tirto.id - “Ada selisih (penetapan nilai PSO), tapi kita akan terima itu dulu. Nanti dalam pelaksanaannya apabila ada selisih kita akan diskusikan lagi dengan Kementerian Perhubungan dan Dirjen Anggaran (Kemenkeu).”
Kalimat itu disampaikan Direktur Keuangan PT KAI (Persero) Didiek Hartantyo soal nilai Public Service Obligation (PSO) atau subsidi kereta tahun 2018 yang ditetapkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak akan cukup memenuhi operasional penugasan.
Didiek juga mengakui jika angka PSO 2018 berada di bawah dari pengajuan. Hanya saja Ia enggan menyebutkan berapa angka yang diajukan PT KAI. Keterbatasan anggaran subsidi menjadi alasan Kemenhub tidak mengabulkan usulan angka PSO dari PT KAI.
“Pokoknya ada selisih,” singkat Didiek kepada Tirto, tanpa menjelaskan berapa angka usulan PSO PT KAI yang ditolak Kemenhub.
Nilai PSO 2018 yang akan diperoleh PT KAI sebesar Rp2,39 triliun, naik 14 persen dibandingkan 2017 yang sebesar Rp2,09 triliun. Alokasi PSO ini dibagi menjadi dua peruntukan, yakni kereta antarkota dan kereta perkotaan.
Kereta antarkota terdiri dari kereta jarak jauh dengan subsidi sebesar Rp173,76 miliar, kereta jarak sedang dengan subsidi Rp235,67 miliar, dan kereta lebaran dengan subsidi Rp2,3 miliar.
Sementara untuk kereta perkotaan terdiri dari kereta jarak dekat dengan subsidi Rp575,95 miliar, KRD dengan subsidi Rp235,67 miliar dan KRL Jabodetabek yang disubsidi sebesar Rp1,29 triliun.
Jika berkaca dari reaksi PT KAI pada 2017, nilai kekurangan PSO nampaknya cukup signifikan dan serius. Sebab, sepanjang tahun PT KAI sudah dua kali mengumumkan kenaikan tarif akan tetapi kemudian dianulir oleh mereka sendiri.
Pada akhir Juni 2017 misalnya, PT KAI sudah mengumumkan kenaikan tarif untuk pemberangkatan Juli 2017. Hal ini dikarenakan adanya lonjakan penumpang pada kelas ekonomi bersubsidi. Akan tetapi selang beberapa hari kemudian perseroan kembali memutuskan untuk menerapkan tarif lama.
Begitupun pada 3 Oktober 2017, kala itu PT KAI mengumumkan kenaikan tarif untuk pemberangkatan per 1 Januari 2018. Namun secara mengejutkan sehari setelahnya perseroan membatalkan kenaikan tarif tersebut.
Dalam sebuah jumpa pers pada 4 Oktober 2017, manajemen perusahaan menyatakan telah memutuskan untuk menutupi beban selisih dari harga yang ditetapkan pemerintah. Aksi menutupi kekurangan itu dianggap PT KAI sebagai sebuah diskon harga kepada masyarakat.
Kendati demikian, sedikitnya perseroan harus rela kehilangan potensi keuntungan sebesar Rp30 miliar akibat tarif kereta ekonomi bersubsidi yang diterapkan sepanjang Juli-Desember 2017 ini.
"Prinsipnya KAI dimiliki 100 persen oleh pemerintah, mengandung PSO, jadi apapun yang didapat KAI harus dikembalikan ke masyarakat," kata Direktur Utama PT KAI Edi Sukmoro seperti dikutip dari Antara.
Apakah PT KAI menderita kerugian?
Didiek menegaskan bahwa sebisa mungkin beban menutupi kekurangan PSO ini tidak akan mengganggu keuangan perusahaan, apalagi menimbulkan kerugian. Sebab, perusahaan bisa mengalihkan keuntungan pada bisnis kereta komersil dan angkutan barang untuk menutupi selisih biaya operasional kereta ekonomi.
“Sangat bisa. Kita masih punya bisnis komersil dan angkutan barang. Kita akan tutup selisih itu,” ucap Didiek Hartantyo.
Jika melihat kondisi keuangan perusahaan, nampaknya memang beban kekurangan PSO ini tidak akan membuat rugi. Dalam dua tahun terakhir saja, PT KAI mampu mencetak laba bersih di atas angka Rp1 triliun. Pada 2016, segmen angkutan barang PT KAI mampu menyumbang pendapatan mencapai Rp4,57 triliun, naik 4,9 persen dibanding capaian tahun sebelumnya sebesari Rp4,3 triliun pada tahun 2015. "Mengorbankan" Rp30 miliar per enam bulan, tentu bukan hal yang sulit bagi BUMN yang memang mengemban misi pelayanan publik.
Mayoritas PSO Untuk KRL
Alokasi subsidi terbesar memang masih diberikan untuk penumpang KRL. Besarannya sekitar 56 persen dari total PSO yang diberikan Kemenhub kepada PT KAI. Hal ini seiring dengan program pemerintah yang ingin memindahkan mobilitas masyarakat dari penggunaan moda transportasi berbasis jalan raya ke moda transportasi berbasis rel guna mengurai kemacetan.
Dalam catatan Direktur Jenderal Perkeretaapian, Zulfikri, sepanjang tahun ini jumlah penumpang kereta ekonomi antarkota sudah mencapai 10,3 juta orang, kereta jarak dekat sebanyak 31 juta orang, dan KRL Jabodetabek sebanyak 304 juta orang. Catatan itu menegaskan jika memang alokasi subsidi lebih banyak dinikmati oleh penumpang KRL.
Sementara catatan PT KAI dalam laporan kinerja 2016, jumlah penumpang kereta api sudah mencapai 352,31 juta orang. Peningkatan tersebut disebabkan oleh kenaikan jumlah penumpang kereta di wilayah Jabodetabek menjadi 280,59 juta orang. Angka ini setara dengan 79,75 persen dari jumlah keseluruhan penumpang kereta api tahun 2016.
Penumpang harian rata-rata pada 2016 sekitar 850.000 penumpang per hari. PT KAI menargetkan untuk mencapai 1,2 juta penumpang per hari sebelum tahun 2019 lewat upaya penambahan jumlah stasiun yang, jangkauan rute serta peningkatan mutu layanan dan sarana.
“Memang realisasi penumpang KRL sangat dinamis. Capaian tahun ini (2017) pun cukup tinggi seiring dengan adanya PSO,” kata Direktur Utama PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Muhammad Nurul Fadhila.
Menurut Pemerhati Kebijakan Publik Agus Pambagio, pemerintah perlu mengkaji kembali kebijakan pemberian subsidi terbuka kepada penumpang KRL Jabodetabek. Hal ini dikarenakan setiap tahun alokasi subsidinya semakin memberatkan keuangan negara, seiring dengan kian meningkatnya jumlah penumpang.
"Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LM-FEUI pada 2016, ada sekitar 23,33 persen penumpang KRL yang berpenghasilan Rp7 juta per bulan atau lebih, dan seharusnya kelompok masyarakat ini tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah," kata Agus kepada Tirto.
Sejauh manakah anggaran Pemerintah mampu menanggung beban subsidi untuk masyarakat pengguna kereta? Selain APBN, pemerintah juga memiliki BUMN yang fungsinya bisa dioptimalkan untuk bisa berkontribusi secara nyata kepada masyarakat. Salah satu wujudnya dengan merelakan sebagian keuntungan demi menjaga keterjangkauan tarif moda transportasi massal.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti