Menuju konten utama

Kisah Klasik Penumpang KRL se-Jabodetabek

Jalur Bekasi merupakan salah satu jalur KRL yang terkenal paling menyiksa di antara jalur komuter yang lain.

Kisah Klasik Penumpang KRL se-Jabodetabek
Penumpang memadati Stasiun Manggarai, Jakarta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Suara hentakan kaki berderap-derap di lantai dua Stasiun Sudirman, Senin pekan lalu. Mereka berhamburan menuju peron dua stasiun saat pemberitahuan kereta komuter menuju Bogor tiba. Tak sedikit yang rela berlarian meski napas sudah ngos-ngosan. Sesudahnya, mayoritas pekerja kantoran di kawasan Sudirman- Thamrin ini harus berdesak-desakan di dalam kereta.

Mereka dalam situasi jam puncak: sejak pukul 5 sore hingga 8 malam, puluhan gerbong KRL bakal terus penuh penumpang. Berjejalan. Dorong-mendorong. Teriakan di sana-sini. Penuh keringat. Muka melas. Menjaga gravitasi tanpa pegangan agar tak sempoyongan mengikuti laju KRL dan desakan penumpang lain.

Pada jam puncak itulah realitas komuter berada dalam titik paling ekstrem. KRL yang normalnya muat 250 penumpang bisa naik hingga 2 sampai 3 kali lipat. Sesudah karavan manusia yang mengantre di bibir peron terangkut oleh tiga kereta dengan interval tiga menit sekali di Stasiun Sudirman, rombongan penumpang lain di belakang kembali mendesak dan mengisi peron yang semula kosong, dan butuh sekitar 10-an menit lagi KRL tiba menjemput mereka.

Bila cuaca hujan, situasinya kacau-balau. Sinyal rusak. Antrean lebih beringas. Gerbong licin.

Seluruh tenaga operasional PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) yang dikerahkan saban jam puncak harus waspada ekstra. Sesekali ada penumpang yang terjatuh, ada yang keseleo, ada juga yang pingsan. Bila sudah begitu, petugas pos kesehatan harus bekerja sigap.

Di antara penumpang itu, saya mengikuti Nurahman. Ia salah satu dari 1 juta penumpang KRL per hari. Kami berdesak-desakan dalam gerbong di Jalur Sudirman-Cakung sepanjang 14,7 kilometer, dengan waktu waktu tempuh 45-an menit.

Nurahman bekerja di Plaza Indonesia, salah satu pusat belanja paling beken di ibu kota Indonesia, dan ia bergabung dalam komunitas Jalur Bekasi (atau kerap disingkat JB). Mengenakan kemeja kotak-kotak cokelat, Nurahman menyampirkan tas punggung dia di depan dada, khas penumpang kereta komuter se-Jabodetabek.

Ia bicara panjang lebar soal pengalamannya sebagai komuter selama setahun terakhir.

Menurutnya, jarak tempuh Sudirman-Manggarai bisa 6-8 menit. Tetapi, bila ada gangguan, waktu tempuhnya bisa sampai satu jam. Biasanya kereta komuter menuju Manggarai tertahan di tiga titik: di samping halte Busway, di bekas Stasiun Mampang, dan terakhir di areal perumahan warga.

Nurahman berkata Jalur Bekasi terkenal paling "menyiksa" di antara jalur komuter lain. Muasalnya, trek ini harus berbagi dengan kereta jarak jauh antar-provinsi seperti Jakarta-Solo, yang bikin KRL—yang memang disetel untuk berhenti jarak pendek—harus mengalah sehingga bikin waktu perjalanannya bertambah.

Kondisi itu bakal lebih parah jika para komuter pulang di atas pukul 7 malam. Di jam-jam itu kereta jarak jauh sering melaju. Kereta-kereta ini diberi prioritas di Stasiun Jatinegara, di bekas Stasiun Cipinang, dan Stasiun Cakung.

"Kalau sudah berhenti di Cipinang, kita masuk sel," kata Nurahman, akhir Oktober lalu, kepada saya.

"Masuk sel" adalah istilah komunitas komuter untuk KRL yang lajunya dihentikan seketika, bisa lima menit sampai setengah jam, untuk didahului oleh kereta-kereta jarak jauh.

Baca juga: Jalur-Jalur KRL Paling Rumit di Dunia

Penumpang Pingsan

Berdasarkan data dari PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 1 Jakarta, setiap hari ada 118 kereta jarak jauh dan 28 kereta barang dari 360 kereta yang melintasi Stasiun Cakung. Artinya setiap hari, kereta komuter berbagi jalur dengan sejumlah angkutan kereta lain tersebut.

Persoalan bertambah lagi ketika kereta komuter pagi yang berangkat pertama dari Stasiun Cikarang. Butuh waktu 30 menit untuk mencapai Stasiun Bekasi. Bahkan sangat sering para penumpang dari Stasiun Kranji, Cakung, dan Klender Baru tak bisa diangkut ke Manggarai karena di Stasiun Cibitung, Tambun, dan Bekasi Timur sudah padat penumpang.

Kepadatan kereta komuter memang lebih parah di pagi hari. Semua pekerja kantor memiliki jadwal masuk yang sama, sekitar pukul 8-9 pagi. Pada pukul 6-8 pagi, penumpang membeludak saban hari di Manggarai, stasiun transit dari banyak jalur KRL. Mereka yang pindah dari Bekasi ke Sudirman, Jakarta Kota, Bogor, Tangerang, Duri, dan Cikarang harus turun di Manggarai.

Saya kembali bertemu Nurahman untuk mengikutinya dalam perjalanan pagi dari Depok menuju Sudirman. Kondisinya nyaris sama sebagaimana yang diceritakan Nurahman beberapa waktu lalu.

Di dalam gerbong, saya melihat ada seorang ibu paruh baya yang tenggelam di tengah lautan manusia. Cuma terlihat kerudung biru, dan para penumpang lain saling berimpit. Ibu itu, bernama Fatimah, berupaya menggeser badan agar ia bisa sedikit menghirup udara dan tubuhnya tidak tergencet. Ia teriak-teriak agar penumpang di sekitarnya memberi sedikit ruang sembari bilang agar tidak mendorong-dorongnya.

Bagi komuter Jalur Bekasi seperti Nurahman, yang berhenti di peron satu saat tiba di Stasiun Manggarai, ia harus menuju peron tujuh untuk KRL tujuan Sudirman. Di momen inilah sebagian penumpang tak peduli atas keselamatan diri sendiri: mereka menerobos pagar pembatas agar segera terangkut.

"Setiap pagi, orang Bekasi olahraga dari ujung ke ujung di Manggarai untuk mendapat kereta ke Sudirman," katanya.

Di Stasiun Sudirman, saya melihat seorang komuter perempuan yang bersandar di bangku jemuran peron setelah pingsan saking sesaknya lautan manusia.

Pantoni, seorang petugas stasiun, mengatakan perempuan tersebut korban ketiga yang pingsan hari ini. "Tadi ada ibu hamil juga yang pingsan," katanya.

Ia berkata, jumlah penumpang yang sakit hari ini lebih sedikit dibanding hari kemarin. Pada Selasa, 24 Oktober lalu, ada lima penumpang yang pingsan di Sudirman.

“Biasanya stasiun besar ada pos kesehatan,” kata Pantoni.

Baca juga: Dilema Gerbong Khusus Perempuan

Infografik HL Indepth Commuter

'Apa Perlu Saya Bawa Test Pack Setiap Hari?'

Bagi Anda yang memakai Jalur Jakarta–Bogor, dan memulainya dari Stasiun Jakarta Kota, Anda sangat mungkin merasakan situasi yang agak lega meski sudah memasuki jam pulang kerja. Namun, setelah kereta melewati tiga stasiun pertama—Jayakarta, Mangga Besar, dan Sawah Besar—Anda sudah mulai merasakan kepadatan yang menyiksa di dalam gerbong. Cerita berikutnya adalah kisah klasik para komuter: menguat-nguatkan perasaan dan kesabaran demi tiba di stasiun tujuan.

Di antara penumpang dalam gerbong yang saya temui adalah Fany. karyawan Bank DKI Jakarta ini naik dari Stasiun Juanda menuju lokasi tujuan di Stasiun Universitas Indonesia. Sudah tiga tahun ini ia pergi-pulang dengan KRL. Dan ia, seperti lazimnya cerita para penumpang lain, mengakrabi bermacam gangguan KRL, sehingga pelan-pelan ataupun secara terpaksa sudah dianggap sebagai kenormalan.

Misalnya saja, saat kami menaiki KRL yang sama itu, kereta mendadak mogok di antara Stasiun Cawang dan Duren Kalibata, tepat saat pukul 18.10, dan kembali normal setelah lima menit.

Di antara jeda itu suasana dalam gerbong sontak riuh. Pendingin udara mati. Para penumpang sigap membuka jendela. Oksigen mendadak menipis. Panas luar biasa. Seorang penumpang, yang berdiri di dekat pintu, sigap membuka pintu darurat agar gerbong tak pengap. Dari pinggiran lintasan kereta, terdengar teriakan seorang pria menawarkan jasa ojek.

Penumpang lain yang saya temui bernama Fitriyani. Ia penglaju Jalur Bojonggede-Cikini. Fitriyani tengah hamil lima bulan, dan ia salah satu dari 72 persen penumpang komuter berusia 18-30 tahun. Ia seharusnya menempati bangku prioritas, meski faktanya berbeda.

“Saya masih heran, kenapa masih ada yang sering mempertanyakan kehamilan saya tiap meminta bangku prioritas? Apa perlu saya bawa-bawa test pack setiap hari?”

Baca juga: Empati di Atas Tempat Duduk Prioritas KRL

Menghindari Jalur Manggarai

Persoalan utama jalur KRL di Stasiun Manggarai sudah jadi rahasia umum. Dan karena itu para komuter lebih memilih menghindari stasiun transit tersebut.

Salah satu dari komuter yang selalu memilih jalur alternatif adalah Tika Oktavia, komuter Jalur Serpong-Jakarta Kota. Ia menghindari Jalur Manggarai demi menghindari antrean masuk stasiun. Ia semula menggunakan jalur Sudimara, Tanah Abang, Manggarai, lantas Jakarta Kota. Tetapi, belakangan, ia lebih memilih menunggu lama di stasiun sehingga perjalanannya kini adalah Sudimara, Tanah Abang, Kampung Bandan, dan Jakarta Kota.

Hal serupa diungkapkan Oskandar Bramanto Martha, komuter Jalur Depok. Ia lebih memilih turun di Stasiun Tebet karena kerap kali ia harus menunggu antrean 5 hingga 15 menit di Manggarai demi kereta jarak jauh melintasi lebih dulu.

Momok stasiun Manggarai sebenarnya sudah jadi perhatian Kementerian Perhubungan. Dan saat ini Stasiun Manggarai dalam tahap pembangunan 12 jalur lintasan. Enam lintasan di lantai pertama, enam lintasan di lantai dua.

Selain itu ada jalur penyeberangan bawah tanah, yang sudah dibuka meski belum rampung benar karena sebagian tangga untuk eskalator belum ada. Terowongan ini dibuat demi memudahkan komuter saat ada kereta transit menutupi peron lain. Manggarai juga diplot oleh manajemen PT KCI sebagai hub kereta Bandara dan LRT.

“Kuncinya di Stasiun Manggarai. Kalau stasiun selesai pada 2019, permasalahan antrean masuk bisa selesai,” kata Nurahman.

Baca juga artikel terkait KRL atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Humaniora
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam