Menuju konten utama

Indonesia Belum Aman dari Risiko Krisis Moneter

Indonesia dinilai sebagai salah satu negara berkembang dengan tingkat risiko terpapar krisis moneter yang terendah. Tapi, apakah Indonesia benar-benar aman dari risiko krisis?

Indonesia Belum Aman dari Risiko Krisis Moneter
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengikuti rapat terbatas terkait strategi kebijakan memperkuat cadangan devisa di Kantor Presiden, Selasa (14/8/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Indonesia masuk dalam daftar delapan negara berkembang dengan risiko terhantam krisis moneter terendah, menurut analisis terbaru Nomura Holdings Inc. Selain Indonesia, negara dengan risiko mengalami krisis terendah ialah: Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia dan Thailand.

Penilaian risiko itu berdasarkan indeks Damocles yang dikembangkan tim analis Nomura. Indeks ini memakai indikator cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga dan impor untuk mengidentifikasi risiko krisis di 30 negara berkembang. Pada indeks itu, skor tingkat risiko krisis di Indonesia dan tujuh negara di atas adalah nol, demikian dilansir Bloomberg.

Sebaliknya, analisis yang sama menilai tujuh negara berkembang memiliki risiko tertinggi mengalami krisis. Tujuh negara itu: Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki, Ukraina. Negara-negara itu, kecuali Afrika Selatan dan Pakistan, saat ini sudah terbelit krisis.

Analisis ini tentu menguatkan klaim pemerintah. Selama ini, pemerintah meyakini Indonesia tidak sedang di ambang krisis meski nilai tukar rupiah melemah--hingga nyaris menyentuh level Rp 15.000 per dolar AS--di saat defisit transaksi berjalan membengkak.

Apakah Indonesia Aman dari Risiko Krisis?

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kesimpulan Nomura, bahwa Indonesia tidak berisiko tersambar krisis, tidak serta merta layak diamini.

“Kondisi sekarang bisa menjadi prakrisis ekonomi. Jadi terlalu dini menyimpulkan indonesia tidak masuk ke dalam krisis,” kata dia kepada Tirto, pada Rabu (12/9/2018).

Bhima mengingatkan data Bloomberg Vulnerabilities Index justru menempatkan Indonesia pada posisi keenam di antara negara berkembang yang paling rentan krisis, yakni setelah Turki, Argentina, Kolombia, Afrika Selatan dan Meksiko.

“Artinya mesti tetap waspada. Turbulensi global masih berlanjut dipengaruhi oleh kenaikan Fed rate [suku bunga the Fed], krisis mata uang negara berkembang dan perang dagang [AS vs Cina],” kata dia.

Bhima berpendapat dampak eksternal pada tahun depan juga bisa lebih berat karena suku bunga the Fed berpeluang naik 2-3 kali pada 2019. Hal ini bisa membuat arus modal keluar di negara-negara berkembang makin deras.

Apalagi, jika dibandingkan situasi 2008 dan 1996 (prakrisis), kondisi saat ini tidak bisa dibilang aman. Misalnya, kata Bhima, defisit transaksi berjalan hingga kuartal II 2018 lebih besar dari saat 1996. Sementara pada 2008, justru surplus.

Sementara debt to services ratio (rasio utang terhadap pendapatan) hingga kuartal II 2018 mencapai 26 persen dari ekspor atau di atas batas aman versi IMF, 25 persen. Kondisi ini, kata Bhima, menandakan peningkatan utang belum mendongkrak kinerja ekspor dan menstimulus pertumbuhan.

“Porsi FDI [Investasi asing langsung] 2018 [kuartal II], yang makin menurun, [lebih rendah] dibanding 2008, mengindikasikan investor jangka panjang menahan diri untuk masuk ke Indonesia,” kata Bhima.

Sementara posisi cadangan devisa, yang selama ini dinilai kuat, terbukti belum mampu mengimbangi laju pelemahan kurs rupiah. Bhima berpendapat hal ini membuat penilaian risiko pada Bloomberg Vulnerabilities Index patut diperhatikan.

Data rilisan Bank Indonesia, pada 7 September lalu, menunjukkan posisi cadangan devisa Indonesia per akhir Agustus 2018 tercatat sebesar 117,9 miliar dolar AS. Angka ini turun dibanding akhir Juli yang tercatat 118,3 miliar dolar AS.

Penurunan cadangan devisa terjadi karena BI sedang berupaya menjaga stabilitas kurs rupiah di tengah peningkatan ketidakpastian global. Selain itu, penurunan juga dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Kendati tergerus 13,68 miliar dolar AS dibandingkan Januari 2018, cadangan devisa Indonesia masih di atas standar kecukupan internasional, yaitu sekitar tiga bulan impor. Posisi saat ini pun setara dengan pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah.

BI menilai cadangan devisa saat ini tetap memadai dan optimistis stabilitas maupun prospek perekonomian domestik akan membaik serta kinerja ekspor bisa tetap positif.

Meski demikian, Bhima berpendapat pemerintah tetap perlu mengambil empat langkah untuk meminimalisir risiko krisis.

Pertama, mengurangi defisit transaksi berjalan, khususnya dengan menekan impor migas. "[Salah satu] Solusinya konversi penggunaan energi ke gas. Gas masih cukup berlimpah,” ujarnya.

Kedua, pemerintah perlu memberikan insentif untuk ekspor komoditas utama. Untuk jangka pendek, kata dia, pungutan untuk ekspor komoditas utama seperti minyak sawit perlu dipangkas.

“Soal ekspor kuncinya di komoditas utama. Sekarang harga CPO [minyak sawit mentah] loyo sampai level petani dan digebukin bea masuk 54 persen di India,” kata dia.

Ketiga, pemerintah sebaiknya mendorong perusahaan-perusahaan agar menahan dana hasil labanya di dalam negeri melalui insentif pajak. Bhima merekomendasikan hal ini karena setiap masuk periode kuartal II, banyak perusahaan membagi dividen ke induknya di luar negeri dan investor asing.

Keempat, dia menilai UU Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar harus segera direvisi karena regulasi itu terlalu liberal.

Infografik Krisis Ekonomi Turki

Optimisme Pemerintah Meredam Dampak Gejolak Global

Kepada media asing, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan ekonomi Indonesia tetap sehat. Ia mengklaim pemerintah telah membuat kebijakan adaptif merespons ketidakpastian ekonomi global.

"Apa yang disesuaikan Indonesia untuk membuat ekonomi Indonesia menuju ke arah yang benar adalah: pertumbuhan yang cukup sehat, inflasi stabil cenderung rendah, dan kita punya rate flexibel, defisit fiskal diturunkan di bawah 2 persen. Tahun depan, akan 1.84 persen [rasio defisit anggaran terhadap PDB], dan kami akan terus membuat kebijakan makro yang prudent," kata Sri Mulyani.

Dia menjelaskan hal ini di sebuah sesi wawancara dengan Bloomberg, di sela-sela acara World Economic Forum untuk ASEAN di Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9/2018). Pernyataan Sri Mulyani itu disiarkan di laman resmi Kementerian Keuangan.

Sri Mulyani juga menyatakan kondisi fiskal Indonesia tahun ini jauh lebih baik dibanding pada 2017. Ia mengutip data realisasi APBN per bulan Agustus 2018.

"Hingga Agustus [2018], performa anggaran lebih baik. Penerimaan meningkat menjadi 18,5 persen, tahun lalu hanya 11 persen. Penerimaan pajak meningkat 16,5 persen per Agustus, tahun lalu hanya 9 persen. Belanja juga bagus. Tahun ini, [defisit anggaran] hingga Agustus hanya 1 persen dari GDP [PDB], tahun lalu 1,6 persen dari GDP. Jadi posisi fiskal sangat jauh lebih baik dan kuat," ujarnya.

Selain itu, Sri Mulyani menilai kerentanan Indonesia terhadap dampak ketidakpastian ekonomi global dan penguatan dolar AS tidak sama dengan negara-negara berkembang lainnya.

"Apa yang membedakan setiap negara adalah kerentanan terhadap [dampak] faktor eksternal. Indonesia bukan pada utangnya, namun pada defisit transaksi berjalan. [Maksimal] Tiga persen dari GDP, dan angka tersebut masih dalam kendali," kata dia.

Defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat mencapai 8,03 miliar dolar AS atau 3 persen terhadap PDB. Angka itu lebih besar dari catatan di triwulan I, yakni: 5,5 miliar dolar AS (2,1 persen dari PDB). Artinya, hingga semester I 2018, defisit transaksi berjalan telah sebesar 13,5 miliar dolar AS (2,6 persen dari PDB).

Dengan kondisi seperti ini, BI memproyeksikan defisit di akhir tahun akan berada di level 2,5 persen dari PDB. Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara pun menyatakan optimistis defisit bisa di bawah 3 persen dari PDB pada 2019.

Dia meyakini dampak kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan perang dagang mereda di tahun depan. Selain itu, kata Mirza, efek dari kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor minyak lewat program mandatori B20 dan penundaan proyek-proyek infrastruktur penyerap bahan baku dari luar negeri akan terasa dampaknya pada 2019.

Apabila dua upaya pemerintah tersebut berdampak positif, dia memprediksi investasi portofolio pun membaik di tahun depan. "CAD [defisit transaksi berjalan] itu kan harus ditutupnya oleh PMA [Penanaman Modal Asing] dan portofolio yang masuk," ujar Mirza, pada 10 September lalu.

Baca juga artikel terkait KRISIS MONETER atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Abdul Aziz