tirto.id - Di tengah plenary session IMF-Bank Dunia, di Nusa Dua Bali, 12 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo mengucapkan pidato yang dua kali disambut standing ovation oleh peserta sidang. Dengan mengutip narasi serial TV populer Game of Thrones, Jokowi mengutarakan persoalan yang dihadapi akibat krisis finansial 2008 dan retaknya aliansi negara-negara maju beserta dampaknya bagi negara-negara berkembang.
Jokowi menekankan “kolaborasi, bukan rivalitas” untuk menyelesaikan persoalan-persoalan global dan ancaman masa depan yang ia gambarkan sebagai "Evil Winter."
Namun, di tengah antusiasme terhadap pidato 'Game of Thrones' tersebut, ada satu kata yang luput disebutkan: ketimpangan (inequality). Lebih tepatnya: ketimpangan antara minoritas kaum terkaya dunia sekaligus pemilik jatah terbesar kue kemakmuran global, dan mayoritas masyarakat miskin yang memperebutkan remah-remah kemakmuran. Inilah realitas keseharian warga dunia yang tidak disinggung dalam pidato tersebut.
Krisis 2008 dan Implikasinya
Pada mulanya adalah krisis finansial 2008, tsunami ekonomi terbesar yang dihadapi oleh dunia setelah 'Great Depression' tahun 1929. Bermula dari krisis pasar properti Amerika Serikat (subprime mortgage crises) pada 2007, krisis ini berkembang menjadi krisis keuangan, lalu krisis ekonomi, dan akhirnya memuncak pada krisis sosial.
Merespons krisis finansial tersebut, pemerintah federal AS menerapkan kebijakan bail-out besar-besaran pada sektor institusi perbankan serta merilis kebijakan moneter dan fiskal bercorak konservatif, misalnya penarikan pajak berskala besar dan pengetatan anggaran publik (austerity policy). Namun, upaya penyehatan pelaku ekonomi dan korporasi raksasa tersebut rupanya dibebankan kepada mayoritas masyarakat.
Bertolak belakang dari klaim elite bisnis dan politik soal keberhasilan mengatasi krisis, tsunami sosial-ekonomi masih dihadapi oleh mayoritas warga dunia. Akibat kebijakan bail-out yang dilakukan berbagai negara, ditambah realitas fundamental ekonomi negara-negara terdampak krisis finansial, golongan masyarakat terbawah di seluruh dunia masih menanggung utang begitu tinggi.
Ketika langkah-langkah antisipatif terhadap krisis masih berlangsung (2008-2013), rata-rata utang di negara-negara Uni Eropa naik antara 70% sampai 93% dari keluaran ekonomi. Utang Inggris naik dari 52% menuju 91%, sementara Amerika Serikat dari 73% ke 104%. Berdasarkan pertimbangan kebijakan ekonomi konservatif, maka beban yang demikian besar tersebut harus ditanggung oleh mayoritas rakyat yang miskin, alih-alih mereka yang kaya (Kaufmann dan Stutzle 2017).
Indonesia tidak bebas dari persoalan hutang. Total utang pemerintah per akhir Agustus 2018 mencapai Rp4.363 triliun (30,31%) dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang diperkirakan Rp14.395 triliun.
Dalam The Price of Inequality (2012), Joseph E. Stiglitz menyatakan krisis finansial 2008 telah memberikan pelajaran penting bagi warga dunia bahwa selama ini kita tengah hidup dalam tata kelola ekonomi global yang timpang. Setelah empat tahun krisis, satu dari enam angkatan tenaga kerja penuh waktu di AS gagal memperoleh pekerjaan, delapan juta keluarga kehilangan tempat tinggal, dan sebagian besar anak muda lulusan universitas gagal memperoleh pekerjaan yang sesuai pendidikannya. Pada saat bersamaan, 1% dari orang terkaya AS memperoleh bagian 93% dari pendapatan nasional.
Ketimpangan sosial serupa berlangsung di Indonesia. Laporan Bank Dunia 2015 yang bertajuk Indonesia’s Rising Divide (PDF) menunjukkan pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir hanya memberi keuntungan bagi 20% orang-orang terkaya dan meninggalkan sekitar 80% (205 juta jiwa) mayoritas rakyat. Laporan Credit Suisse memperlihatkan pada 2016, sekitar 1% dari orang terkaya di Indonesia (2,6 juta jiwa) memiliki 49% dari total kekayaan Indonesia, berkebalikan dari nasib 40% (100 juta rakyat termiskin) yang berebut porsi 1,4% kekayaan negara.
Sementara itu, kondisi kelas menengah negeri kita tengah terancam oleh pemiskinan sosial. Sebagian besar angkatan Milenial yang tengah diperebutkan di panggung politik kini menjadi lapisan generasi yang gagal membeli rumah. Mayoritas anak muda lulusan bangku kuliah sulit memperoleh pekerjaan yang layak akibat lesunya sektor produktif. Mayoritas tenaga kerja kita hidup dalam rumah tangga yang risau akibat setiap bulan dikejar-kejar kredit.
Ketakutan soal pemiskinan sosial itu sungguh beralasan mengingat, menurut laporan Asian Development Bank 2014, sekitar 55% atau lebih dari separuh dari rumah tangga yang dikategorisasikan miskin satu tahun sebelumnya adalah rumah tangga kelas menengah.
Kapitalisme Finansial
Lalu, mengapa ketimpangan sosial saat ini menjadi hantu bagi warga dunia?
Adam Tooze, sejarawan ekonomi dari Columbia University dalam Crashed: How a Decade of Financial Crises Changed the World (2018), menjelaskan krisis dan ketimpangan sosial berskala global terjadi karena sektor ekonomi kapitalisme finansial telah jauh meninggalkan aktivitas ekonomi produktif di setiap negara. Persoalannya bukan lagi semata-mata mayoritas umat manusia menghadapi problem eksploitasi di tempat kerja. Lebih gawat dari itu: tenaga mereka menjadi tak relevan.
Ketika sumber daya ekonomi dikuasai segelintir kekuatan korporasi besar yang berinvestasi melalui pergerakan uang di sektor kapitalisme finansial, sementara sektor ekonomi produksi tak kunjung bergerak, maka totalitas ekonomi dunia berubah ibarat arena perjudian di tengah tata ekonomi dunia yang bergantung pada nilai dolar.
Kalkulasi makro ekonomi negara tergantikan oleh neraca keseimbangan korporasi. Otoritas politik dan kebijakan programatik antar-partai yang bertarung dalam arena demokrasi menjadi tidak bermakna di hadapan kendali modal yang bergerak di pasar uang. Dunia lebih dikendalikan oleh kuasa korporasi (corporate power), alih-alih kedaulatan rakyat (demos).
Kembali pada pidato Presiden Joko Widodo pada pertemuan IMF-Bank Dunia. Adalah mubazir jika ajakan kolaborasi dan kerjasama Jokowi tak menyertakan koreksi atas kuasa korporasi di tengah menguatnya laju kapitalisme finansial. Saat menguraikan narasi Game of Thrones dalam pidatonya, Presiden Jokowi melupakan para Wildling (orang-orang 'barbar'), free folks yang selalu dikorbankan dalam pertarungan antar-warlord dan menjadi tameng terdepan ketika musuh kemanusiaan yakni Zombie bangkit saat winter season.
Di dunia nyata, free folks adalah mayoritas dari warga dunia yang dikorbankan sebagai tumbal di atas altar pemujaan kuasa korporasi—merekalah yang semestinya disebut dalam pidato Jokowi.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.