tirto.id - Pekan lalu Amerika Serikat menyatakan dukungan kepada kelompok-kelompok milisi di Suriah Utara untuk bergabung membentuk Pasukan Perbatasan Suriah (SBDF). Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bereaksi keras dan menyatakan akan menghancurkannya bahkan “sebelum kekuatan itu lahir”, akibat di dalamnya juga terdapat Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), demikian kutip Reuters.
Senin (21/1/2018) lalu Erdogan benar-benar melancarkan operasi militer ke Suriah Utara tempat pasukan YPG bernaung. Ia memakai sandi Operasi Ranting Zaitun, demikian lapor AFP. Sehari kemudian muncul laporan bahwa Pasukan Turki berhasil merebut 15 desa dan lokasi lain untuk memudahkan serangan ke lokasi target.
Menurut Al Jazeera, Turki dibantu oleh sekitar 25.000 Tentara Pembebas Suriah (FSA) untuk merebut kembali kurang lebih 16 kota kota dan desa yang dikuasai YPG. Mereka berulangkali menegaskan tak menyasar warga sipil, tetapi YPG menyatakan area tempat tinggal warga juga kena serangan. Serangan Turki telah menyebabkan 150.000 penduduk di beberapa desa terpaksa keluar dari rumahnya, tinggal sementara di pengungsian dekat perbatasan Suriah-Turki, dan belum dibolehkan pulang.
YPG berada di bawah Partai Persatuan Demokratik (PYD) yang juga membawa kepentingan warga Kurdi di Suriah. Kurdi adalah kelompok etnis di Timur Tengah yang belum memiliki wilayah yang berdaulat. Sebuah wilayah yang dinamai Kurdistan merentang dan melintasi beberapa negara, namun tak pernah diakui dunia sebagai sebuah negara. Irisannya meliputi teritori Turki, Iran, Irak, dan Suriah.
Menurut data World Factbook yang disusun CIA tahun 2015, warga etnis Kurdi terbanyak ada di Turki yakni mencapai 14,5 juta orang. Kedua ada di Irak, sebesar 7 juta orang, disusul Iran dengan 6 juta orang dan Suriah sebanyak 2,5 juta orang. Ribuan penduduk Kurdi lain tersebar di negara-negara di benua Eropa, Amerika, dan Asia Timur. Porsi penduduk Kurdi terkecil ada di Australia, yakni berjumlah kurang lebih 7000 orang.
Hubungan antara Turki dan Kurdi hampir selalu panas. Serangan ke Suriah Utara adalah ekspansi represi yang dilakukan oleh rezim pemerintah Turki kepada minoritas Kurdi sejak Turki terbentuk pada tahun 1932. Sepanjang dekade-dekade berikutnya, meski warga Kurdi adalah minoritas etnis terbesar di Turki, mereka terus saja didiskriminasi. Dalam kasus yang paling parah, dibantai.
Pada pertengahan Juli 1930, misalnya, terjadi Pembantaian Zilan yang menewaskan kurang lebih 15.000 warga Kurdi. Peristiwa ini terjadi di lembah Zilan, Provinsi Van, Turki Timur. Kala itu operasi militer dijalankan oleh Letjen Salih, yang menurut koran Cumhuriyet, mengorbankan di antaranya 5.000 perempuan, anak-anak, dan orang tua.
Tujuh tahun berselang muncul kembali tragedi yang dicatat sejarah sebagai Pembantaian Dersim. Otoritas Turki yang menjadi pelaku menyatakan bahwa kelompok Kurdi yang jadi korban tengah melakukan pemberontakan. Belum diketahui secara pasti berapa jumlah korban. BBC News dan sejumlah lembaga kemanusiaan lain memperkirakan antara 8.000 hingga 13.000 jumlah korban. Tiga ribu lainnya terpaksa mengungsi dari Dersim.
Menurut laporan Partai Komunis Turki, antara tahun 1925 dan 1938, lebih dari 1,5 juta orang Kurdi dideportasi dan dibantai. Kala itu nasionalisme Kurdi memang sedang naik-naiknya. Untuk mencegah peristiwa tersebut tercium oleh dunia internasional, Turki mengambil kebijakan yang melarang orang asing mengunjungi seluruh wilayah Timur dari sungai Efrat sampai tahun 1965. Daerah tersebut juga dikepung ketat oleh militer Turki sampai 1950.
Represi pemerintah Turki kepada minoritas Kurdi menyasar ranah kultural. Menurut Hurst Hannum di bukunya Autonomy, Sovereignty, Self-Determination (1996), Ankara melarang penggunaan bahasa Kurdi, termasuk juga pakaian dan peredaran cerita rakyatnya. Hingga 1946 penggunaan nama khas Kurdi dilarang. Agar tidak nampak identitas etnisnya, pemerintah bangsa menyebut Kurdi sebagai “Orang-orang Turki pegunungan". Baru pada 1991 penyebutan itu dihapus.
Sementara menurut Bahar Baser di buku Diaspora and Homeland Conflict: A Comparative Perspective (2015), pemerintah Turki juga pernah melarang dan menghapus kata "Kurdi" dan "Kurdistan" dari kamus dan buku-buku sejarah di Turki. Usai pemberontakan, yang lagi-lagi gagal, penggunaan bahasa Kurdi dilarang di tempat umum. Aturan ini baru dicabut pada 1991. Namun masih ada larangan agar bahasa Kurdi tidak dipakai sebagai medium pengajaran di sekolah-sekolah.
Dalam kondisi yang demikian, tak mengherankan jika sebagian orang Kurdi memilih untuk melawan. Pada 1978 aktivis Kurdi militan membentuk Partai Pekerja Kurdi (PKK) yang berhaluan Marxis. PKK ingin membebaskan semua wilayah bagian Kurdistan dari penindasan kolonial Turki dan membentuk negara independen. Kompromi ke depannya mengubah tuntutan menjadi wilayah otonomi, tetapi pokok visinya tetap pada penghilangan represi terhadap bangsa Kurdi di Turki.
Perjuangan PKK yang disertai kontak bersenjata melahirkan konflik berkepanjangan, hingga era pemerintahan Erdogan. Total korbannya baik dari kalangan sipil maupun prajurit kedua pihak mencapai lebih dari 50.000 orang.
Uni Eropa dan AS termasuk pihak-pihak yang menggolongkan PKK sebagai kelompok teroris. Namun tidak untuk YPG.
Sementara Turki, dengan sentimen anti-Kurdi-nya, dengan tegas menggolongkan YPG sebagai kelompok teroris. Untuk itu mereka sangat khawatir saat mendapat kabar YPG makin kuat di Suriah Utara berdekatan dengan teritori Turki. Bak tinggal menunggu bom waktu sebelum akhirnya mereka benar-benar melakukan serangan dengan dalih pertahanan diri.
Turki juga sangat khawatir pada referendum kemerdekaan Kurdistan. Pemungutan suara dihelat pada Senin, 25 September 2017. Dua hari berselang, petugas pemilihan di Irbil, ibu kota Pemerintah Wilayah Kurdistan (Kurdish Regional Government/KRG), mengumumkan bahwa hampir 93 persen peserta referendum memilih untuk merdeka dari Irak alias membentuk negara independen Kurdistan.
Di antara sekian banyak negara yang tak mendukung hasil referendum, Turki jadi salah satu yang paling keras mengecam. Erdogan sebenarnya punya hubungan baik dengan otoritas Kurdi di utara Irak. Namun masa-masa itu sudah berlalu sejak referendum, demikian sebagaimana dikutip Independent. Mereka mengancam akan menerapkan sanksi ekonomi, memotong akses Kurdi ke pasar internasional, hingga akan menggabungkan diri dengan tentara Irak di perbatasan dengan wilayah Kurdistan.
Erdogan percaya diri bahwa orang-orang Kurdi di Irak akan kelaparan jika Ankara menutup jalur truk dan minyak. Ia ingin menargetkan pihak yang mengorganisir referendum, bukan warga sipil. Turki dilaporkan Independent khawatir jika Kurdi di Irak berhasil membentuk negara sendiri, maka maka akan timbul keinginan untuk merdeka daru orang-orang Kurdi di negara tersebut.
Erdogan sempat menjalin perdamaian dengan PKK di awal menjabat pada tahun 2014. Laporan The Economist disebutkan bahwa kesepakatan itu dibuat bersama pendiri PKK Abdullah Ocalan dan berhasil meyakinkan kelompok Kurdi lain yang lebih moderat.
Sayangnya bulan madu berbasis gencatan sejata itu hanya berlangsung sebentar. Pada pertengahan 2015 muncul rentetan serangan yang dinilai Turki sebagai tanda batalnya gencatan senjata. Dalam pembelaan PKK, mereka terpaksa melancarkan serangan yang bersifat emosional karena Turki dianggap gagal memberikan rasa aman kepada orang Kurdi yang sedang diserang oleh ISIS di daerah Kobane, Suriah.
Erdogan tak peduli dan malah mengeksploitasi serangan tersebut sebagai alasan untuk melakukan serangan milter. Pada Juli 2015 hingga Desember 2016 mereka menyerbu ke kantong-kantong pertahanan PKK. Hasilnya adalah kematian 2.000 orang dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi untuk mengamankan diri serta keluarga. Siapapun yang menentang keputusan berperang akan dipersekusi, apalagi untuk politisi Kurdi yang moderat.
Ada konsekuensi lain dari serangan Erdogan ke Suriah. Turki adalah anggota dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Amerika Serikat, kekuatan terkuat di NATO, justru mengecam tindakan Erdogan, demikian laporan Washington Post. YPG adalah aliansi AS selama Perang Suriah selaku oposisi Presiden Bashar al-Asssad.
Pada akhirnya NATO goyah dari dalam, Turki kian menjauh dari AS, namun makin dengan dengan Rusia—yang menurut Al Jazeera memberi lampu hijau untuk Erdogan agar tak ragu menyerang komplotan Kurdi di Suriah Utara.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf