Menuju konten utama

Turki Dihantam Krisis Ekonomi, Erdogan Berpaling pada IMF

Sikap politik pemerintahan Erdogan menyusutkan keyakinan investor terhadap kebijakan ekonomi negara itu.

Turki Dihantam Krisis Ekonomi, Erdogan Berpaling pada IMF
Seorang pegawai penukaran valas berinteraksi lewat ponsel di Istanbul, Turki (23/5/18). Lira, mata uang Turki, menyentuh angka terendah atas dolar AS karena sentimen pengusaha atas situasi politik di Turki. AP Photo/Lefteris Pitarakis

tirto.id - Menjelang Pemilu Presiden Turki 2018 pada 23 Juni mendatang, kondisi ekonomi Turki masih dihantam gelombang krisis.

Sejak awal tahun, lira, mata uang Turki, anjlok sekitar 20 persen terhadap dolar AS. Memasuki pertengahan Juni, nilai tukar lira menyentuh 4,73 per dolar AS dan berdampak pada melonjaknya inflasi.

Bahkan, pada 23 Mei lalu, nilai tukar lira bergerak mendekati rekor terendah dengan 4,92. Ketika itu para pembuat kebijakan moneter bertemu dan menaikkan suku bunga guna membendung krisis tersebut.

Akibat merosotnya lira dan memicu kenaikan suku bunga darurat, inflasi di Turki merangkak naik menjadi 12,2 pada Mei lalu setelah bulan sebelumnya 10,9 persen.

Dari Januari sampai Juni 2018 menjelang hari pemilu, ada sejumlah catatan yang memengaruhi sempoyongnya lira dan inflasi yang dilakukan oleh Turki sendiri.

Di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, pada 14 Mei, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan pernyataan bahwa ia bakal mengambil lebih banyak kendali kebijakan moneter dan memangkas suku bunga setelah pemilu tahun ini berlangsung.

Omongan Erdogan makin membuat keruh. Para investor resah dengan pernyataan yang menakut-nakuti tersebut karena menyiratkan ketidakpastian ekonomi Turki pada masa mendatang. Padahal, pelemahan nilai tukar dolar AS banyak dipicu oleh minggatnya para pemodal dari Turki.

Sejak pernyataan Erdogan tersebut, bank sentral Turki telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 17,75 persen guna meredam lemahnya nilai tukar lira. Ini rekor tertinggi di kelas negara berkembang sekalipun, seperti diwartakan Ahval.

Meskipun langkah menstabilkan nilai lira disambut oleh pasar, tetapi tidak di kalangan pasar keuangan Turki. Para investor masih cemas mengenai kebijakan ekonomi Turki yang goyah terutama setelah pemilu mendatang.

Para investor masih menjadikan sikap dan ucapan Erdogan sebagai parameter kepercayaan. Pada Maret lalu, misalnya, Moody’s , lembaga pemeringkatan dan analisis kuangan yang bermarkas di New York, mengeluarkan peringkat utang Turki yang menunjukkan “junk” alias tidak layak investasi.

Moody's mengingatkan Erdogan terkait langkah politiknya yang bakal mengenalkan sistem pemerintahan presidensial setelah pemilu bakal mengikis kepercayaan dan keseimbangan. Juga kebijakan ekonomi menjadi sulit diprediksi.

Cemil Ertem, penasihat ekonom Erdogan, memberikan pembelaan bahwa kucuran suku bunga tinggi tidak memicu inflasi. Baru-baru ini, Erdogan balik menuduh Moody’s telah melakukan fitnah dan mengancam akan memberikan sanksi.

Erdogan juga menuding pernyataan Moody’s pada Maret lalu sebagai upaya yang disengaja untuk menyabotase perekonomian Turki.

Deretan sikap reaktif yang ditunjukkan pemerintah Turki ini nyatanya membikin para investor terus ragu dengan Turki.

Bahkan, seperti dilansir dari Financial Times, upaya Wakil Perdana Menteri Turki, Mehmet Simsek, dan Gubernur Bank Sentral Turki, Murat Cetinkaya, meyakinkan para investor global di London pada akhir Mei lalu, bahwa Turki masih menjadi destinasi yang baik untuk menanamkan uang mereka, tampaknya sudah terlambat bagi sebagian investor.

Beberapa warga Turki turut merasakan dampak dari krisis ekonomi di Turki. “Secara umum saya bisa merasakan harga sedang naik dan itu berdampak negatif bagi kami,” kata Yasemen Atan, seorang mahasiswa kepada CNN.

Turki sejauh ini mengimpor ratusan miliar dolar AS barang tiap tahun. Termasuk mobil, pakaian, dan lemari es. Barang-barang tersebut semakin mahal dari hari ke hari.

Infografik Krisis Ekonomi Turki

Ekonomi Rezim Erdogan

Sejak Recep Tayyip Erdogan naik ke tampuk kekuasaan sebagai presiden pada Pemilu 2014, lira terus merosot. Keterpurukan lira makin parah dalam beberapa bulan terakhir hingga menjelang hari Pemilu 2018.

Dalam pemungutan suara nanti, siapa yang paling siap mengakhiri ketidakpastian ekonomi diprediksi bakal menjadi faktor penentu dan mendesak dibandingkan masalah perubahan sistem pemerintahan parlementer menjadi eksekutif.

Referendum konstitusi Turki yang dihelat pada 16 April 2017, bagaimanapun, diadakan di bawah keadaan darurat sejak Juli 2016. Ketika itu pemerintahan Erdogan menuduh Fethullah Gulen, tokoh berpengaruh Turki, melakukan aksi kudeta.

Hasan Kus, pemiliki kios kecil yang menjual dan mereparasi ponsel di Besiktas, pesimis akan masa depan ekonomi negaranya.

“Orang-orang hanya mencoba untuk memilih skenario yang lebih baik, dibandingkan dengan yang lain,” ujar Hasan kepada Al Jazeera mengenai pemilu nanti, seraya melayani pembeli.

Suara rakyat Turki terpecah. Pemilih menyalahkan ketidakpastian Erdogan dengan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), dan butuh 15 tahun agar kondisi saat ini bisa dipulihkan sepenuhnya. Tetapi yang lain mengatakan hanya Erdogan dan partainya yang dapat menjaga stabilitas Turki.

Bagi Hasan, perubahan dalam pemerintah yang tidak stabil hanya akan memperburuk keadaan. “Akan mengurangi tingkat kepercayaan di Turki, karena itu akan lebih sedikit investasi dan pekerjaan (di Turki),” ucapnya.

Pertumbuhan ekonomi Turki diprediksi bakal gagal memenuhi target pemerintah tahun 2018.

Jajak pendapat Reuters kepada 53 ekonom pada Januari kemarin menunjukkan ekonomi Turki akan berkembang pada angka 4,1 persen; jauh dari perkiraan pemerintah yang mematok 5,5 persen, sekalipun AKP dan Erdogan terus menerapkan langkah-langkah stimulus menjelang pemilu.

Erdogan memang mengenalkan serangkaian langkah stimulus. Di antaranya perubahan pajak dan peningkatan dana jaminan kredit pemerintah yang mendukung pinjaman untuk usaha kecil. Namun, para analisis menaruh kekhawatiran tentang ketidakmampuan bank sentral mengendalikan inflasi dua digit.

Inflasi dipandang sebagai salah satu masalah yang paling menjengkelkan bagi perekonomian Turki saat ini. Diperkirakan, tingkat inflasi pada akhir tahun nanti mencapai 10 persen, melampaui target pemerintah yang hanya mematok tujuh persen.

Saat pemerintah banyak menaikkan suku bunga pada Mei lalu, pada 7 Juni, Erdogan mengambil langkah dengan menekan kesepakatan pinjaman siaga dengan Dana Moneter Internasional (IMF) senilai 50 miliar dolar AS.

Dengan kondisi menyusutnya keyakinan investor, Turki agaknya akan segera mengadakan pembicaraan dengan IMF terkait kesepakatan pinjaman baru. IMF terakhir kali menyokong Turki sekitar satu dekade lalu.

Baca juga artikel terkait KRISIS EKONOMI atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam