Menuju konten utama

Jalur KRL: Dari Angkut Hasil Kebun Berkembang Angkut 1 Juta Manusia

Jumlah KRL yang menghubungkan Jabodetabek bak deret hitung, sementara jumlah penumpang ibarat deret ukur.

Jalur KRL: Dari Angkut Hasil Kebun Berkembang Angkut 1 Juta Manusia
Kereta Rel Listrik melintasi jalur di jalan Pejompongan Raya, Jakarta Pusat, Jumat (10/3). Pemerintah akan menutup 14 perlintasan kereta api sebidang di wilayah DKI Jakarta sejak Mei 2017 untuk mengurangi risiko kecelakaan. ANTARA FOTO/ Atika Fauziyyah/foc/17.

tirto.id - Ah, kawan, biarlah aku tjeritakan kau tentang Djakarta kita.

Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinja aku indjak tanah ibukota ini, stasiun Gambir dikepung oleh delman. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota —hanja tudjubelas tahun kemudian! Betjak jang menggantikannja. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia mendjadi kuda dan sopirnja sekali: begini tidak ada ongkos pembeli rumput! Inilah Djakarta. Demi uang manusia sedia djadi kuda. Tentu sadja kotamu punja betjak djuga tetapi sudah djadi adat daerah meniru kebobrokan ibukota.

—Pramoedya Ananta Toer, “Djakarta” dalam Almanak Seni 1957 (Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956)

Stasiun Gambir dalam esai Pramoedya di atas memang jadi salah satu pintu utama bagi para pendatang ke Jakarta, selain stasiun kereta api terbesar di Indonesia. Sejarahnya bersinggungan dengan arus keuntungan bagi pemerintahan Hindia Belanda. Segera setelah pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi liberal pada 1870, yang mengizinkan orang-orang Eropa menanam modal buat membuka perkebunan-perkebunan skala besar, satu kebutuhan mendesak yang vital tak bisa terhindarkan: sebuah transportasi massal.

Moda transportasi yang dinilai paling efektif untuk mengangkut komoditas bernilai ekspor dari sumber kekayaan alam tanah Hindia ini tentu saja kereta api. Maka, sejak arus distribusi pengisapan ini berjalan, beriringan pula perkembangan jawatan kereta api di Pulau Jawa.

Nederlandsch-Indische Spoor Maatschappij, perusahaan sepur swasta, diberi konsesi untuk membangun Jalur Batavia-Buitenzorg sepanjang 58.506 meter. Trek ini juga penting bagi pemerintah kolonial karena Buitenzorg alias Bogor adalah tempat kedudukan Gubernur Jenderal dan pusat administrasi pemerintahan.

Ada 10 stasiun yang dibangun: Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Passar Mingoe, Pondok Tjina, Depok, Tjitajam, Bodjong Gedeh, Tjileboet, dan Buitenzorg. Dan pembuka jalur ini adalah rute Pasar Ikan-Jakarta Kota-Stasiun Gambir (Koningsplein) pada awal 1870-an.

Koningsplein adalah nama lama untuk sebutan Lapangan Monas. Di sekitar alun-alun raya Kota Batavia ini, sebagaimana masih berjejak hingga kini, tumbuh koloni Hindia Belanda. Ada Istana Gubernur Jenderal, ada Gereja Immanuel dan Katedral, ada kantor-kantor gubernemen, serta ada tangsi-tangsi serdadu.

“Alun-alun raya, sebagaimana dijumpai di Berlage pada 1923, dibelah oleh rel-rel kereta api,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land (2006).

Perkembangan yang perlu dicatat adalah peralihan operasional jalur kereta dari perusahaan swasta ke Staats Spoorwegen, jawatan kereta api milik pemerintah kolonial, pada 1913. Sejalan kebutuhan bagi mobilitas manusia, Staat Spoorwagen pun mulai mengembangkan kereta rel listrik (KRL), termasuk di Stasiun Gambir.

Alasannya, “Stasiun-stasiun kereta api di Batavia dan sekitarnya, yang memiliki jarak antar-stasiun lebih pendek dan lebih banyak penumpang, seharusnya memerlukan sarana kereta api yang dilayani kereta atau lokomotif listrik,” catat buku Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014 (2015).

KRL dianggap punya kelebihan dalam hal akselerasi. Lebih cepat ketimbang lokomotif uap. Alasan lain, seperti dalam buku Selayang Pandang, penggunaan KRL bakal menjadikan udara kota lebih bersih dari kepulan asap hitam kereta uap.

Sebelum diterapkan pada kereta yang ukuran relnya sama dengan kereta uap antarkota, teknologi KRL sudah diterapkan di trem kota Batavia sejak 1899. Kereta listrik dengan rute Tanjung Priok-Meester Cornelis resmi dipakai tepat perayaan ulang tahun ke-50 Staats Spoorwegen pada 6 April 1925. Sementara rute kereta listrik dari Meester Cornelis-Manggarai-Koningsplein-Jakarta Kota dibuka untuk umum pada 1927. Tahun 1930, KRL sudah sampai Bogor.

Infografik HL Indepth Commuter

Dalam perkembangannya, Staats Spoorwegen membeli sejumlah lokomotif listrik: seri 3000 buatan Swiss Locomotive & Machineworks - BBC (Brown Baverie Cie), seri 3100 buatan Allgemaine Electricitat Geselischaft, Jerman, seri 3200 buatan Werkspoor Belanda , serta KRL buatan pabrik Westinghouse dan General Electric.

Menurut Uka Tjandrasasmita dalam Sejarah Perkembangan Kota Jakarta (2000), setelah ada KRL, Stasiun Gambir dan Manggarai dimodernisasi pada 1928, lalu Stasiun Jakarta Kota setahun kemudian. Hingga 1939, ada 72 perjalanan KRL melintasi jalur lingkar Batavia dan Manggarai-Bogor.

Pasca kemerdekaan 1945, lokomotif yang dibeli dari Eropa semakin menua. Pada 1976, Perusahaan Jawatan Kereta Api membeli rangkaian bekas KRL dari Jepang, atau dua tahun setelah kerusuhan yang dikenal Malari (‘Malapetaka 15 Januari’) yang menolak kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka dan investasi asing. Sejak itu KRL bekas dari Jepang, dan belakangan yang berpendingin udara, mulai melintasi jalur Jabodetabek.

Khusus untuk Stasiun Gambir, pemerintahan Soeharto di masa Menteri Perhubungan Azwar Anas (1988-1993) membangun jalan layang rel kereta ganda. Soal proyek ini, seperti ditulis dalam biografi Azwar Anas: Teladan Dari Ranah Minang (2011), Stasiun Gambir menjadi stasiun terbesar yang ditata sesuai lingkungan Monas.

Namun perkembangan KRL terlalu megap-megap untuk merespons arus urbanisasi yang memadati perkampungan-perkampungan Jakarta hingga ibu kota politik dan ekonomi ini—serta kawasan penyangga di sekitarnya—berkembang menjadi metropolitan dan megapolitan.

Baca juga: Kisah Klasik Penumpang KRL se-Jabodetabek

Dampaknya, kebutuhan atas transportasi massal di salah satu kawasan terpadat di dunia ini terlambat ditangani. Barulah beberapa tahun terakhir ini stasiun-stasiun yang menghubungkan Jabodetabek dibenahi secara masif, dengan jalan membongkar kios-kios pedagang dan mengerahkan alat kekerasan negara seperti tentara dan marinir.

Nyaris sedikit penambahan stasiun baru dan KRL baru, sementara jumlah penumpang yang mengaksesnya terus naik setiap tahun. Hingga September 2017 saja, misalnya, Stasiun Bogor mengangkut 45.493 orang per hari, dan Stasiun Bekasi bisa sampai 45.483 orang per hari. Total pada tahun ini lebih dari 1 juta penumpang per hari menggunakan KRL.

Artinya, selagi warga yang bergantung pada sumber ekonomi di Jakarta semakin bermukim di pinggiran (karena harga tanah di Jakarta teramat mahal), jalur-jalur KRL sekarang ini tak pernah berubah sejak dibuka pada 1870-an. Adapun Stasiun Gambir sendiri, sejak akhir 2012, sudah tidak bisa lagi jadi tempat perhentian KRL.

Baca juga artikel terkait KRL atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam