tirto.id - “Bayi saya akan mati jika saya tetap tinggal di Venezuela,” ucap Maria Teresa Lopez, sambil terisak. Maria adalah warga negara Venezuela yang nekat menyeberangi perbatasan dan melahirkan anak di Brazil. Ia tidak sendiri, hingga Juni 2018, ada 571 bayi lahir dari perempuan Venezuela yang mengungsi ke Kota Boa Vista, Brazil.
Ketiadaan bahan pangan, obat-obatan dan tenaga medis, membuat 2,3 juta rakyat Venezuela mengungsi ke berbagai negara sejak 2014, awal krisis ekonomi melanda negara itu. Kolumbia menjadi negara tujuan utama selain Amerika Serikat (AS), Spanyol, Cile, Ekuador, Brazil dan Peru. Negara terbesar ketiga di Amerika Latin ini mengalami krisis keuangan dengan pelemahan nilai tukar nyaris 100 persen sampai awal September 2018.
Memiliki $1 sama dengan menggenggam 248.000 Bolivar Venezuela. Butuh 2,5 juta Bolivar Venezuela untuk membayar secangkir kopi. Bayangkan berapa banyak uang tunai yang harus dibawa untuk belanja sayur di pasar? Saking banyaknya uang yang beredar, inflasi menyentuh 83.000 persen pada Juli dan menurut perkiraan IMF mencapai 1 juta persen pada akhir 2018. Hiperinflasi membuat harga barang-barang naik dua kali lipat setiap 26 hari secara rata-rata. Butuh perjuangan ekstra bagi rakyat Venezuela untuk sekedar membeli bahan pokok seperti makanan dan perlengkapan mandi karena mahalnya harga.
‘Formula Ajaib’ berupa redenominasi alias penyederhanaan nilai mata uang dilakukan pemerintah sebagai bagian paket kebijakan ekonomi yang dapat menyegarkan ekonomi Venezuela. Kenaikan upah minimum sebanyak 34 kali lipat juga diberlakukan mulai 1 September untuk membantu penghidupan rakyat. Uang virtual Petro dirilis untuk menghindari peredaran uang yang masif dalam transaksi sehari-hari. Langkah lain keluar dari belitan krisis ekonomi adalah dengan mengurangi subsidi bahan bakar dan menaikkan pajak penambahan nilai (PPN) dari 4 persen menjadi 16 persen.
Namun, celakanya para pengusaha bingung bagaimana membayar kenaikan upah minimum pegawai sebanyak 34 kali lipat. Uang virtual juga masih belum ramah penggunaannya bagi rakyat Venezuela. Akibatnya, antrean di bank tetap mengular. Ekonom juga memperingatkan redenominasi masih berpotensi menimbulkan masalah lanjutan, jika akar penyebab hiperinflasi tak kunjung diatasi.
Melemahnya nilai tukar mata uang, tingginya angka inflasi dan suku bunga acuan serta lebarnya defisit transaksi berjalan, menjadi benang merah anjloknya kinerja ekonomi beberapa negara berkembang seperti Venezuela dan Argentina. Langkah ekstrem berupa memangkas jumlah kementerian sampai setengahnya dilakukan Presiden Argentina Mauricio Macri.
“Ini adalah cara terbaik yang bisa dilakukan untuk menghentikan pengeluaran yang lebih besar dari pendapatan negara,” ucap Macri berulang kali dalam setiap pidatonya.
Pemotongan anggaran belanja negara diperlukan untuk menyeimbangkan APBN Argentina tahun depan. Pemerintah juga mengenakan tarif pajak ekspor baru terhadap produsen kedelai, untuk memperbesar kantong penerimaan negara. Produk ekspor primer termasuk produk pertanian akan dikenakan pajak senilai 4 peso per dolar. Barang ekspor lainnya akan dikenakan pajak senilai 3 peso per dolar.
Harapannya akan ada tambahan pendapatan senilai 432,8 miliar peso atau sekitar $15,8 miliar, setara 2,3 persen produk domestik bruto (PDB) Argentina. Tahun depan, angkanya bisa bertambah menjadi lebih dari $7 miliar.
“Kami sadar pengenaan pajak pertanian adalah hal buruk dan mengerikan dan itu bertentangan dengan cita-cita pasar bebas yang ingin diraih. Tapi ini darurat dan harus menjadi krisis yang terakhir,” imbuh Macri yang juga berjanji akan kembali menghapuskan pajak sektor pertanian begitu ekonomi Argentina stabil.
Berbagai langkah preventif itu diharapkan dapat membuat Argentina mengalami surplus fiskal primer sebesar 1 persen PDB pada 2020. Negeri Tango itu juga harus meminta dana bantuan internasional senilai $50 miliar untuk memulihkan kondisi ekonomi. Nominal $15 miliar tahap pertama telah cair dan digunakan untuk menjaga stabilisasi nilai tukar peso.
Sejak awal tahun peso melemah 52,24 persen terhadap dolar AS, turut disumbang tingginya inflasi mencapai 31,2 persen secara tahunan. Banco Central De La Republica Argentina menggelontorkan cadangan devisa untuk melawan pelemahan peso. Bank sentral kehilangan 7,13 persen cadangan de dan menyisakan $57,93 miliar akhir Juli 2018. BCRA juga menaikkan suku bunga acuan nyaris 40 persen menjadi 60 persen saat ini dibanding posisi awal tahun yaitu 27,25 persen.
Turkiye Cumhuriyet Merkez Bankasi mengakali pelemahan kurs lira dengan cara menaikkan suku bunga acuan juga dilakukan. Bank sentral Turki ini berencana menaikkan tingkat suku bunga acuan dalam pertemuan komite kebijakan moneter pada 13 September mendatang. “Tindakan ini diperlukan untuk mendukung stabilitas harga,” tulis bank sentral Turki.
Capital Economics memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 200 basis poin, lebih rendah dari 700 hingga 1000 bps yang diharapkan pelaku pasar. Cara lain keluar dari ancaman jurang krisis keuangan dilakukan Turki dengan memboikot produk buatan AS. Reccep Tayyip Erdogan meminta rakyatnya mengganti iPhone besutan Apple, dengan Vestel Venus produk lokal. Pengusaha ekspor-impor Turki juga didesak untuk tidak terburu-buru membeli dolar.
Mendulang uang dari penerimaan negara dilakukan pemerintah Turki dengan menaikkan tarif listrik sebesar 14 persen untuk keperluan industri dan 9 persen untuk rumah tangga mulai akhir pekan ini. Penyebabnya, operator pipa BUMN Turki, Botas, telah menaikkan harga gas alam untuk produksi listrik sebesar 50 persen untuk industri dan sebesar 9 persen untuk rumah tangga.
Afrika Selatan juga berada di tubir resesi. PDB negara benua hitam itu turun 0,7 persen pada kuartal II-2018, tanda melemahnya pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut dalam setahun. Lesunya konsumsi rumah tangga dan berkurangnya produksi pertanian jadi sebab melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kurs rand, mata uang Afrika Selatan melemah 19,78 persen sejak awal tahun hingga saat ini. Tingkat inflasi periode yang sama mencapai 3,49 persen.
Meski sama-sama mengalami pelemahan nilai tukar, tapi Gubernur Bank Sentral Afrika Selatan Lesetja Kganyago menolak keras kondisi Afrika Selatan disandingkan dengan Turki dan Argentina. Ia menegaskan, kebijakan moneter yang dikeluarkan South African Reserve Bank lebih kredibel dibanding dua negara yang disebut tadi. Namun investor keburu kecewa dengan data pertumbuhan ekonomi dan angka industri yang dicapai Afrika Selatan karena menunjukkan pelemahan dibanding perkiraan.
“Afrika Selatan memiliki utang denominasi valas dibanding negara berkembang lainnya. Ini tanda kebijakan moneter kami lebih kredibel,” kata Kganyago sambil mengisyaratkan akan memantau angka inflasi sebelum memutuskan menaikkan suku bunga acuan.
Cara yang dilakukan pemerintah maupun bank sentral berbagai negara tersebut mirip-mirip dengan yang dilakukan Indonesia. Mengatasi polemik pelemahan nilai tukar misalnya, pemerintah Indonesia menetapkan kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap 1.147 jenis barang konsumsi impor. Tujuannya, menekan defisit transaksi berjalan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan sebanyak 719 jenis barang mengalami kenaikan tarif PPh impor dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen.
Sementara, 218 jenis barang impor lainnya yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, mengalami kenaikan menjadi 10 persen dari sebelumnya 2,5 persen. Di samping itu, ada juga 210 jenis barang mewah seperti mobil impor utuh dan motor besar yang mengalami kenaikan tarif PPh dari 7,5 persen menjadi 10 persen.
“Kami telah mengidentifikasi barang-barang apa saja yang bisa dikendalikan, agar tidak memengaruhi perekonomian secara keseluruhan,” tegas Sri Mulyani.
Cara lain membendung pelemahan nilai tukar dilakukan bank sentral Indonesia dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan sebanyak empat kali dari 4,25 persen menjadi 5,5 persen. Selain itu, Bank Indonesia juga menguras cadangan devisa sebesar $13,67 miliar untuk menstabilkan rupiah. Posisi cadangan devisa per 31 Juli 2018 tersisa $118,31 miliar dibanding Januari 2018 yang mencapai $131,98 miliar. Namun, posisi terakhir hingga Agustus 2018, BI belum merilisnya.
Kondisi ekonomi yang genting biasanya akan merembet ke stabilitas politik dan keamanan, bila sisi ini sudah tersentuh maka krisis berat siap menanti negara-negara yang sedang berjibaku keluar dari ancaman ini.
Editor: Suhendra