tirto.id - Ribuan warga Argentina pada hari Jumat, 25 Mei lalu turun ke jalan, memprotes kebijakan pemerintah Presiden Mauricio Macri untuk mendapatkan pinjaman dari Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF). Penduduk Argentina masih merasakan trauma akibat langkah-langkah penghematan yang diberlakukan IMF saat kehancuran ekonomi melanda negara tersebut di tahun 2001-2002 dapat terulang dan terbelit utang senilai $100 miliar.
Bertahun-tahun lamanya, Argentina mencoba menghindari IMF namun akhirnya kembali mengetuk pintu IMF untuk meminta bantuan keuangan, dengan nilai bantuan sebesar $50 miliar yang merupakan jumlah terbesar sepanjang sejarah IMF. Pencairan pinjaman perdana telah berlangsung pada 20 Juni 2018, di tengah penolakan besar-besaran penduduk Argentina dan di tengah kemerosotan tajam nilai tukar Peso sampai dengan 16 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Terperosoknya nilai tukar Peso tersebut merupakan posisi terendah sepanjang sejarah.
Penurunan tajam nilai tukar mata uang yang terjadi pada Mei 2018, memaksa Banco Central de la Republica Argentina (BCRA) menaikkan tingkat suku bunga acuan sebanyak 6,75 basis poin (bps) dari 33,25 persen menjadi 40 persen. Melansir BCRA, kenaikan bunga acuan tersebut merupakan yang ketiga sepanjang 2018 dalam jangka waktu yang cukup berdekatan.
Bank sentral Argentina juga mengambil empat langkah untuk meningkatkan kinerja pasar keuangan Argentina, seperti persyaratan kenaikan cadangan minimum secara bertahap sebesar 5 basis poin untuk deposito berjangka yang diharapkan dapat menyerap likuiditas hingga mencapai 100 miliar Peso dari sistem keuangan. Bank sentral juga mengizinkan perhitungan surat utang negara dalam mata uang dolar AS yang bertujuan untuk memperkuat pasar keuangan sekunder.
Kondisi keuangan negara yang morat-marit mengharuskan Argentina untuk menurunkan defisit anggaran menjadi 2,7 persen di tahun ini. Angka tersebut lebih rendah dibanding target sebelumnya yang ditetapkan sebesar 3,2 persen dan lebih rendah dibanding realisasi defisit anggaran 2017 yang mencapai 3,9 persen.
Menteri Keuangan Argentina Nicolás Dujovne mengatakan, pertumbuhan ekonomi Argentina tahun ini diperkirakan hanya sebesar 1,4 persen dan sebesar 1,5-2,5 persen di tahun 2019 mendatang. Target tersebut turun dibanding ekspektasi sebelumnya yang mengasumsikan pertumbuhan ekonomi di atas 3 persen.
Faktor kekeringan yang terjadi saat ini, menjadi salah satu penyebab signifikan goncangnya pertumbuhan ekonomi Argentina karena negara tersebut merupakan eksportir utama bahan makanan ke Cina dan AS. Kinerja ekspor komoditas pangan menjadi penyumbang devisa terbesar Argentina. Selain karena gagal panen, keputusan BCRA untuk melonggarkan target inflasi 2018 dari 12 persen menjadi 15 persen, turut menjadi penyumbang tumbangnya pertumbuhan ekonomi Argentina.
Selama 12 bulan terakhir, inflasi Argentina berada di atas 25 persen. Investor pun ketakutan dengan tumpukan utang luar negeri yang besar, tercermin dari imbal hasil surat utang berjangka waktu 10 tahun naik di atas 3 persen pada akhir April kemarin. Hal itu mendorong investor untuk menarik uang dari pasar negara berkembang dan aset berisiko lainnya, di mana Argentina berada di urutan pertama.
Argentina menerima bantuan Stand-By Arrangement (SBA) atau pinjaman selama tiga tahun, dengan pencairan dana perdana senilai $15 miliar. Rencana ekonomi pemerintah Argentina yang didukung oleh SBA bertujuan untuk memperkuat ekonomi negara dengan memulihkan kepercayaan pasar melalui program makroekonomi yang konsisten yang mengurangi kebutuhan pembiayaan, menempatkan utang publik Argentina pada tren penurunan dan memperkuat rencana untuk mengurangi inflasi dengan menetapkan lebih banyak target inflasi yang realistis dan memperkuat independensi bank sentral.
Christine Lagarde, Managing Director and Chairman IMF menuturkan, selama 2,5 tahun terakhir Argentina telah terlibat dalam transformasi sistemik ekonomi, termasuk perubahan yang mendalam terhadap pasar valuta asing, subsidi, dan perpajakan, serta peningkatan pada statistik resmi mereka. Meskipun demikian, pergeseran sentimen pasar baru-baru ini yang menarik dana dari pasar negara berkembang, memperburuk kondisi Argentina dengan memberikan tekanan yang besar terhadap neraca pembayaran negara tersebut.
“Kebijakan yang dimaksudkan oleh pihak berwenang berupaya mengatasi kerentanan ekonomi yang sudah berlangsung lama, memastikan bahwa utang tetap berkelanjutan, mengurangi inflasi, dan mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, sekaligus mengurangi kemiskinan," ujar Lagarde dalam laporannya, 20 Juni 2018.
Argentina menjadi salah satu negara yang menjadi 'pasien' IMF. Terdapat sedikitnya 37 negara di dunia yang saat ini menjadi 'pasien' IMF dengan beberapa kriteria dan skema pinjaman. Sebelum Argentina, pada 2016 ada Irak, Jamaika dan Kenya, yang turut menjadi 'pasien' IMF, dengan skema pinjaman SBA. Sedangkan di 2018 ini, Kolumbia menjadi pasien IMF dengan kategori Flexible Credit Line (FCL), bersama dengan Mexico yang telah menjadi 'pasien' IMF dengan kategori yang sama sejak 2017 lalu.
Venezuela dan Turki, menjadi 'calon pasien' IMF berikutnya. Nilai tukar mata uang yang anjlok, inflasi yang tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang minim, membayangi kondisi ekonomi dua negara tersebut.
Warga Venezuela bahkan rata-rata kehilangan berat badan 11 kg sepanjang tahun lalu, mengalami peningkatan dibanding 2016 yang hanya turun 8 kg. Seperti dilaporkan reuters, dari studi yang melibatkan tiga universitas di Caracas, Venezuela mengungkapkan seperempat dari populasi penduduk di sana hanya makan satu sampai dua kali sehari. Warga Venezuela bahkan harus melakukan aksi penjarahan seperti yang terjadi di Kota Maracaibo.
“Hanya ada dua pilihan, menjarah atau mati kelaparan,” kata Maryoli Corniele warga Maracaibo yang juga salah satu penjarah toko kepada media setempat Diario la Verdad seperti dilansir dari The Guardian.
Dewan Eksekutif IMF awal Mei lalu bertemu untuk mempertimbangkan masalah penyediaan data inti makroekonomi Venezuela. Dewan IMF mencatat bahwa penyediaan data yang memadai merupakan langkah pertama yang penting untuk memahami krisis ekonomi Venezuela dan mengidentifikasi solusi yang mungkin dilakukan bagi ekonomi Venezuela. Dalam pertemuan tersebut, Dewan IMF juga mengungkapkan bahwa pihaknya siap memberikan bantuan dana pinjaman internasional senilai $30 miliar per tahun untuk memulihkan ekonomi negara yang saat ini dipimpin oleh Nicolas Maduro.
"IMF siap bekerja secara konstruktif dengan Venezuela untuk menyelesaikan krisis ekonomi ketika siap untuk kembali terlibat dengan IMF," tulis laporan IMF tersebut.
Venezuela merupakan salah satu negara terkaya di Amerika Latin pada 1970-an karena memiliki cadangan minyak bumi yang berlimpah. Namun, kini kebalikannya, sebanyak 87 persen dari 32 juta jiwa penduduk Venezuela hidup dalam kemiskinan. Jumlah penduduk yang tidak memiliki pekerjaan terus bertambah dari 20,6 persen pada 2016 menjadi 26,4 persen 2017.
Makro dan mikroekonomi Venezuela turut gonjang-ganjing lantaran negara tersebut menggantungkan 96 persen kinerja ekspor dari komoditas minyak. Harga minyak Venezuela turun 50 persen pada tahun 2015 dan terpangkas hingga 85 persen pada delapan bulan pertama 2016, sejalan dengan anjloknya harga minyak mentah internasional.
Pertumbuhan ekonomi Venezuela terus terpuruk sejak 2014 dengan tumbuh minus 3,9 persen dan melonjak menjadi minus 14,49 persen pada 2017. Venezuela mengalami tingkat inflasi tertinggi di dunia. Alejandro Werner, Kepala Departemen IMF seperti dikutip dari Bloomberg mengatakan, inflasi Venezuela di tahun 2018 ini diperkirakan melambung hingga 13.000 persen karena kenaikan harga yang melonjak hingga lebih dari 4.000 persen.
Gabungan dari berbagai masalah itu membuat perhitungan indeks keprihatinan di negara yang saat ini dipimpin oleh Presiden Nicolas Maduro mencapai angka 1.872,0 poin. Ini merupakan negara dengan indeks kesengsaraan tertinggi di dunia. IMF pun memperkirakan dibutuhkan dana lebih dari $30 miliar per tahun untuk penyelamatan Venezuela dalam bentuk bantuan internasional.
“Penyelamatan Venezuela secara finansial lebih kompleks dari Argentina dan secara politik lebih kompleks dibanding Yunani,” kata Douglas Rediker, mantan perwakilan Amerika Serikat (AS) di IMF seperti dilansir dari Financial Times.
Selain Venezuela dan Argentina yang sedang "sakit", belakangan ini nama Turki menjadi perhatian karena kondisi ekonomi mereka yang morat-marit dan tekanan mata uang. Lira terperosok hingga 3,8 persen terhadap dolar AS pada Senin (9/7), setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan menunjuk menantu lelakinya, Berat Albayrak sebagai menteri keuangan dan menetapkan langkah-langkah yang dapat mengekang independensi bank sentral Turki, Central Bank of the Republic of Turkey (CBRT).
Sepanjang 2018, nilai tukar lira turun lebih dari 7 persen terhadap dolar AS dan menjadikannya sebagai salah satu mata uang negara berkembang berkinerja terburuk tahun ini. Melemahnya nilai tukar lira terhadap dolar AS harus dibayar mahal, lantaran Turki harus kehilangan seperlima dari nilai cadangan devisa.
Lembaga pemeringkat internasional Moody’s pun membunyikan peringatan atas lemahnya nilai tukar lira dan tingginya inflasi di Turki. Moody’s pun memberikan peringkat negatif atas peringkat utang negara Turki.
“Situasi tegang ini adalah ujian penting dari keseimbangan antara kekuatan fundamental ekonomi Turki yang dinamis dan fiskal yang sangat kuat, serta kerentanan eksternal (global) yang tinggi dan meningkat,” kata Moody’s seperti dilansir Reuters.
Para ekonom berpendapat, pelemahan nilai tukar lira merupakan cerminan dari tingginya inflasi dan perlunya kenaikan tingkat suku bunga acuan guna menahan kejatuhan lira lebih lanjut. Pertumbuhan upah pekerja juga diperlukan untuk merangsang daya beli masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar. Tingkat suku bunga yang dipertahankan rendah, membuat inflasi Turki menembus angka dua digit.
Erdogan berharap rendahnya tingkat suku bunga agar dapat mempertahankan biaya pinjaman rendah untuk merangsang pertumbuhan, terutama melalui proyek-proyek konstruksi. Namun, investor justru khawatir bank sentral Turki tidak dapat mengendalikan inflasi karena tekanan pelemahan suku bunga acuan yang merupakan kebijakan Erdogan.
Badan Pusat Statistik Turki atau Turkish Statistical Institute (Turkstat) mengumumkan inflasi Turki periode Mei 2018 meningkat jadi 12,2 persen dibanding April 2018 sebesar 10,9 persen, didorong oleh kenaikan harga barang konsumsi yang naik 11 persen sepanjang 2018. Turkstat juga menyebutkan, angka pengangguran di negara ini mencapai 10,4 persen dari jumlah penduduk periode Desember 2017 atau setara 3,29 juta orang.
Pertumbuhan ekonomi Turki tahun lalu memang melampaui Cina, namun tak mampu menurunkan angka pengangguran secara signifikan. Tingginya inflasi dan angka pengangguran, membuat Turki memiliki indeks keprihatinan mencapai 20,6 poin atau setara dengan Yunani yang tengah dilanda krisis berkepanjangan.
Korkut Boratav, salah satu ekonom Turki mengungkapkan, mengetuk pintu IMF untuk meminta dana bantuan pinjaman internasional menjadi hal yang tidak terhindarkan bagi Turki pada 2019. Inflasi yang tinggi, defisit neraca transaksi berjalan yang besar, defisit anggaran, depresiasi mata uang yang didorong oleh kaburnya investor asing dan kenaikan suku bunga yang ditujukan untuk membatasi pelemahan nilai tukar, menjadi kesamaan kondisi antara Turki dan Argentina.
Laporan terbaru IMF tentang Turki menyebut serangkaian peringatan. “Meskipun kebijakan ekspansif awalnya dijamin [setelah kemerosotan pertumbuhan 2016], namun kebijakan tersebut tidak lagi sesuai karena ekonomi menunjukkan tanda-tanda yang jelas overheating. Kebijakan moneter tampak terlalu longgar dan kredibilitasnya rendah; dan kebijakan fiskal on dan off-budget bersifat ekspansif dan berisiko merusak kredibilitas fiskal yang sulit diperoleh oleh Turki, ” tulis laporan tersebut (PDF).
Editor: Suhendra