Menuju konten utama

Bagaimana Erdogan Melumat Oposisi Gulenis di Berbagai Negara

Erdogan tak puas hanya merepresi oposisi di Turki. Ia juga memburu para tertuduh di puluhan negara lain. Dan berhasil.

Bagaimana Erdogan Melumat Oposisi Gulenis di Berbagai Negara
Recep Tayyip Erdogan. REUTERS/Umit Bektas

tirto.id - Turki pascakudeta gagal pada Juli 2016 adalah negeri penuh represi yang menghantam siapapun yang dicap makar. Target utamanya Fethullah Gulen yang dituduh sebagai dalang dan beberapa bulan usai kudeta diperintahkan secara resmi untuk ditangkap. Lebih tepatnya diekstradisi dari Amerika Serikat, negara pengasingan Gulen sejak tahun 1999.

Lebih dari 100 hakim dan jaksa ditangkap, 145.000 pegawai negeri dipecat, 3.900 orang dari dinas sipil dan militer diberhentikan kariernya, 9.100 polisi diskors, hampir 900 tentara diamankan (650 kemudian dibebaskan), 1.700 lainnya dipecat secara tak terhormat, dan 15 kantor media ditutup paksa, di mana hampir 100 jurnalis ditahan. Puluhan ribu warga sipil diamankan. Seluruhnya dilabeli sebagai oposisi berbahaya bagi rezim pemerintahan Turki di bawah kendali Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Sejak 2013 Erdogan sudah mengkambing hitamkan Gulenis, sebutan bagi pengikut Gulen. Gulenis yang ada di kepolisian menjalankan investigasi terkait korupsi yang menyeret sejumlah menteri dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), partai penguasa yang dipimpin Erdogan, pada Desember 2013. Proses tersebut justru dinilai Erdogan sebagai upaya kudeta. Buntutnya, puluhan penegak hukum dipecat Erdogan.

Erdogan secara resmi menamakan gerakan Gulen sebagai FETO (Fethullahist Terror Organization). Ada yang menilai nama itu berlebihan sebab gerakan Gulen berpusat di ranah pendidikan dan kesehatan, bukan seperti kelmpok militan yang mengangkat senjata.

Namun kebencian Erdogan terhadap Gulen dan orang-orang yang bersimpati padanya terlanjur berkobar kencang. Tentu sebab Gulenis bisa menjadi oposisi kuat bagi pemerintahannya, sehingga tekanannya hampir sepadan dengan represi Erdogan pada minoritas Kurdi di Turki, khususnya Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang punya sejarah perlawanan panjang terhadap Republik Turki.

Sejak sebelum kudeta gagal, rezim Erdogan bahkan sudah memburu oposisi dari kalangan Gulenis hingga ke luar negeri. Pemerintah pusat di Ankara menyita ribuan paspor, menangkapi, mendeportasi, dan menjalankan sistem interogasi keras terhadap ribuan warga Turki yang sedang berada di luar negeri—termasuk mereka yang berstatus sebagai pencari suaka dan dalam perlindungan PBB.

Merujuk laporan Tirto pascakudeta, sasaran represi juga tertuju kepada puluhan (ada yang menaksir ratusan) sekolah bikinan Gulen di setidaknya 20 negara yang diminta untuk tutup atau berganti pemilik (bukan yayasan Gulen). Sekolah jaringan Gülen di Turki mencapai 300 buah, dengan total lebih dari 1.000 di seluruh dunia—termasuk di Indonesia.

Pascakudeta gagal pemerintah Erdogan melalui Kedubes Turki di Jakarta juga mendaftar sembilan sekolah yang dikaitkan dengan gerakan Gulen. Rata-rata berbentuk sekolah dwibahasa yang tersebar di Depok, Bandung Tangerang, Semarang, Yogyakarta, Sragen, Aceh, dan Kalimantan Selatan.

Ironisnya, selama ini jaringan gerakan Gulen di 90 negara terkenal aktif mempromosikan kebudayaan Turki di negara-negara yang bersangkutan. Dengan kata lain mereka bertindak sebagai semacam diplomat kebudayaan untuk Turki. Mereka mengadakan festival film Turki, menerbitkan Kamus Bahasa Indonesia-Turki, dan aktivitas kultural lainnya.

Savira Faturahman, alumnus Bahasa Arab UI yang menulis skripsi tentang Gulen, pernah berkata pada Tirto bahwa ia menemukan kemiripan gerakan Gulen dengan Muhammadiyah. “Mereka bikin sekolah, rumah sakit. Intinya, gerakan ini ingin orang Turki pintar. Harus pintar. Pendidikan harus maju. Mereka beda dengan pendidikan umum, mereka menggunakan pendekatan Islam dan budaya Turki,” jelasnya.

Di Indonesia, ada organisasi yang diwarnai gerakan Gülen bernama Pacific Nations Social and Economic Development Association (PASIAD). Beberapa sekolah, menurut studi di skripsi Savira, berafiliasi pada organisasi ini. Sekolah-sekolah ini mengajarkan nilai-nilai universal. Beasiswa pun tak dipilah berdasarkan agama murid. Siswa non-muslim sama-sama bisa mendapat keringanan biaya.

Menurut Nate Schenkkan untuk Forreign Affairs, sikap Erdogan berbalik 180 derajat dengan bagaimana rezim memperlakukan gerakan Gulen pada tahun 1980-an. Di masa itu gerakan Gulen didukung oleh rezim sebab mempromosikan Islam yang modern sekaligus nasionalis, sehingga beriringan dengan doktrin negara. Rezim mempromosikan gagasan identitas Islam sebagai pokok dari nasionalisme Turki untuk membendung ancaman revolusi kelompok kiri.

Infografik Bersih bersih pemerintah Turki

Gerakan Gulen hadir bersamaan dengan liberalisasi ekonomi Turki sehingga mendorong perluasan gerakan hingga ke wilayah Balkan, Asia Tengah, lalu ke seluruh dunia. Selain bergerak di bidang pendidikan, gerakan Gulen kemudian berperan sebagai tulang punggung Turki untuk membangun jaringan internasional. Dengan demikian keuntungan yang diraih Turki sendiri turut meluas.

Mulai awal 2000-an kekuatan AKP yang merepresentasikan arus konservatisme Islam mulai membesar. Pada 1999, Gulen melarikan diri ke AS karena khawatir ditangkap akibat kekisruhan militer yang dikaitkan dengan rezim sebelumnya. AKP menang di parlemen di tahun 2002 dan gerakan Gulen berkembang pesat, tetapi Gulen tetap bertahan di AS.

Sayangnya kemesraan itu pecah di tahun 2013. Selain didorong oleh skandal mega-korupsi yang menyeret politisi AKP, gerakan Gulen dan AKP juga berbeda sikap soal isu PKK dan Israel—dua musuh ideologis AKP. Skandal korupsi dinarasikan pemerintah Turki sebagai upaya lunak kelompok Gulen untuk menggulingkan rezim, sementara upaya kerasnya dijalankan pada kudeta gagal bulan Juli 2016.

Gaya "pembersihan" Turki di skala global dimulai dengan menekan puluhan negara secara diplomatik untuk menangkap atau mendeportasi ratusan warga Turki yang dituduh terkait kudeta. Schenkkan menghitung ada 15 negara yang menurutinya, mulai dari negara-negara di Afrika, Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Khusus di Kazakhtan, Myanmar, dan Sudan, mengutip Al Arabiya, target langsung diserangkan ke Turki tanpa melalui proses peradilan.

Schenkkan juga menemukan korban deportasi dalam status sedang mencari suaka, sehingga harusnya mendapat perlindungan, bukan asal dikirim ke Turki. Antara lain terjadi di Azerbaijan, Bahrain, Bulgaria, Malaysia, dan Pakistan. Di Bulgaria, pada Agustus 2016, ada seorang insinyur perangkat lunak yang telah mengajukan permohonan suaka sebelum kudeta gagal, namun tetap dideportasi. Di Angola, Pakistan, dan Qatar, ada yang dideportasi setelah sekolah Gulen di negara-negara itu ditutup.

Penutupan sekolah bikinan gerakan Gulen terjadi di Gambia, Azerbaijan, dan Tajikistan. Sepanjang tahun 2017 terjadi penutupan atau pergantian pemilik sekolah-sekolah Gulen di Afghanistan, Chad, Georgia, Mali, Nigeria, Rwanda, Sudan, dan Tunisia.

Represi lintas negara membuat kasusnya sampai ke meja Interpol. Pada Desember 2017 Associated Press melaporkan bahwa perwakilan Interpol telah memeriksa 40.000 permintaan ekstradisi. Beberapa di antaranya dari Turki, yang kemungkinan besar adalah korban pertikaian politik.

Sebelum berita itu muncul, ada seorang korban yang juga menjadi sorotan media. Ia adalah Dogan Akhanli, penulis kewarganegaraan Jerman dan Turki yang ditangkap dan dipaksa tinggal di Spanyol selama dua bulan sementara otoritas Spanyol mempertimbangkan permintaan ekstradisi dari Turki.

Akhanli dimusuhi pemerintah Turki karena rajin menyoroti kejahatan kemanusiaan abad ke-20, termasuk pembantaian orang-orang Armenia oleh Kesultanan Ottoman—tragedi yang hingga hari ini terus disangkal oleh pemerintah Turki. Sepanjang kariernya ia juga menulis tentang pelanggaran hak asasi manusia selama era Erdogan berkuasa. Dalam laporan Der Spiegel, pengacara Akhanli, Ilias Uyar, menyatakan hampir tak percaya bila kini Turki begitu bernafsu memburu orang-orang kritis sampai ke luar negeri.

Setelah penahanan selama dua bulan di Spanyol sebagai dampak dari huru-hara politik di Turki, pada bulan November 2017 ia akhirnya dipulangkan ke rumahnya di Cologne, Jerman. Dalam laporan Deutsche Welle, saat Akhanli tiba di Bandara Dusseldorf, seorang pria berteriak dengan bahasa Turki, mengutuknya sebagai pengkhianat dan “negeri ini (Jerman) tak akan bisa menyelamatkanmu.”

Penulis kepala enam itu merasa bersyukur bisa pulang dengan selamat, namun ia cukup terganggu dengan insiden tersebut. Akhanli berpendapat bahwa perburuan Turki telah gagal, sehingga membuat pria di bandara merasa terganggu dan merasa perlu untuk mengancam dirinya.

Baca juga artikel terkait KUDETA TURKI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf