tirto.id - Di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, seorang agen pemasaran menyebarkan brosur perumahan berlokasi di Cibinong, Jawa Barat. Perumahan itu menawarkan berbagai tipe, mulai dari tipe 36-69 dengan luas tanah mulai dari 84-120 meter persegi.
Tipe paling murah tentu tipe 36, dengan luas tanah hanya 84, rumah itu dibanderol Rp467 juta. Dalam brosur itu dijelaskan bahwa jika dicicil selama 20 tahun, kisaran cicilannya Rp4 jutaan per bulan dengan asumsi bunga promosi hanya 8,75 persen. Padahal bunga normal kredit pemilikan rumah (KPR) saat ini bisa mencapai 12 persen.
Tipe yang lebih besar yakni tipe 45 dengan luas tanah 90 meter persegi dibanderol Rp560 juta. Dengan asumsi suku bunga 8,75 persen, cicilan rumah tipe ini sekitar Rp4,9 juta per bulan selama 20 tahun.
“Untuk yang tipe 36, gaji minimal Rp13 juta sudah bisa, Bu,” kata seorang agen pemasaran.
Untuk mereka yang bekerja di Jakarta, menjadikan Cibinong tempat tinggal, tentu sedikit melelahkan. Dari kawasan Kemang, Jakarta Selatan saja jaraknya sekitar 40 kilometer. Apalagi kalau dari Jakarta Pusat, tentu akan lebih jauh. Tetapi, lebih dekat ke Jakarta, harga rumah akan lebih mahal.
Di Puri Depok Mas—sebuah perumahan di kecamatan Pancoran Mas, Depok—misalnya, harga rumah tipe 48 dipatok dengan harga di atas Rp700 juta. Jaraknya sekitar 21 kilometer dari Jakarta Selatan. Gaji minimal untuk calon nasabah KPR di perumahan itu sekitar Rp16 juta per bulannya.
Untuk para pekerja dengan penghasilan sesuai upah minimum provinsi yakni Rp3,35 juta untuk Jakarta, rumah yang memungkinkan untuk dibeli adalah rumah-rumah subsidi yang lokasinya lebih jauh, seperti Parung Panjang dan Cileungsi, Jawa Barat atau Maja, Banten.
Saat ini, generasi milenial yang berada di rentang usia 17 hingga 37 tahun, terutama mereka yang berusia di atas 25 tahun, memiliki rumah adalah sesuatu kebutuhan yang semakin mendesak. Apalagi jika mereka sudah menikah dan mempunyai anak.
Namun, harga rumah yang kian mahal dan tak diiringi kenaikan gaji yang signifikan, membuat generasi milenial kesulitan memenuhi kebutuhan papan. Akibatnya, banyak dari mereka menggunakan uang orang tua, baik dalam bentuk hibah atau pinjaman, untuk membeli rumah. Ini sudah jadi fakta global yang tak hanya terjadi di Indonesia.
Masalah Global
Tahun ini, HSBC mempublikasikan riset yang menyatakan bahwa sekitar 36 persen milenial yang sudah memiliki rumah di pelbagai belahan dunia, mendapatkan bantuan finansial dari orang tua mereka masing-masing.
Di Kanada, porsi milenial yang membeli rumah dengan bantuan orang tua tak beda jauh dengan angka global, yakni 37 persen. Di Uni Emirat Arab, angkanya jauh lebih besar, yakni 50 persen. Berdasarkan riset itu, angka tersebut adalah yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain yang menjadi sampel. Perancis berada di urutan terendah, hanya 26 persen milenial yang membeli rumah dengan bantuan orang tuanya.
Riset yang dilakukan HSBC dengan Kantar TNS itu melibatkan 9.009 responden di sembilan negara, yakni Australia, Kanada, Cina, Perancis, Malaysia, Meksiko, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat.
Sebanyak 70 persen milenial di Cina sudah memiliki rumah. Ini adalah angka tertinggi dibandingkan delapan negara lainnya. Di Amerika Serikat, jumlah milenial yang sudah memiliki rumah hanya 35 persen. Di Australia, angkanya lebih kecil lagi, yakni hanya 28 persen. Tetapi, di antara sembilan negara itu, angka milenial yang memiliki rumah di Uni Emirat Arab adalah yang terkecil, yakni hanya 26 persen.
Penderitaan Memiliki Rumah
Selamat tinggal kemewahan dan berfoya-foya! Para milenial yang memutuskan membeli rumah, akan mengalami masa-masa di mana mereka harus berhemat untuk membayar cicilan atau menabung demi bisa membeli rumah.
Lebih dari setengah milenial yang menjadi responden menyatakan rela memangkas habis biaya gaya hidup dan bersenang-senang demi bisa memiliki rumah. Mereka bersedia mengurangi nongkrong di kafe atau belanja pakaian yang awalnya demi sekadar mengikuti tren fashion.
Tak hanya soal menghemat pengeluaran, para milenial juga rela menjalani pelbagai penderitaan demi bisa membeli rumah. Sebanyak 21 persen milenial menyatakan terpaksa harus menunda memiliki anak. Sebanyak 33 persen memilih membeli rumah yang jauh lebih kecil dari apa yang mereka idamkan.
Sebanyak 18 persen rela membeli rumah di lokasi yang tak begitu disukainya, terlalu jauh dengan tempat bekerja, misalnya. Ada juga yang menyewakan sebagain kamarnya untuk membantu membayar cicilan, jumlahnya sekitar 21 persen.
“Studi ini menepis mitos yang mengatakan mimpi memiliki rumah bagi generasi milenial tak akan pernah terwujud. Faktanya, tiga dari sepuluh milenial sudah memiliki rumah dan delapan dari sepuluh sudah merencanakan membeli rumah dalam lima tahun ke depan,” ujar Larry Tomei, Executive Vice President and Head of Retail Banking and Wealth Management, HSBC Bank Canada dalam laporan risetnya.
Apakah Anda salah satu yang juga harus bersusah-susah mencicil untuk punya rumah? Kalau iya, maka Anda termasuk yang masih beruntung karena tak semua orang bisa mengakses kredit bank apalagi mencicil sebuah rumah.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani