Menuju konten utama

Empati di Atas Tempat Duduk Prioritas KRL

Di beberapa transportasi publik Jakarta, khususnya KRL, disediakan Tempat Duduk Prioritas (TDP) yang diperuntukkan bagi orang lanjut usia, perempuan hamil, anak kecil dan penyandang disabilitas. Empati diuji, akal sehat diukur. Banyak anak muda yang tak peduli. Tapi ini juga soal kurangnya TDP dan peraturan yang dianggap sebatas himbauan.

Empati di Atas Tempat Duduk Prioritas KRL
Penumpang KRL. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Pertengahan Oktober lalu, media sosial ramai menanggapi sebuah unggahan yang memperlihatkan rendahnya empati. Akun Line AhadiPradana memposting kronologi kejadian saat dua orang perempuan berumur 20 tahunan yang enggan memberikan kursi prioritas kepada seorang kakek yang berdiri di samping perempuan tersebut.

Awalnya, Ahadi hanya menegur dengan mengatakan bahwa sang kakek lebih berhak menduduki kursi tersebut. Alih-alih berdiri, perempuan tersebut malah menimpali permintaan Ahadi dengan sanggahan yang membuat geleng-geleng kepala.

"Maaf, ya, mas, saya perempuan. Saya lemah dan mesti diprioritaskan."

Tak hanya itu, seorang teman perempuannya ikut menimpali: "Apaan sih, mas, nyuruh-nyuruh kita berdiri? Dasar banci tukang protes. Ngiri, ya, gak dapet tempat duduk?"

Hingga akhirnya si kakek mengalah dan menyatakan tak masalah jika harus berdiri. Kejadian serupa sudah sering terjadi. Tempat duduk prioritas (TDP) di KRL seringkali memang dimanfaatkan oleh orang yang tidak sepantasnya duduk di kursi tersebut.

Rendahnya rasa empati juga tercermin ketika sebuah akun Path bernama Dinda, pada 2014, mengunggah keluhannya soal ibu hamil yang meminta tempat duduknya. "Benci sama ibu-ibu hamil yang tiba-tiba minta duduk. Ya gue tahu lu hamil tapi plis dong berangkat pagi. Ke stasiun yang jauh sekalian biar dapat duduk, gue aja nggak hamil bela-belain berangkat pagi demi dapat tempat duduk. Dasar emang nggak mau susah. ckckck... nyusahin orang. Kalau nggak mau susah nggak usah kerja bu, di rumah saja. Mentang-mentang hamil maunya dingertiin terus. Tapi sendirinya nggak mau usaha.. cape dehh #notetomyselfjgnnyusahinorg!!"

Usai screenshoot unggahannyamenyebar di berbagai media dan menjadi viral, akunnya sempat jadi bulan-bulanan dan bahan cacian. Setelahnya, Dinda pun memposting permintaan maaf yang masih dibumbui kalimat pembelaan.

Ibu Hamil dan Kejamnya KRL

Murahnya tiket KRL, hanya Rp2.000 per 25 kilometer pertama dan Rp1.000 untuk setiap 10 kilometer tambahan, membuat transportasi ini digemari masyarakat. Namun, seperti peribahasa “ada harga ada rupa,” terlihat juga betapa KRL sering kali tidak melayani pengguna dengan maksimal. Walau sudah dilengkapi AC, kipas angin dan berbagai perbaikan, seperti tak ada pedagang asongan dan pengemis, namun jumlah gerbong tak berbanding lurus dengan jumlah penumpang.

Hal ini juga berlaku pada kursi prioritas yang jumlahnya lebih sedikit dari jumlah penumpang prioritas pengguna jasa KRL. Insiden dorong-mendorong saat kereta berhenti di stasiun antara penumpang yang baru naik dengan penumpang yang akan turun menjadi pemandangan sehari-hari. Jumlah penumpang yang membludak membuat para penumpang, baik tua, muda, hamil, lajang, laki-laki, atau perempuan, berebut memperoleh kursi, atau setidaknya sedikit ruang pada tiang di dekat pintu, sekadar untuk bersandar.

Tak ada pilih kasih, siapa cepat dia yang dapat kursi. Kalau sudah begini, biasanya para penumpang prioritas yang jadi korban, terutama ibu hamil, karena dipandang belum tua dan belum repot menggandeng anak. Para ibu hamil sering harus berjalan dari satu gerbong ke gerbong lain untuk mencari tempat duduk. Tak jarang penumpang yang hamil pingsan di dalam KRL karena tak dapat tempat duduk.

Gerbong yang dikhususkan untuk perempuan lebih sadis lagi. Selain lebih penuh, para perempuan yang ada di gerbong biasanya malah enggan berempati terhadap sesamanya. Modusnya banyak yang berpura-pura tidur dengan memakai masker, atau sibuk dengan gajet di tangan. Sehingga para ibu hamil banyak yang memilih gerbong reguler dengan kemungkinan para laki-laki akan mengalah untuknya.

“Sebenarnya kalau cuma 3 stasiun saya juga tidak akan meminta duduk, tapi kalau jauh, pusing dan mual, tidak kuat takutnya malah kenapa-kenapa,” kata Elvi (25), seorang ibu muda yang sedang hamil anak pertama, saat bercerita akan pengalamannya menaiki KRL kepada Tirto.id, Jumat (11/11/2016).

Elvi melanjutkan, ia sering mendapat perlakuan semacam itu. Ia tidak mendapatkan haknya, dan harus meminta terlebih dulu untuk mendapatkan kursi prioritas. Terakhir, ia bahkan harus bersitegang dengan seorang perempuan lantaran petugas meminta suami perempuan itu untuk berdiri dan mempersilakan Evi duduk.

Peristiwa itu terjadi dua pekan lalu, pada hari Sabtu, saat ia harus berangkat bekerja pada pukul 10 pagi dari stasiun Universitas Pancasila menuju Cikini. Jarak dari stasiun pemberangkatan ke tujuan cukup jauh, melewati sembilan stasiun.

Awalnya, ia menahan untuk berdiri. Keadaan yang penuh sesak di gerbong perempuan membuatnya mual, padahal baru dua stasiun telewati. Ia lalu mendekati bangku prioritas. tapi bangku-bangku itu telah dipenuhi perempuan-perempuan muda. Bangku lain pun tak ada yang kosong. Akhirnya, enggan mencari masalah secara pribadi, ia mencari petugas KRL dan meminta dicarikan bangku karena sedang hamil dan sudah tak lagi kuat berdiri.

Si petugas membawa Elvi ke gerbong lain, gerbong reguler, dan dicarikan tempat duduk yang juga bukan merupakan prioritas. Padahal, awalnya Elvi memilih gerbong perempuan agar lebih aman dan tak mual karena harus mencium bau-bau kurang sedap di gerbong reguler. Kebetulan, ada seorang bapak paruh baya yang dianggap petugas masih kuat untuk berdiri. Si bapak bersedia berdiri dan Evi pun mengucapkan terima kasih. Ternyata ia harus menerima sindiran dari perempuan di sebelahnya, yang tak lain adalah istri si bapak tadi.

“Dia melihat perut saya, memastikan saya benar hamil, sambil sinis mengatakan 'Kenapa suami saya yang harus berdiri sih, di sana kan masih ada anak muda',” kata Elvi.

Infografik Tempat Duduk Prioritas KRL

Payung Hukum Tempat Duduk Prioritas (TDP)

Seringkali kita melihat bangku prioritas diisi anak muda, baik perempuan atau laki-laki, yang bahkan tidak acuh saat melihat penumpang prioritas yang ada di dekatnya. Pemandangan jamak kursi-kursi ini lebih banyak diisi anak muda yang memakai masker, earphone, dan “tidur”, sehingga tak tahu kursinya merupakan hak orang lain.

Lalu sebenarnya siapa saja yang berhak duduk di TDP? Apakah penumpang non-prioritas wajib memberikan kursinya kepada penumpang prioritas?

Mengacu pada Pasal 131 UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, TDP diperuntukkan bagi empat golongan, yakni orang tua lanjut usia, wanita hamil, kaum difabel, dan ibu yang membawa anak. Ayat 1 pasal ini menyatakan penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi empat kategori di atas. Pada ayat dua disebutkan pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

Danang Parikesit, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menyatakan standar pelayanan TDP ini merupakan kewajiban operator untuk menyediakan karena sudah diatur dalam UU. Masalah mengapa TDP seringkali disalahgunakan, baginya memang terletak pada degradasi moral dan empati masyarakat. Sehingga, walaupun normatif, namun pembinaan sikap moral dan mental menjadi penting terhadap krisis empati yang sedang dialami masyarakat.

“Apalagi, jumlah penumpang lebih besar dari kapasitas tempat duduknya, terutama pada jam sibuk. Etikanya menggunakan transportasi umum, apapun, berikan tempat duduk kepada yang lebih membutuhkan,” katanya kepada Tirto.id, Kamis, (10/11/2016).

Selain perkara personal terkait empati, problem berikutnya adalah jumlah TDP dalam satu kereta yang masih terhitung sedikit. Eva Chairunissa, juru bicara KRL Jabodetabek, menyatakan hingga saat ini belum ada standar hukum berapa jumlah TDP yang harus disediakan operator. Pun begitu pula untuk sanksi bagi operator apabila tak menyediakan TDP atau sanksi bagi penumpang non-prioritas yang menggunakan TDP. Sehingga, ia menafsirkan peraturan tersebut lebih kepada himbauan semata.

“Adanya kursi prioritas bukan standar baku tapi kelebihan yang kita berikan ke penumpang. Ini tak lebih dari bentuk inovasi pelayanan kami ke penumpang,” jelasnya kepada Tirto.id, Senin, (8/11/2016).

Dengan jumlah penumpang per harinya yang mencapai 850 ribu orang, jumlah TDP yang disediakan operator hingga saat ini mencapai empat per gerbong. Tiap TDP dapat diisi tiga orang, sehingga satu gerbong bisa memuat 12 penumpang prioritas, jadi dalam satu rangkaian kereta yang dapat berisi 8-12 gerbong maka kursi prioritas yang ada dapat diisi sekitar 96-144 orang.

“Makanya, untuk membentuk kenyamanan dalam bertransportasi umum, butuh kerjasama operator dan pengguna, dengan simpati serta kepekaan sosialnya. Standarnya petugas akan menyuruh TDP diberikan kepada yang berhak, tapi jika kereta kosong boleh TDP diisi yang lain. Tahu sendiri tipikal masyarakat kita kalau lagi kosong nanti diusir malah ngamuk,” tutupnya sembari tertawa kecil.

Baca juga artikel terkait KRL atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Zen RS