Menuju konten utama

Komunitas KRL: dari Sebutan 'Jalur Jomblo' sampai Dapat Jodoh

Sebagian dari 1 juta penumpang komuter membentuk komunitas berdasarkan jalur KRL. Menjalin pertemanan baru dan solidaritas sesama komuter.

Komunitas KRL: dari Sebutan 'Jalur Jomblo' sampai Dapat Jodoh
Calon penumpang menunggu KRL di Stasiun Tanah Abang Jakarta, Rabu (31/5). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Pagi hari Deddy Sofyandi memakai KRL seperti biasa untuk ke tempat kerja di Salemba. Dan seperti biasa pula ia harus berdesak-desakan dengan para penumpang lain yang berangkat dari Stasiun Cibinong. Volume penumpang di stasiun ini sudah 1.689 orang per hari dengan jumlah komuter hanya 5-6 kali.

"Banyak dorong-dorongan pada jam kerja dan jam pulang. Di Cibinong sudah mulai kena, buka pintu masuk (komuter) langsung dorong-dorongan. Dulu di Bogor gitu, sekarang di Cibinong sudah sama," kata Deddy.

Meski padat, toh KRL tetap jadi pilihan utama Deddy, salah seorang anggota dari Komunitas Jalur Nambo untuk jalur Cibinong-Cikini. Aktivitas ini sudah dilakoninya sejak dua tahun terakhir bersama komunitas tersebut.

Komunitas beranggotakan 40-an orang ini berdiri pada 1 April 2016 saat perayaan setahun KRL beroperasi di Jalur Nambo. Nama komunitas diambil dari Stasiun Nambo, jalur terakhir di Kabupaten Bogor.

Sebutan lain dari jalur sepanjang 13,8 kilometer ini adalah "jalur jomblo". Penyebabnya: ia cuma melayani jalur tunggal dari Stasiun Citayam-Nambo.

Ada dua jadwal komuter pagi di Jalur Nambo. Tetapi keduanya tak sinkron dengan aktivitas pekerja kantoran macam Deddy karena terlalu pagi dan sempit waktunya. Jadwal pertama pada pukul 05.10 dan jadwal kedua pada pukul 06.40. Menurutnya, jika pergi pada jadwal pertama, ia akan tiba di kantor terlalu cepat, sekitar pukul 07.00. Namun, jika mengikuti jadwal kedua, waktunya sangat mepet dengan jam buka kantor. Terlebih jika komuter tertahan di stasiun, yang sudah pasti bikin penumpang terlambat jam kerja.

Begitupun jadwal pulang jalur ini, yang berbeda dari jalur komuter umumnya. Jika Jalur Bogor bisa sampai pukul 23.45 dari Jakarta Kota, Jalur Nambo hanya sampai pukul 19.27 dari Depok. Bila melewati jam tersebut, siap-siap saja pengguna Jalur Nambo mencari tumpangan tidur.

"Kalau ketinggalan komuter, penumpang Cibinong masih bisa naik ojek online. Kalau Nambo agak susah karena jauh. Kalau ketinggalan, saya harus balik ke Jakarta lagi untuk cari tumpangan di rumah teman," kata Deddy.

Menurutnya, Jalur Nambo di malam hari sangat seram, apalagi melewati kawasan Gunung Putri, Bogor, yang minim angkutan umum. Memakai ojek online pun berisiko tinggi. Maka, kalau sudah di atas pukul 19.28, penumpang yang tinggal di Nambo memilih cari teman untuk menginap meski sebelumnya tak ada persiapan sama sekali.

Baca juga: Keajaiban-Keajaiban di Kereta Komuter

Infografik HL Indepth Commuter

Suka duka komunitas komuter tak cuma bagi orang macam Deddy lewat "jalur jomblo". Orang macam Oskandar Bramanto Martha, misalnya, tergabung dalam komunitas Jalur Depok-Bogor. Warga Cibinong ini lebih memilih bepergian melalui Stasiun Depok karena jalur KRL dari rumah ke tempat kerjanya sangat minim.

Komunitas KRL yang diikuti Oskandar biasanya bikin temu darat alias kopdar saban Jumat malam di Food Court RA Kartini, Depok. Sebelumnya mereka kerap bertemu di Stasiun Manggarai. Meski yang datang cuma dua-tiga orang, temu kangen macam ini rutin dilakoni komunitas komuter yang sudah berusia tiga tahun tersebut.

Selain komunitas KRL Depok-Bogor, ada juga Jalur Serpong dan Jalur Bekasi.

Dari Bisnis sampai Dapat Jodoh

Berawal dari grup WhatsApp KRLmania dan grup KRL Commuterline Jabodetabek, Deddy Sofyandi berkenalan dengan Fathur pada medio 2015. Dari sana pertemanan yang diikat lewat solidaritas sesama komuter ini berlanjut dengan obrolan soal hobi, pekerjaan, dan banyak hal lain.

Mereka lantas punya ide untuk memulai berbisnis. Deddy menawarkan dengan usaha jualan main kayu edukatif, yang tak asing baginya sebab pernah punya pengalaman kerja di pabrik mainan kayu.

Pada Januari 2016, mereka berkenalan dengan Vero dan Faisal. Dari situ mereka mulai serius untuk menjajal gagasan Deddy. Usaha mereka dinamakan Kayu Seru, toko online mainan edukatif untuk merangsang kecerdasan anak.

Sejak berdiri, Deddy telah membuat 331 produk mainan kayu dengan beragam bentuk seperti puzzle katak, puzzle sapi, puzzle kupu-kupu, rumah angka, alfabet berdiri, permainan rambu lalu lintas, dan stik belajar berhitung. Harganya antara Rp20 ribu hingga Rp750 ribu.

Tak cuma bisnis. Pertemanan antarkomunitas KRL berbuah jodoh.

Innaka bertemu dengan Ichsan Bahtiar saat buka puasa bersama komunitas Jalur Depok-Bogor pada 12 Juni 2015. Anggota grup WhatsApp mereka sering menggoda Ichsan. Pertemuan itu bikin mereka dekat. serius pacaran selama tiga bulan, mereka pun memutuskan menikah.

"Teman-teman komunitas tak mengira kami bakal dekat," kata Innaka.

Pada acara ultah komunitas, mereka mengumumkan hari pernikahan. Responsnya tak percaya. "Yang begajulan macam aku dan Ichsan malah mau nikah. Tapi mereka dukung karena tanpa JDB (Jalur Depok-Bogor), engak mungkin jadi nikah," kata Innaka.

"Kami memutuskan menikah Januari 2016."

Baca juga artikel terkait KRL atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Humaniora
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam