tirto.id - Nissa (29) melewatkan momen Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2024 yang berlangsung selama sepekan, 10-16 Desember 2024. Padahal, dia biasanya getol berbelanja pada momen-momen diskon, seperti pada Harbolnas atau promo tanggal kembar yang kerap ditawarkan e-commerce.
“Dulu emang sering ikut promo Harbolnas, 11.11, 12.12. Awalnya memang kerasa banget diskonnya, tapi lama-lama aku ngerasa gak ada perbedaan harga signifikan. Sekarang, udah gak pernah. Gak ngeh juga kalo ada Harbolnas kemarin,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (10/1/2025).
Nissa yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta mengaku sedang berusaha mengurangi “hobinya” dalam berbelanja. Sebabnya, dia terpengaruh oleh sejumlah kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, seperti kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen serta isu pungutan dan iuran lainnya.
“Lagi komitmen buat berhemat dan nabung. Karena, kemarin tuh kan rame soal PPN 12 persen, Tapera segala macem. Jadi, lebih mikir aja sih sekarang kalo mau ngeluarin uang. Jadi, sekarang cuma belanja yang bener-bener butuh aja, sisanya stop dulu,” tambah Nissa.
Nissa adalah satu dari sekian banyak masyarakat yang melewatkan momen Harbolnas 2024. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat total transaksi program Harbolnas 2024 hanya sebesar Rp31,2 triliun—meleset jauh dari target Rp40 triliun.
Meski tak mencapai target, capaian transaksi tahun ini diklaim mengalami peningkatan sekitar 21,4 persen secara year on year (yoy) dibandingkan total transaksi pada 2023 (Rp25,7 triliun).
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut bahwa realisasi transaksi Harbolnas 2024 yang meleset jauh dari target pemerintah mengonfirmasi adanya pelemahan daya beli di tengah masyarakat Indonesia saat ini.
Meski pemerintah mengklaim ada peningkatan jumlah transaksi dibanding tahun sebelumnya, tidak tercapainya target tahun ini tetap perlu disorot.Pasalnya, Harbolnas 2024 berlangsung dalam periode yang lebih lama dibanding sebelumnya.
“Harbolnas tahun ini berlangsung selama tujuh hari dengan total transaksi sebesar Rp31 triliun. Artinya, sehari transaksi bisa Rp4,4 triliun. Sedangkan tahun lalu, total transaksi Rp25 triliun selama 3 hari. Artinya, transaksi sehari bisa Rp8 triliun lebih. Secara transaksi ada penurunan tajam,” ujar Huda saat dihubungi Tirto, Jumat (10/1/2025).
Padahal, sejak pertama kali dihelat pada 12 Desember 2012, Harbolnas selalu menjadi andalan pemerintah maupun pengusaha untuk meningkatkan transaksi jual-beli di tengah masyarakat.
Optimisme itu bisa jadi didasarkan pada nilai transaksi yang terus tumbuh sejak pertama kali Harbolnas dihelat. Saat itu, nilai transaksi yang dicatatkan dari 3 hari momen belanja daring baru mencapai Rp740 miliar.
Pertumbuhan pun terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya hingga Harbolnas mampu menarik nilai transaksi Rp25,7 triliun pada 2023.
Lantas, apa yang menyebabkan nilai transaksi Harbolnas 2024 meleset dari target pemerintah?
Penurunan Daya Beli hingga Efek Inflasi Rendah
Peneliti bidang ekonomi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, menyebut bahwa kebijakan tarif PPN 12 persen secara tidak langsung menurunkan daya beli masyarakat.
“Meskipun PPN itu dilaksanakan di Januari [2025], tapi kan orang akan antisipasi. Ini yang menyebabkan orang tidak belanja di Harbolnas 2024, untuk antisipasi pemenuhan kebutuhan yang lebih penting dibandingkan hanya untuk memanfaatkan harga bonus,” ujar Abdul saat dihubungi Tirto,Jumat (10/1/2025).
Lebih lanjut, Abdul menyebut rendahnya angka inflasi turut memengaruhi penurunan daya beli masyarakat pada Harbolnas 2024. Sebagai informasi, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatatkan inflasi tahunan terendah dalam sejarahnya (sebesar 1,57 persen) pada Desember 2024.
Menurut Abdul, pemerintah sebenarnya sudah menetapkan target inflasi di angka 2,8 persen untuk menunjukkan bahwa daya beli masyarakat terjaga. Jika angka inflasi lebih rendah dari itu—seperti yang terjadi saat ini, itu menandakan tidak ada daya dukung terhadap daya beli masyarakat.
“Inflasi yang rendah itu tidak begitu baik bagi perekonomian. Apalagi, angka 1,57 persen sekarang itu sudah terlalu jauh, berarti masyarakat tidak berkonsumsi. Tidak ada dorongan yang melibatkan tambahan jumlah uang beredar di dalam masyarakat, gitu,” ujarnya.
Sementara itu, Huda dari Celios menjelaskan bahwa inflasi 1,57 persen ituadalah akibat dari kebijakan kenaikan harga BBM dan tarif PPN pada 2022. Ketika itu, inflasi cukup tinggi di atas 5 persen. Pada 2023, pendapatan rata-rata hanya naik 1,5 persen pada, sedangkan inflasi lebih tinggi.
Akibatnya, terjadi deflasi berturut-turut pada pertengahan 2024 karena daya beli melemah.
“Daya beli jadi terganggu dan kita juga melihat di bulan Desember yang biasanya permintaan meningkat tajam, ini justru tipis sekali permintaan dari masyarakat. Maka inflasi yang rendah juga menyebabkan perekonomian nasional tidak optimal,” tambah Huda.
Huda juga menjelaskan bahwa angka inflasi idealnya tidak terlampau tinggi dan ditopang oleh peningkatan permintaan. Angka inflasi juga tidak boleh terlampau rendah karena permintaan terbatas seperti yang terjadi di 2024 kemarin.
Selain itu, menurut pelaku industri, ada pula pengaruh dari kondisi ekonomi makro saat ini, perubahan pola konsumsi, dan persaingan dengan promosi lain.
“Perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian geopolitik mungkin memengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan. Meskipun inflasi rendah, tingkat kepercayaan konsumen bisa saja masih lemah akibat kondisi ekonomi tersebut,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, saat dihubungi Tirto, Jumat (10/1/2024).
Budi juga mengakui bahwa penurunan daya beli atau preferensi untuk menabung juga dapat menjadi faktor signifikan. Mewakili pelaku industri, dia melihat pola konsumsi konsumen tengah mengalami perubahan.
“Banyak platform e-commerce atau merek yang mengadakan diskon besar di luar periode Harbolnas sehingga konsumen tidak lagi bergantung pada satu momen belanja,” katanya.
Lalu, di tengah rendahnya angka inflasi dan beragam dinamika ekonomi nasional, bagaimana peluang Harbolnas pada tahun-tahun mendatang?
Penurunan Daya Beli Jadi Tantangan
Memasuki 2025, industrie-commerceIndonesia memasuki masa kritis. Sejumlah perusahaan besar berguguran di tengah persaingan sengit.
Di awal tahun ini, misalnya, kabar tak sedap datang dari Bukalapak. Platform e-commerceyang didirikan pada 2010 oleh Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Muhamad Fajrin Rasyid itu secara resmi mengumumkan penutupan layanan penjualan produk fisik di loka pasarnya pada Selasa (7/1/2025).
Abdul Manap dari Indef menilai bahwa 2025 akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi para pelaku e-commerce.
“Periode bakar uang sudah habis ya. Jadi, tidak ada diskon-diskon lagi,” ujarnya.
Lebih lanjut, faktor ekonomi seperti inflasi dan sejumlah dinamika ekonomi yang akan terjadi pada 2025 juga berpotensi memperburuk pola konsumsi masyarakat. Abdul menjelaskan bahwa di masa-masa sulit seperti ini, masyarakat tentu bakal lebih memprioritaskan untuk membeli kebutuhan primer dan akan menahan untuk membeli kebutuhan sekunder dan tersier.
“Memang inflasinya di BPS itu kan dia turun, tapi kan sebelumnya tinggi banget inflasi bahan makanan itu. Apalagi, kalau kita lihat itu, yang naik beras sebagai makanan pokok. Walaupun barang-barang yang lain turun, tapi kalau berasnya tetap naik, sama aja itu tidak bermakna apa pun bagi masyarakat menengah ke bawah,” katanya.
Sementara itu, Huda dari Celiosmenilai daya beli masyarakat Indonesia masih belum akan pulih betul pada tahun ini. Namun, dia memprediksi transaksi e-commercedi tahun ini akan meningkat tipis, termasuk di momenHarbolnas.
“Untungnya, tarif PPN tidak jadi ke angka 12 persen yang bisa memberikan harapan akan meningkatnya daya beli, meskipun terbatas,” katanya.
Dari sisi pelaku industri, Budi Primawan dari idEA masih optimistis daya beli konsumen akan membaik tahun ini. Meski begitu, dia mengakui bahwa daya beli tidak hanya dipengaruhi oleh inflasi, tapi juga oleh pendapatan masyarakat. Jika pertumbuhan pendapatan lambat atau lapangan pekerjaan terbatas, konsumsi tetap bisa stagnan.
“Inflasi rendah menunjukkan stabilitas harga yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk lebih percaya diri dalam berbelanja. Harga barang yang tidak naik signifikan dapat mendorong konsumsi,” katanya.
Menilik tren digital e-commerce, Budi justru meyakini angka inflasi rendah bisa mendorong masyarakat untuk berbelanja lebih banyak, tapi konsumsi itu mungkin bergeser ke bentuk pengalaman (leisure) atau layanan digital, bukan hanya produk fisik.
Untuk itu, idEA mewakili para pelaku industri mengaku sudah menyiapkan beberapa langkah dan strategi menghadapi 2025. Di antaranya adalah diversifikasi produk, personalisasi kampanye, kemitraan dengan UMKM, penguatan ekosistem digital, edukasi konsumen, dan promosi lebih awal.
“Dengan strategi ini, diharapkan Harbolnas 2025 mampu mencatat pencapaian yang lebih baik dan memenuhi target yang ditetapkan,” tutup Budi.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi