tirto.id - "Terjadi serangan roket. Saya tak tahu [apa yang harus saya lakukan]. Saya berlari... Dan setelah itu saya tak pernah melihat lagi keluarga saya," kata Faruk, seorang anak berdarah Indonesia di kamp al-Hol, Suriah, kepada BBC.
Faruk, bersama dua anak lain, Yusuf dan Nasa, terpisah dari orang tua mereka ketika pertahanan terakhir ISIS di Baghouz jatuh pada Maret 2019 dan diambil alih tentara Kurdi, Pasukan Demokratik Suriah (Syrian Democratic Forces/SDF). Orang tua mereka adalah simpatisan ISIS.
Pada Februari tahun lalu pemerintah Indonesia memutuskan tidak akan memulangkan warga dewasa yang bergabung dengan ISIS dengan alasan keamanan, tetapi membuka kesempatan repatriasi anak tanpa orang tua. "Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan, tapi case by case. Ya lihat saja apakah ada orang tuanya atau tidak, yatim piatu [atau tidak]," ujar Menkopolhukam Mahfud MD.
PBB dan berbagai organisasi humaniter sebetulnya telah berkali-kali mengimbau pemerintah berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk merepatriasi warganya, khususnya anak-anak. Namun rencana pemulangan, apalagi rehabilitasi dan reintegrasi, belum ada kelanjutannya hingga sekarang.
Nasib anak-anak seperti Faruk terkatung-katung, padahal mereka hidup dalam kondisi yang serba sulit, di tengah krisis keamanan dan pandemi Covid-19 yang juga menghantam tenda-tenda pengungsi.
Anak-anak dalam pengaruh ISIS tidak hanya berada di Syria. Mereka tersebar di wilayah yang pernah diklaim pemerintahan ISIS, termasuk di Irak, Filipina, dan Afghanistan. Hingga awal Agustus 2021, ada 11 orang Indonesia simpatisan ISIS yang ditahan di Kabul, Afghanistan, setidaknya tiga diantaranya adalah anak berusia di bawah 10 tahun. Sejumlah kecil orang Indonesia berhasil mencapai wilayah ‘Khurasan’ sejak 2017, beberapa di antara mereka membawa anak dan istrinya. Diskusi soal pemindahan WNI ke tahanan Kedutaan Indonesia di Kabul sudah dilakukan sebelumnya, tetapi gagal dilaksanakan karena pengambilalihan ibukota Kabul oleh Taliban pada 15 Agustus 2021. Taliban dikabarkan telah membebaskan tahanan pemerintah, termasuk dari kelompok pro-ISIS dan pro-al-Qaeda, termasuk ke-11 orang Indonesia. Hingga saat ini, tidak jelas bagaimana nasib mereka.
Potret Anak-Anak Indonesia di Kamp Suriah
ISIS merupakan organisasi ekstremis pertama yang aktif memobilisasi keluarga, termasuk perempuan dan anak-anak, sejak mendeklarasikan diri pada pertengahan 2014. Banyak dari mereka yang menjual seluruh harta benda dengan harapan dapat tinggal sejahtera selamanya di tanah yang dijanjikan.
Tapi realitas bertolak belakang dengan harapan. Ribuan simpatisan ditangkap dan ditahan setelah jatuhnya ibu kota ISIS Raqqa pada 2017 dan pertahanan terakhir di Baghouz pada 2019. Sebagian besar perempuan dan anak-anak menempati kamp, sementara laki-laki dewasa ditempatkan di penjara. Fasilitas ini dikelola SDF.
Laporan IPAC menyebut per Juni 2019 terdapat 555 orang Indonesia yang tersebar di kamp al-Hol, kamp al-Roj, dan penjara Kurdi. Sebagian besar masih anak-anak. Sebanyak 367 orang berusia di bawah 18, dengan 75 persennya berusia di bawah 10.
Kondisi di kamp sangat buruk bagi tumbuh kembang anak. Akses makanan, air bersih, dan fasilitas medis sangat terbatas.
Pandemi mempersulit situasi. Pembatasan mobilitas menyebabkan distribusi bahan baku terlambat dan klinik-klinik kesehatan juga harus tutup karena terbatasnya tenaga kesehatan. Akibatnya, setidaknya delapan anak meninggal dalam satu pekan pada Agustus 2020 karena malnutrisi dan ketiadaan layanan kesehatan, tiga kali lipat angka kematian anak sejak awal 2020.
Lingkungan kamp tidak hanya berakibat buruk bagi fisik, tetapi juga psikologis. Mereka harus menghadapi berbagai kekerasan dalam kamp meski trauma pascaperang belum juga pulih.
Kelompok perempuan pro-ISIS yang masih berupaya menegakkan aturan daulah tak segan menghukum dengan membakar tenda atau memukuli hingga mati, seperti dialami Sudarmini, perempuan Indonesia di al-Hol yang meninggal pada Juli 2019. Selain itu, sempat pula terjadi pembunuhan dan eksekusi mati di depan publik oleh sel ISIS yang menyelundup ke kamp awal 2021 lalu.
Kekerasan seksual, termasuk perkosaan, juga terjadi. Terkonfirmasi kasus pemerkosaan terhadap gadis oleh laki-laki yang lebih tua. Mereka, tulis laporan tersebut, diperintah melakukan itu oleh "ibu-ibu militan."
Masa depan anak-anak ini jelas suram. Tidak ada pendidikan selain indoktrinasi dari perempuan pendukung ISIS. Identitas sebagai warga Indonesia menjadi semakin pudar, bahkan kemampuan berbahasa Indonesia.
Tantangan Pemerintah
Pada Maret 2021, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan akan melakukan asesmen langsung ke Suriah dan Irak setelah jalur penerbangan dibuka yang entah kapan. Keputusan ini satu hal, tapi persiapan repatriasi, menyusun program rehabilitasi dan reintegrasi juga bukan hal yang sederhana dan memerlukan persiapan matang. Repatriasi anak-anak ini jelas bukan perkara mudah.
Pemerintah dihadapkan dengan serangkaian masalah dan tantangan. Tiga di antaranya adalah siapa yang bakal dipulangkan, verifikasi data, dan soal diplomatis.
Masalah pertama soal siapa yang bakal direpatriasi. Sejauh ini pemerintah hanya memberi lampu hijau untuk repatriasi yatim piatu di bawah 10 tahun. Definisi ini problematis karena kenyataan di lapangan lebih kompleks. Ada anak-anak seperti Yusuf, Faruk, dan Nasa yang berusia sekitar 10-12 tahun yang per 2019 saja sudah di batas usia yang diizinkan untuk kembali. Setiap tahun usia mereka bertambah dan semakin jauh dari batasan tersebut.
Jika wacana ini direalisasikan sekarang, apa berarti hak mereka untuk mendapat masa depan yang lebih layak juga sirna?
Patut dicatat bahwa Yusuf, Faruk, dan Nasa bukanlah kasus yang khusus. Laporan IPAC menunjukkan setidaknya ada 34 anak usia di bawah 18 tanpa orang tua pada Juni 2019. 19 di antaranya masih berusia di bawah 10.
Ada pula 22 kasus anak perempuan yang dinikahkan, beberapa dengan tanggungan bayi dan balita. Menurut UU Kewarganegaraan, ibu muda dan anak-anaknya ini tetap warga negara Indonesia. Tetapi, apakah mereka akan mendapat hak untuk pulang?
Isu kedua soal verifikasi data. Banyak dari penghuni kamp kehilangan dokumen legal seperti paspor. Mereka yang tidak berkenan pulang juga sering kali memalsukan identitas atau merusaknya.
Soal ini, pemerintah perlu mencari alternatif cara untuk melakukan verifikasi data, misalnya, melalui koordinasi dengan pemerintah Kurdi yang telah melakukan sensus dan pengambilan data biometrik warga kamp.
Selanjutnya isu diplomatis. Indonesia menjalin kerja sama dengan pemerintah Bashar al-Assad yang tidak mengakui pemerintahan Kurdi yang berpusat di Rojava. Ada kekhawatiran komunikasi dengan pemerintah Kurdi dalam proses repatriasi dapat mencederai hubungan baik dengan Damaskus.
Namun repatriasi tetap mungkin dilakukan melalui Damaskus, seperti yang dilakukan Albania, Kosovo, Rusia, Sudan, dan Uzbekistan. Presedennya sudah ada. Pada Agustus 2017, Indonesia menjalin kerja sama dengan Rojava untuk memulangkan 18 WNI dari Ain Issa tanpa memengaruhi hubungan baik dengan Damaskus.
Repatriasi Meningkatkan Risiko Keamanan?
Di luar tiga perkara itu, tantangan yang paling rumit adalah perbedaan pendekatan dan kepentingan kementerian/lembaga dalam menanggapi isu repatriasi. Lembaga keamanan seperti Polri, BIN, dan BNPT masih memperdebatkan risiko yang mungkin terjadi jika anak-anak ini direpatriasi. Sementara lembaga lain, terutama yang menangani perlindungan anak, lebih fokus pada bagaimana reintegrasi anak dapat dilakukan alih-alih apakah anak-anak perlu direpatriasi atau tidak.
Yang jelas, semakin lama pemerintah tidak bertindak, semakin sedikit pula anak-anak dengan risiko rendah dapat diselamatkan.
Asumsi risiko meningkat seiring dengan pertambahan usia. Mereka yang masih sangat kecil seperti bayi dan balita mungkin dianggap tidak berisiko atau risiko rendah dibandingkan yang sedikit lebih tua, misalnya anak praremaja. Anak-anak ini dianggap lebih berbahaya karena telah mendapatkan indoktrinasi dan pelatihan militer dari ISIS. Risiko ini semakin besar seiring dengan semakin tereksposnya mereka dengan paham ISIS di kamp.
Oleh karena itu perlu ada asesmen risiko, kerja sama dengan keluarga dan berbagai elemen masyarakat, serta penyusunan program rehabilitasi dan reintegrasi yang baik dan berkelanjutan untuk meminimalisasi risiko keamanan.
Indonesia telah berpengalaman dalam menangani anak deportan dan returnis pada 2017, juga anak yang terpapar radikalisme dalam negeri seperti tujuh anak dari peristiwa Bom Surabaya pada 2018. Kasus-kasus pendampingan anak pascakonflik, seperti di Aceh, Ambon, dan Poso juga dapat menjadi referensi yang penting. Pengalaman-pengalaman ini perlu ditinjau sebagai pembelajaran dalam penanganan anak-anak dari Suriah yang menghadapi konteks berbeda dan skala trauma yang mungkin juga berbeda. Perlu ada pelatihan bagi pendamping, juga pihak-pihak yang akan terlibat sehingga proses pemulihan dan reintegrasi dapat berjalan dengan baik.
Oleh karena itu semua, rehabilitasi dan reintegrasi perlu didukung dengan infrastruktur kebijakan yang baik. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berupaya menjawabnya dengan Permen No. 7 Tahun 2019, yang merupakan turunan dari UU Perlindungan Anak. Di dalamnya terdapat soal edukasi, rehabilitasi, dan konseling bagi anak korban jaringan terorisme. Meski demikian, implementasi peraturan ini masih sangat terbatas.
Begitu pula dengan Rancangan Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Januari 2021, yang diklaim telah mengandung unsur perlindungan anak. Peraturan ini tidak spesifik menjelaskan mekanisme perlindungan bagi anak deportan, returnis, maupun mereka yang terpapar radikalisme di luar Indonesia.
Ke depan, hal ini perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan dengan melibatkan berbagai unsur, terutama keluarga dan komunitas di sekitar anak, untuk menghindari adanya proses reradikalisasi anak ke jaringan ekstremisme.
Di samping itu semua, yang terpenting saat ini adalah memulai pemulangan anak-anak, dengan roadmap yang jelas--untuk mengantisipasi potensi masalah--serta lini waktu yang juga jelas. Repatriasi bisa dimulai dengan sekelompok kecil anak. Ada kurang dari sepuluh anak yang masuk kriteria repatriasi versi pemerintah per 2021. Itu cukup sebagai permulaan, berfungsi untuk memudahkan proses monitoring, juga pembelajaran dalam penyusunan program yang lebih baik.
Anak-anak kita tidak bisa menunggu lebih lama. Mereka akan terus tumbuh dengan kemarahan dan kekecewaan di bawah indoktrinasi ISIS. Jika kekhawatiran pemerintah adalah risiko keamanan, membawa anak-anak ini pulang dan membina mereka dengan baik merupakan satu-satunya cara yang paling logis dan humanis untuk memutus hubungan mereka dengan jaringan ekstremis di luar negeri.
=====================
Dyah Ayu Kartika adalah analis di Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC)
Editor: Rio Apinino