tirto.id - Presiden Recep Tayyip Erdogan kini benar-benar menjadi orang nomor satu di Turki. Hasil referendum 16 April 2017 telah menginginkan perubahan paling radikal dalam sistem politik Turki. Hasil referendum mengamanatkan adanya perubahan dari sistem parlementer ke presidensial.
Setelah ini, Erdogan berpeluang berada di tampuk kekuasaan hingga 2029. Salah satu basis pendukung perubahan ini adalah para diaspora Turki yang ada di Eropa, termasuk di Jerman--sebagai negara yang bersitegang dengan Turki pasca upaya kudeta gagal di Turki tahun lalu.
Referendum adalah bentuk protes diaspora Turki di Jerman. Pemungutan suara referendum Turki dilaksanakan di tiga kota, persentase Evet (Ya) atau yang setuju perubahan lebih besar daripada Hayir (Tidak) di semua tempat pemungutan suara di Jerman.
Dengan 63,2% suara untuk Evet, masyarakat Turki di Jerman menjadi salah satu yang paling mendukung Presiden Recep Tayyip Erdogan dan perubahan konstitusi. Di Eropa sendiri, yang paling tinggi persentase dukungannya adalah masyarakat Turki di Belgia (77,9%) dan yang paling rendah adalah Spanyol (13,3%).
“Kami diperlakukan dengan baik oleh orang-orang Jerman, tapi sekarang saya harus memikirkan putra dan putri saya,” ujar Erdem Tasdelen, manajer perusahaan tekstil yang sudah tinggal di Jerman selama dua puluh tahun dan mengaku baru belakangan menjadi pendukung Erdogan, sebagaimana dikutip dari New York Times.
“Terjadi diskriminasi terhadap komunitas Muslim di sini, dan satu-satunya orang yang membela kami adalah Erdogan.”
Detlef Pollack, profesor sosiologi agama University of Münster yang mendalami penelitian tentang integrasi masyarakat Turki di Jerman, melihat hasil pemungutan suara ini sebagai bentuk protes dari masyarakat Turki di Jerman.
“Orang-orang tua, terutama, menyukai fakta bahwa seseorang akhirnya menunjukkan kepada Barat, kepada Uni Eropa, bagaimana keadaan seharusnya; ini adalah ekspresi pembangkangan, ketegasan, dan kebencian,” ujar Pollack kepada Deutsche Welle.
“Sulit untuk memberi suara politik karena tiba-tiba masalah harga diri, nasionalitas, identitas, dan agama naik ke tingkat yang begitu penting hingga pragmatisme politik seolah tidak ada artinya.”
Wolfgang Borsbach, politisi CDU, berujar bahwa Jerman mau tidak mau harus menerima fakta bahwa masyarakat Turki di Jerman setia kepada Jerman hanya di tingkat ekonomi dan sosial. Kesetiaan mereka di tingkat politik dan ideologi tetap kepada Turki.
“Dalam pandangan saya, Erdogan tetap merupakan politisi yang sukses. Ia tidak hanya berjanji; ia menepati janjinya,” ujar Yahya Kilicaslan, seorang pengusaha, kepada der Spiegel.
Kilicaslan berpendapat bahwa Turki membutuhkan stabilitas politik untuk berkembang, dan karena itulah ia mendukung referendum. Hasil referendum ini seharusnya tidak mengejutkan jika mengingat pada pemilu parlemen 2015, nyaris 60 persen masyarakat Turki di Jerman memberi suara mereka kepada AKP, partai Erdogan.
Masalah untuk Jerman
Diaspora terbesar Turki di Eropa terdapat di Jerman. Sebagian besar dari mereka berdomisili di Koln, dengan Keupstrasse yang terletak di distrik Mulheim sebagai pusatnya. Liputan Deutsche Welle di Istanbul menunjukkan bahwa panasnya suhu politik di Turki akibat referendum ini tidak terasa di Jerman. Semua berjalan seperti biasa, tanpa keretakan politik atau semacamnya antara pendukung dan penentang perubahan konstitusi. “Ini adalah kebebasan berpendapat,” ujar Serhat Karadag.
Tapi jangan menganggap remeh bahayanya, ujar Lale Akgun dari SPD. “Di sini seperti mini-Turki,” ujarnya sebagaimana diwartakan New York Times.
“Semua yang mereka punya di sana, kami punya juga di sini.”
Karadag dan Akgun sama-sama benar. Walau tampak tenang dan biasa saja, hasil referendum Turki adalah masalah untuk Jerman. Jerman, menurut Ines Pohl, pemimpin redaksi Deutsche Welle, harus jujur kepada diri sendiri.
“Jika begitu banyak masyarakat yang tinggal di Jerman mendukung seseorang yang ingin, di antaranya, kembali menerapkan hukuman mati, maka terlepas dari semua usaha integrasi, ada yang salah entah di mana,” tulis Pohl. “Untuk menarik kesimpulan yang tepat, Jerman harus jujur kepada diri sendiri. Baik masyarakat politik maupun sipil harus mampu mengakui kegagalan mereka.”
Hasil referendum ini, menurut Pohl, bisa berpengaruh dalam pemilu Jerman karena debat mengenai kewarganegaraan ganda dan deportasi hanya akan memperkuat partai sayap kanan. Pohl tidak mengada-ada.
“Referendum ini dengan jelas menunjukkan bahwa kewarganegaraan ganda adalah gagasan buruk,” ujar Alexander Gauland, wakil pimpinan AfD – partai sayap kanan, anti-imigran Jerman – sebagaimana dikutip dari Deutsche Presse-Agentur.
“Ini rumah kami. Semua orang yang ingin tinggal di sini harus menyesuaikan diri.”
Michelle Muntefering, kepala komite Turki dalam parlemen Jerman, mengatakan bahwa ini jelas merupakan salah satu fase tersulit dalam hubungan Turki-Jerman. “Pemerintah Turki semakin sering saja mengambil langkah yang meninggalkan sedikit ruang untuk diskusi,” ujarnya sebagaimana dikutip dari New York Times.
“Kebangkitan populis sayap kanan di Jerman tidak membantu. Integrasi membutuhkan moderasi, bukan solusi populis yang menyesatkan.”
Hasil referendum yang menguntungkan Erdogan, menunjukkan ia berhasil memperkuat posisi politik di Turki termasuk dukungan dari para diaspora Turki di Eropa. Setelah referendum, Erdogan nampaknya harus mulai memikirkan hubungan Turki dan Eropa yang belakangan ini memburuk, karena bagaimana pun Eropa khususnya Jerman masih menjadi rumah dan ceruk ekonomi bagi para diaspora yang mendukungnya.
Penulis: Taufiq Nur Shiddiq
Editor: Suhendra