tirto.id - Peristiwa gejala keracunan yang menimpa puluhan siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo, Jawa Tengah, usai menyantap hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG), Kamis (16/1/2025), adalah alarm bagi pemerintah. Pelaksanaan program MBG mesti dibenahi agar kejadian serupa tak terulang.
Program andalan dari Presiden Prabowo Subianto inijangan hanya mengejartarget pelasanaan belaka, tapi juga perlu mematangkan persiapannya.Pasalnya, ada jutaan anak-anak yang berpotensi menerima efek domino dari program MBG bila tidak dilakukan secara adekuat.
Keracunan yang dialami puluhan siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo diduga akibat pengolahan makanan yang tidak sesuai standar. Di hari kejadian, siswa menerima menu makanan berupa nasi, cah wortel tahu, ayam goreng tepung, buah, dan susu. Namun, usai bersantap ria, ada sekitar 40 siswa yang merasa pusing dan sakit perut.
Sebelumnya, beberapa siswa sudah mengeluhkan bahwa menu yang disajikan berbau tak sedap.
Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, tidak heran kejadian keracunan muncul dalam program MBG. Dia menilai program semasif itu memang amat berisiko apabila tidak diikuti dengan persiapan dan perencanaan yang matang.
“Soal keracunan memang fatal, tapi sebenernya sudah diduga untuk pelaksanaan program semasif ini,” kata Grace kepada wartawan Tirto, Jumat (17/1/2025).
Grace menyarankan agar pemerintah mengevaluasi dan menginvestigasi secara seriuskejadian tersebut. Pemerintah perlu mencatat bagaimana keracunan dapat terjadi. Evaluasi dari proses penyiapan makanan dan distribusi juga harus dilakukan dengan serius.
Pasalnya, kejadian gejala keracunan berkaitan dengan standar bahan pangan dan kemanan makanan. Semuanya telah memiliki standar masing-masing sehingga kejadian semacam ini seharusnya dapat dihindari.
Selain menetapkan standar gizi yang sesuai panduan Kementerian Kesehatan, aspek food safetyjangan sampai dilangkahi. Monitoring standar penyediaan makanan oleh satuan mitra program MBG atau disebut Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) mestilah ketat.
Menurut Grace, dana program yang cekak juga berisiko berimbas pada pelaksanaan MBG yang tidak maksimal. Pasalnya, SPPG hanya menyiapkan makanan sesuai dengan bujet yang sudah dialokasikan pemerintah. Saat ini, harga satuan porsi menu MBG dipatok rata-rata Rp10 ribu.
Padahal, memasak dalam jumlah masif perlu modal yang cukup besar untuk pengadaan alat dan jasa. Bukan hanya standar bahan makanan yang perlu dipertimbangkan, tapi termasuk biaya operasional dari para mitra harus menjadi perhatian pemerintah.
“Apakah elemen lain termasuk costjasa [masak dan distribusi] sudah masuk yang anggaran Rp10 ribu? Kita sayangnya tidak tahu karena kurangnya transparansi,” kata Grace.
Masih Banyak Celah
Pengamat kesehatan masyarakat sekaligus pengurus di Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, menilai sudah pasti mitra program MBG atau SPPG akan berorientasi mencari keuntungan dalam membantu pelaksanaan program ini.
Sikap ini tentu saja amat wajar karena siapa juga pengusaha yang ingin merugi. Maka anggaran program MBG turut berpengaruh pada efektivitas dan kematangan pelaksanaannya.
Menurut Iqbal, pendanaan program MBG di tahun pertama ini bisa menjadi bahan evaluasi. Terutama, apakah besaran dana yang dialokasikan sudah sejalan lurus dengan peningkatan kualitas kesehatan penerima manfaat MBG.
“Apakah ada output siginifikan: berat badan, tinggi badan, prestasi, hingga tengkes pada anak. Kalau belum ada perubahan signifikan, maka bisa jadi evaluasi program apakah dananya perlu ditambah,” ucap Iqbal kepada wartawan Tirto.
Iqbal juga sudah menduga bahwa di awal pelaksanaannya, program MBG akan menemui beberapa kendala. Salah satu yang dia prediksi memang kejadian gejala keracunan massal. Pasalnya, program MBG melibatkan banyak orang dan baru pertama kali di Indonesia.
Maka ketika kekhawatiran Iqbal terbukti nyata, dapat disimpulkannya bahwa MBG memiliki celah. Celah ini, kata Iqbal, perlu segera diperbaiki agar kejadian serupa tidak bermunculan.
Pertama, pemerintah perlu melakukan audit terhadap mitra penyedia makanan. Evaluasi dari proses produksi, pengemasan, dan distribusi makanan ke sekolah. SPPG wajib untuk mematuhi standar keamanan dan produksi makanan yang sudah ditetapkan.
Selain itu, pemerintah perlu mengawasi rantai pasokan makanan. Bahan makanan harus diuji dan dipastikan kualitasnya. Termasuk, pengelolaan dan penyimpanan bahan pangan wajib mematuhi standar higienitas.
Tak luput, kata dia, program dengan skala masif ini seharusnya memiliki prosedur respons darurat. Saat program untuk masyarakat memunculkan ekses, wajib ada prosedur tanggap darurat yang cepat dilakukan. Sebaiknya, monitoring dan evaluasi MBG ini dilakukan konsisten dan berkala.
“Saat ada hal-hal tidak tepat, harus ada pelaporan insiden. Maka pelaporan ini harus jadi bahan telaah dan investigasi untuk mencari tahu apa akar masalahnya,” ungkap Iqbal.
Kurang matangnya pelaksanaan program MBG memang sudah terendus sejak pertama kali bergulir pada 6 Januari 2025 lalu. Saat peluncuran, tercatat ada sebanyak 190 SPPG di 26 provinsi yang terlibat dalam program ini.
Namun, proses tender dan pemilihan SPPG masih terlihat buram hingga hari ini. Peluncuran perdana program MBG pun akhirnya terantuk banyak kendala.
Terpantau, beragam kendala mewarnai peluncuran program MBG, seperti distribusi makanan terlambat, menu berbeda-beda antarsekolah, sampai sejumlah sekolah yang gagap menerima program MBG karena belum mendapatkan sosialisasi dan simulasi. Hingga saat ini, persoalan itu masih bisa disaksikan dalam pemberitaan media massa.
Maka tidak berlebihan menyebut program MBG masih labil dan belum memiliki pijakan kesiapan program yang kuat. Hal ini, lagi-lagi, bisa diendus sejak program ini masih diwacanakan dan jadi diskursus karena adanya perubahan rencana di sana-sini.
Misalnya, program yang tadinya bernama Makan Siang Gratis ini diubah fokusnya pada pemenuhan gizi. Progam ini juga digadang-gadang menyediakan susu murni gratis. Namun, pemerintah belakangan menyebut bahwa susu tidak wajib ada dalam menu harian MBG.
Meski begitu, pemerintah tetap berupaya mengimpor sapi perah dalam jumlah masif untuk memenuhi kebutuhan program ini.
Pendanaan program MBG juga beberapa kali mengalami perubahan. Di masa kampanye, Prabowo menyebut pemerintahannya akan menyiapkan anggaran Rp460 triliun per tahun untuk program MBG. Namun, RAPBN 2025 yang dibentuk pemerintahan Presiden Joko Widodo hanya menggelontokan anggaran Rp71 triliun untuk program MBG tahun pertama.
Saat kampanye, program MBG juga digadang-gadang akan menyasar sekitar 80 juta siswa dan ibu hamil. Program MBG inginnya mencakup semua siswa berbagai jenjang pendidikan. Namun, setelah mengorek kapasitas anggaran, pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran untuk 3 juta siswa dan ibu hamil.
Biaya pengadaan per porsi MBG pun berubah, dari mulanya dijanjikan Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu.
Harus Lebih Matang
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, sejak awal sudah mengkritisi kesiapan anggaran untuk implementasi program MBG. Pasalnya, penerimaan negara terbatas dan program prioritas lainnya juga tengah berjalan.
Dalam kondisi itu, anggaran MBG yang jumbo sebagaimana dijanjikan Prabowo pasti sulit disediakan.
Nailul memperkirakan, jika pemerintah memaksakan 100 persen target program MBG, defisit anggaran negara diprediksi bisa lebih dari 3 persen. Menilik hal itu,Nailul yakin bahwa sampai 2029, target program MBG bakal sulit mencapai 100 persen.
“Tax ratioIndonesia mengalami penurunan beberapa tahun terakhir, yang menyebabkan kemampuan APBN sangat terbatas,” ucap Nailul kepada wartawan Tirto.
Belum lagi, kata Nailul, pemerintah tampaknya mulai mencari-cari anggaran dari pos belanja lain. Pertama dari dana pendidikan yang pada akhirnya ditentang. Lalu, dari dana desa yang justru berpotensi mengurangi kemandirian desa.
Di sisi lain, pemerintah seolah tidak pernah memikirkan cara mendapatkan tambahan penerimaan negara.
Padahal, terdapat potensi tambahan penerimaan negara dari dua hal. Pertama dari pajak sektor pertambangan yang masih sangat rendah tingkat kepatuhannya. Lalu, dari para pengemplang pajak yang jumlahnya diperkirakan Nailul mencapai lebih dari Rp300 triliun.
Dua sumber tambahan anggaran negara itu lebih memungkinkan dibandingkan usulan-usulan aneh yang dilontarkan elite-elite politik. Misalnya, usulan menggunakan dana zakat atau dana pribadi Prabowo.
Untuk memenuhi standar gizi, program MBG memang membutuhkan anggaran jumbo. Mulai dari penyediaan bahan pangan hingga keamanan kualitas makanan yang disajikan. Jika tidak, program MBG cuma menjadi “makan kurang bergizi gratis” dari pemerintah.
“Dampak dari anggaran yang kurang pasti akan terasa di sajian yang diterima oleh penerima program. Mulai dari menu per porsi yang berkurang,” terang Nailul.
Sebelumnya, Istana sempat menyatakan bahwa Presiden Prabowo rela merogoh kocek pribadi untuk pelaksanaan program MBG. Hal itu sekilas memang terkesan heroik, tapi sebenarnya jelas bermasalah.
Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan, penggunaan dana pribadi pejabat untuk program pemerintah dapat menciptakan preseden buruk. Tindakan ini mengabaikan mekanisme formal yang diatur dan mengirimkan sinyal bahwa pelanggaran terhadap aturan administratif dapat ditoleransi demi alasan pragmatis.
Padahal, dalam konteks negara hukum, setiap keputusan dan tindakan pejabat harus tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014.
Di sisi lain, penggunaan dana pribadi pejabat untuk program negara juga berpotensi menciptakan konflik kepentingan, terutama ketika dana tersebut digunakan untuk membangun citra politik semata.
Dalam sistem tata kelola berintegritas, tindakan tersebut lebih baik dihindari karena melemahkan prinsip checks and balancesdalam pengelolaan keuangan negara.
Periset pangan dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menilai bahwa pilihan menggunakan uang pribadi presiden menandakan dalam pelaksanaan program MBG ada perumusan anggaran yang belum matang. Semestinya, seluruh pendanaan program ini berasal dari anggaran pemerintah yang telah disetujui dan dialokasikan melalui mekanisme resmi.
“Meski niat baik pemerintah ingin segera eksekusi program, tetapi harus tetap tertib, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Niat baik jika cara yg ditempuh keliru, tetap saja itu kurang tepat,” ucap Eliza kepada wartawan Tirto.
Sebetulnya, kata Eliza, anggaran MBG kemungkinan bisa cukup jika ditargetkan tak sebagai program universal. Pasalnya, Indonesia mempunyai keterbatasan ruang fiskal. Maka pemerintah lebih baik mengejar kualitas program MBG daripada mengejar kuantitas penerima.
Semestinya, kata Eliza, keamanan pangan harus menjadi prioritas yang tidak bisa diganggu gugat dalam implementasi MBG. Standardisasi dan sertifikasi yang ketat harus diterapkan di seluruh rantai pasok, dari hulu hingga hilir. Hal ini bisa ditempuh dengan kolaborasi strategis antara Kementerian dan BUMN yang berkaitan dalam penyediaan jasa keamanan pangan.
Idealnya, mitigasi kejadian keracunan pangan massal sudah dipikirkan sedari perencanaan program, bukan ketika sudah berjalan. Eliza memandang kasus keracunan menjadikan sisi perencanaan program MBG terasa belum matang. Perlu penyempurnaan untuk mencegah terjadinya keracunan berulang.
“Solusinya ya jangan memaksakan semua jadi penerima MBG, harus targeted. Disesuaikan dengan bujet agar tidak semakin membebani fiskal,” ujar Eliza.
Sementara itu, pemerintah berupaya cepat tanggap dan mulai berbenah merespons kejadaian di SDN Dukuh 03 Sukoharjo. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, berjanji bahwa pemerintah akan memperketat pelaksanaan program MBG untuk menjaga kualitas makanan yang dibagikan pada anak sekolah.
Dadan juga mengatakan bahwa 40-an anak yang keracunan usai menyantap menu MBG itu sudah cepat ditangani dan dapat beraktivitas seperti sedia kala.
"Menjadi bahan evaluasi harian agar semua yang di lapangan terus meningkatkan kualitas layanan," kata Dadan kepada Tirto, Jumat (17/1/2025).
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, mengatakan bahwa sejumlah anak yang mengalami pusing, mual, hingga muntah tersebut sudah ditangani dan diobati di puskesmas terdekat. Hasan menyampaikan bahwa menu makanan yang membuat siswa keracunan langsung ditarik oleh SPPG dan diganti dengan menu lain.
Selain itu, Dadan menjelaskan bahwa BGN menerapkan SOP di setiap SPPG setempat. Mereka harus menyimpan sampel makanan untuk diperiksa oleh Dinas Kesehatan.
"Kejadian semacam ini, akan menjadi evaluasi yang amat penting bagi BGN untuk memperketat pelaksanaan SOP dalam setiap rantai proses penyiapan MBG. Sehingga, kualitas dan kehigienisan makanan bisa terjamin," kata Hasan.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi