudhana Wisnu Gupta, mempertanyakan urgensi dari pembuatan e-commerce milik pemerintah. Dia menggarisbawahi bahwa pemerintah seharusnya menilik lebih lanjut hal-hal yang menjadi keunggulan dan nilai tambah pasar digital milik pemerintah.

Saat ini, menurut Krisna, e-commerce yang sudah ada juga mempunyai program agar UMKM dapat digiring masuk ke dalam platform mereka. Apabila e-commerce milik pemerintah diluncurkan, perlu dilihat apakah platform pemerintah punya manfaat yang lebih besar bagi pedagang kecil daripada e-commerce swasta yang sudah eksis.

“Membuat e-commerce itu tidak mudah karena ada network effect. Kalau yang beli juga tidak pakai e-commerce itu, percuma. Kecuali pemerintah bisa menjelaskan mengapa e-commerce milik pemerintah bisa lebih baik dari e-commerce yang ada saat ini, akan terjadi pemborosan sumber daya,” kata dia saat dihubungi Tirto, Jumat (17/1/2025).

Lebih lanjut, Krisna menyarankan alternatif opsi berupa kerja sama antara pasar tradisional dengan salah satu marketplace online yang ada pada saat ini. Sebab, untuk menutup pengeluaran (cost) dari e-commerce, pemerintah juga harus mengeluarkan subsidi yang bersumber dari keuangan negara.

“Sebenarnya sama saja. Apakah dia membuat e-commerce baru, lalu gratis, yang di-maintain oleh uang negara atau uang tersebut dipakai untuk mensubsidi (di platform online), misalnya, khusus tenant-nya pasar tradisional yang sudah ada, mana yang lebih murah?” ujar Krisna.

Krisna mengibaratkan kemunculan e-commerce milik pemerintah seperti sebuah eksperimen. Dari hasil eksekusi, menurut dia, pemerintah juga perlu mengevaluasi hasil akhirnya, mulai dari penjualan, ketepatan subsidi, dan efektivitas programnya.

“Itu harus di-track benar atau tidak penjualannya naik. Kalau salah, berarti subsidinya rugi dan program ini harus dipotong. Kalau benar, bisa diteruskan,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait REVITALISASI PASAR atau tulisan lainnya dari Sandra Gisela

tirto.id - News
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Abdul Aziz