tirto.id - Daftar tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk semakin panjang. Rabu (27/3/2024) malam, Kejaksaan Agung menetapkan Harvey Moeis (HM) sebagai tersangka ke-16 dalam kasus ini. Harvey disebut penyidik telah mengakomodasi kegiatan timah ilegal.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan, Agung Kuntadi, menyebut Harvey merupakan kepanjangan tangan PT RBT. Kuntadi menyebut, suami artis Sandra Dewi itu, sekitar 2018 sampai dengan 2019, mewakili PT RBT menghubungi tersangka Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk kala itu. Saat ini, HM ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selama 20 hari ke depan.
“Terhitung mulai 27 Maret 2024 sampai dengan 15 April 2024,” kata Kuntadi dalam konferensi pers, Rabu (27/3/2024).
Lobi-lobi antara HM dan MRPT alias RZ akhirnya berujung kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. Kesepakatan itu berupa pengkondisian atas smelter PT SIP, CV VIP, PT SBS, dan PT TIN untuk mengikuti kegiatan pertambangan.
Kemudian, HM menginstruksikan para pemilik smelter untuk mengeluarkan keuntungan atas dirinya dan tersangka lain yang telah membantu mengegolkan kerja sama. Dia mengklaim, hal itu sebagai bentuk pembayaran.
“Dana Corporate Social Responsibility (CSR) kepada tersangka HM itu dikeluarkan melalui PT QSE yang difasilitasi oleh tersangka HLN,” ungkap Kuntadi.
Harvey dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun HLN adalah Helena Lim selaku Manajer PT QSE. Helena sudah ditetapkan menjadi tersangka sehari sebelum Harvey digelandang Kejagung. Dari rumah Helena, penyidik telah menyita uang miliaran rupiah dan dolar Singapura pada Februari 2024.
Selaku Manajer PT QSE, Helene diduga kuat telah memberikan bantuan mengelola hasil tindak pidana penambangan timah yang dilakukan secara ilegal. Dia diduga memberikan sarana dan prasarana melalui PT QSE untuk kepentingan dan keuntungan yang bersangkutan maupun para tersangka lain. Modus yang dilakukan Helena dengan dalih penyaluran tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR. Aliran ini yang akhirnya terendus turut dinikmati oleh Harvey Moeis.
Dari penggeledahan dan penyitaan dari tempat tinggal Helena didapati uang Rp10 miliar dan 2 juta dolar Singapura. Helena disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dia ditahan penyidik di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kejagung.
Hingga Kamis (28/3/2024), Kejagung sudah menetapkan 16 tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Akibat perbuatan para tersangka, penyidik memperkirakan kerugian negara yang dikeruk melebihi kerugian pada kasus perkara korupsi lain, yakni kasus PT Asabri dan Dulta Palma Group.
Sebagai informasi, kasus PT Asabri menyebabkan kerugian negara Rp22,7 triliun. Sementara dalam kasus Duta Palma Group, kerugian negara dan kerugian perekonomian negara mencapai angka Rp78,8 triliun. Dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, kerugian negara karena kerusakan lingkungan ditaksir mencapai Rp271,06 triliun dalam kurun waktu 2015-2022.
Sebelumnya, Pakar dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University sekaligus saksi ahli dalam kasus ini, Bambang Hero Saharjo, mengungkap dari hasil pemetaan terhadap lingkungan yang rusak akibat penambangan ilegal, diketahui total kerugian kerusakan lingkungan hidup mencapai Rp271 triliun. Angka tersebut mencakup kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.
Bambang menilai, penambangan timah tersebut belum dilakukan pada Februari 2015. Baru pada Mei 2016, aktivitas penambangan mulai terlihat. Dari pemetaan, tambang digarap di wilayah IUP PT Timah Tbk. Kendati demikian, ada juga aktivitas penambangan yang dibuka di luar kawasan IUP, termasuk di kawasan hutan.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan, Agung Kuntadi, menyatakan total kerugian negara masih dalam proses. Kejagung menggandeng BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan sejumlah ahli dalam merumuskan perhitungan.
“Kami masih intensif berkoordinasi dengan BPKP dan ahli yang lain dalam rangka untuk merumuskan pola perhitungan kerugiannya,” kata Kuntadi dalam konferensi pers penetapan tersangka Helena Lim, Selasa (26/3/2024).
Modus Tambang Ilegal
Dugaan korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk disebut Kejagung terjadi selama 2015-2022. Kejagung sudah memeriksa sedikitnya 140 saksi dan menetapkan 16 tersangka atas kasus yang terjadi di Kepulauan Bangka Belitung ini.
Kasus ini juga menjerat tiga mantan petinggi PT Timah Tbk. Mereka adalah MRPT selaku Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Emil Ermindra (EE) alias EML Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018, serta Alwin Akbar (ALW) Direktur Operasi Produksi PT Timah Tbk 2017-2012. Adapun 13 tersangka lain merupakan pihak dari perusahaan dan pengusaha swasta, termasuk satu orang tersangka dugaan menghalangi penyidikan.
Kejagung menjelaskan, para tersangka diduga bersekongkol menyelewengkan bijih timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. Untuk menutupi kejahatan ini, mereka membuat kerja sama penyewaan alat peleburan bijih timah. CV VIP dan empat perusahaan lain ditunjuk PT Timah Tbk sebagai rekanan. Salah satu tersangka, Tamron Tamsil, merupakan pemilik CV VIP yang juga dijuluki ‘Raja Timah Bangka’.
Lima perusahaan ini tidak sekadar menampung biji timah PT Timah Tbk, mereka juga main mata dengan para penambang ilegal. Perusahaan rekanan lalu membentuk perusahaan boneka berjumlah tujuh CV. Skenario pembentukan perusahaan cangkang ini dipakai untuk menampung timah ilegal dari area konsesi PT Timah Tbk.
Para perusahaan rekanan PT Timah Tbk seakan menyetor timah dari tambang resmi. Faktanya, mereka menggunakan tujuh perusahaan boneka untuk menambang di area konsesi PT Timah Tbk. Biji timah itu disetor perusahaan cangkang ke CV VIP dan empat perusahaan rekanan lain.
Tidak hanya itu, perusahaan rekanan alias pemilik kontrak kerja sama dengan PT Timah Tbk, juga merekayasa surat perintah kerja borongan pengangkutan sisa hasil mineral dari PT Timah Tbk. Hal ini dilakukan agar bijih timah yang mereka tampung dari perusahaan boneka tampak legal.
Sengkarut Korupsi SDA
Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, menyatakan ada tiga jenis korupsi dalam kasus dugaan rasuah korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Ketiganya meliputi bentuk penggelapan dan penyalahgunaan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, manipulasi kontrak dan pengadaan, serta penyuapan perizinan.
“Kalau mau diperluas lagi diperdalam lagi, ada potensi itu akan merembet ke misalnya jenis-jenis korupsi yang lain seperti penghindaran pajak atau mungkin penyelundupan, smuggling seperti itu yang jelas merugikan negara,” kata Bagus kepada reporter Tirto, Kamis (28/3/2024).
Kasus korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) beririsan dengan tindakan perusakan lingkungan. Bagus memandang, penyebab maraknya korupsi SDA banyak terjadi karena memang industri pertambangan legal dibatasi oleh peraturan-peraturan. Sementara, masih ada potensi keuntungan yang belum tergarap, di mana celah ini masuk ke dalam aktivitas ‘kotor’ atau kejahatan.
“Kotor sebab identik dengan perusakan lingkungan, nah ini di sinilah penambang ilegal itu bekerja atau mencari penghidupan. Dalam hal ini korupsi itu menjadi salah satu sarana untuk memfasilitasi aktivitas kotor ini atau untuk menutupi aktivitas kotor ini,” jelas Bagus.
Menurut Bagus, Kejagung juga dapat menelusuri apakah ada pejabat di daerah yang terlibat dalam perkara PT Timah Tbk. Keterlibatan pejabat memiliki potensi, terutama terkait penerbitan izin tujuh CV boneka dalam kasus ini.
“Kemudian bisa juga ditelusuri dari siapa pemegang manfaat akhir atau beneficial ownership dari CV-CV di daerah itu tadi, kalau ada nama yang masih menjabat sebagai pejabat publik itu kan bisa diusut,” ujar dia.
Sementara itu, Kepala Divisi Hukum JATAM Nasional, Muhammad Jamil, menyampaikan, aktivitas tampang ilegal di Bangka Belitung memang meresahkan. Menurut laporan sumber JATAM di Bangka Belitung pada kurun waktu 2021-2023, praktik tambang ilegal sering kali lolos dari jerat hukum karena diduga melibatkan banyak pihak.
“Polanya mereka sebut KIP (Kapal Isap Pertambangan) baik di wilayah berizin atau tidak berizin. Lucunya di sana, ketika akan ada penindakan itu informasinya itu bocor duluan jadi mereka punya waktu untuk menyembunyikan kapal isap itu ke hutan bakau, atau sungai, itu laporan dari sana,” kata Jamil kepada reporter Tirto, Kamis (28/3/2024).
Jamil mendorong Kejagung agar terus melakukan pengusutan kasus PT Timah Tbk dengan independen dan tidak terpengaruh intervensi pihak lain. Di sisi lain, Jamil berpandangan bahwa seharusnya PPATK dilibatkan untuk mengecek aliran dana dalam pusaran perkara PT Timah Tbk.
“PPATK sebetulnya bisa bekerja juga. Ada enggak aliran keuangan pada aliran pejabat di masa ekspor PT Timah itu terjadi, memang sulit tapi itu patut dicek. Jadi untuk korupsi segede ini enggak mungkin cuma operator saja yang kecil kecil ini,” tambah dia.
Lebih lanjut, Jamil menyoroti bahwa tambang ilegal tidak hanya merugikan keuangan negara, namun juga mengoyak lingkungan. Seperti di Bangka Belitung, kata dia, banyak nelayan yang akhirnya terseret ke pusaran hitam tambang ilegal karena aktivitas pertambagan.
“Penting untuk dipikirkan bahwa jangan hanya mengejar orang atau keuangan negara, penting dipikirkan proses pemulihan lingkungannya siapa yang bertanggung jawab, ini jangan dilepas,” tegas Jamil.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz