Menuju konten utama

Turki dan Tembok Perbatasan di Iran

Tren baru menjaga keamanan: membangun tembok panjang.

Turki dan Tembok Perbatasan di Iran
Unit K9 berpatroli di tembok perbatasan Turki dan Suriah, provinsi Hatay, Turki. FOTO/Reuters

tirto.id - Turki kembali unjuk otot. Di tengah prahara geopolitik yang melanda kawasan sekitar (Asia dan Timur Tengah), kestabilan merupakan barang langka untuk Turki. Salah satu cara menjaga kestabilan itu adalah dengan membangun tembok perbatasan.

Setelah tiga tahun lalu proyek serupa dijalankan di perbatasan Suriah, kali ini Turki membangun tembok di perbatasan Iran. Rencana ini ternyata sudah dicetuskan pejabat pemerintahan sejak Mei lalu yang kemudian dipertegas Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Juni 2017.

Dilansir dari Hurriyet, tembok tersebut disusun dengan blok portabel yang memiliki ketebalan 2 meter dan tinggi 3 meter. Panjang tembok diperkirakan mencapai 500 kilometer dan telah memasuki tahap pertama pembangunan sepanjang 144 kilometer.

Pembangunan tembok bertujuan untuk menghadapi potensi ancaman dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK). PKK adalah partai sayap kiri yang tercatat sebagai organisasi separatis teroris dalam daftar resmi pemerintahan Turki. Selain itu, pembangunan tembok dimaksudkan untuk mencegah pelbagai penyelundupan ilegal, dari manusia hingga narkoba.

Baca juga: Konstitusi Berubah, Turki Terancam Tak Bisa Gabung Uni Eropa

Selaku otoritas terkait, pemerintah Iran menyambut baik rencana Turki. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Bahram Qassemi mengatakan pada Milliyetbahwa pihaknya membuka diri untuk segala tindakan preventif, termasuk menjaga stabilitas keamanan di perbatasan serta mendukung dialog bilateral secara intensif antar kedua negara.

Sambutan Iran untuk proyek ini bukan tanpa sebab: Iran memerlukan kestabilan wilayah perbatasan. Ancaman kepada Iran datang dari gerilya Partai Kebebasan Kurdistan (PJAK) yang anti-pemerintah. PJAK sempat merepotkan pemerintah Iran dengan aksi-aksi teror secara acak sebelum akhirnya pasukan Iran menyergap beberapa anggota PJAK Juni lalu.

Hubungan Iran dan Turki berada di titik nadir sejak Arab Spring pada 2011 dan Perang Sipil Suriah, ketika Iran mendukung kekuasaan Presiden Bashar Assad. Namun, dalam beberapa bulan terakhir baik Iran atau Turki berada di jalan yang sama. Salah satunya adalah ketika mereka mengkritik sanksi yang kejatuhkan Arab Saudi dan sekutunya kepada Qatar di tengah krisis diplomatik di kawasan Teluk Arab .

Respons berbeda ditunjukkan analis politik Iran dan pakar Timur Tengah Sayyed Hadi Afghani. Menurutnya, membangun tembok perbatasan merupakan usaha kontraproduktif Turki. Sebab, sampai hari ini tak ada ancaman keamanan yang timbul di perbatasan.

Seperti yang dilansir sumber pro-Iran, pakar Kurdi di Timur Tengah Dr. Ardhesir Pashang menjelaskan bahwa kebijakan Turki dalam membangun tembok perbatasan tidak memperbaiki keadaan, malah justru memperburuk konflik. Menurut Dr. Ardhesir, kedua belah pihak semestinya meningkatkan komunikasi.

Infografik tembok perbatasan turki

Turki dan PKK, Konflik yang Tak Kunjung Reda

Konflik yang melibatkan Turki dan Partai Pekerja Kurdistan sudah mengakar sejak empat dekade silam. PKK pada dasarnya merupakan kelompok Marxis-Leninis yang berdiri sejak akhir 1970. PKK bertujuan mendirikan wilayah berdaulat dan mandiri bagi kelompok Kurdi.

Sejak awal PKK tidak bertujuan memisahkan diri dari Turki. Dalam sebuah wawancara dengan BBCpada April 2016 lalu, pimpinan militer PKK Cemil Bayik menjelaskan masyarakat Kurdi hanya ingin tinggal di tanah mereka sendiri yang terletak di perbatasan dan memperoleh otonomi luas . Namun, pemerintah Turki tetap menganggap PKK berupaya memisahkan diri dari Turki.

Seiring waktu, konflik bertambah runyam.

Agustus 2016, sebuah bom mobil meledak di Cizre, menewaskan 11 polisi serta melukai 78 orang. Tiga bulan setelahnya, bom mobil lagi-lagi meledak di halaman kantor kepolisian Diyarbarkir, menewaskan 8 orang. PKK dituding mendalangi kedua serangan tersebut. Tak hanya itu, ketika percobaan kudeta pada Juli 2016, PKK juga dituduh berperan menghimpun basis massa anti-Erdogan.

Selama ini reaksi pemerintah Turki tak kalah keras. Mereka membatasi ruang gerak PKK, melucuti kepemimpinan Abdullah Ocalan (pemimpin PKK) pada 1999, memberangus media-media yang politik Kurdi, memenjarakan anggota PKK atas tuduhan pengkhianatan dan kudeta, menangkap 10 anggota parlemen asal Partai Demokratik Rakyat (partai pro-Kurdi) karena dianggap melakukan propaganda PKK, hingga melakukan serangan udara secara teratur di wilayah PKK.

Upaya perdamaian bukannya tak pernah dilakukan. Antara 2009 dan 2011, kedua pihak menggelar perundingan rahasia di Oslo, Norwegia. Saat harapan damai sudah di depan mata, perundingan itu gagal. Pada Maret 2013, perudingan kembali dilakukan dan diiringi gencatan senjata. Namun, bedil kembali menyalak pada Juli 2015.

Baca juga: Tentang Fethullah Gulen, Tertuduh Kudeta Gagal di Turki

Berdasarkan laporan Komisi HAM PBB, operasi anti-PKK yang dikerahkan Turki pascagagalnya gencatan senjata di wilayah tenggara telah mengakibatkan 2.000 orang tewas serta sekitar 350.000-500.000 lainnya mengungsi dalam kurun 18 bulan.

Serangan anti-PKK yang dilakukan pemerintah Turki didasari oleh informasi para penyidik yang menyebutkan bahwa PKK telah melakukan sejumlah tindak kekerasan yang menyebabkan kematian dan luka-luka di pihak pasukan keamanan. Menurut pemerintah, PKK juga terlibat dalam penculikan anak-anak, memblokade jalan di kota-kota besar, dan mencegah masuknya layanan medis dalam situasi darurat.

Dalam buku berjudul Rival Kurdish Movements in Turkey: Transforming Ethnic Conflict (2016), Mustafa Gurbuz mengatakan bahwa konflik antara Turki dan PKK dalam beberapa tahun terakhir tak bisa dilepaskan dari manuver politik Erdogan. Saat menjabat perdana menteri pada 2003-2014, elektabilitas Erdogan tinggi di wilayah Kurdi. Sebagian besar orang Kurdi, Erdogan dianggap mewakili mereka melawan sekuler-nasionalis militer Turki.

Erdogan berusaha meyakinkan kelompok Kurdi konservatif dengan kampanye bertema persaudaraan Islam. Kampanye Erdogan menjanjikan masa depan Turki yang damai di bawah kepemimpinannya. Secara simbolis Erdogan bahkan mengusung Al Qur’an terjemahan Kurdi. Di bawah rezim sekularis Kemalis Turki, hal semacam ini adalah tabu.

Namun demikian, setelah Erdogan menduduki kursi presiden di tahun 2014 dan menerima hasil rancangan undang-undang tentang kewenangan eksekutif yang kelak membuat posisi presiden semakin dominan, protes dilancarkan Partai Demokratik Rakyat menyoal keputusan Erdogan dalam menerima perluasan wewenang eksekutif tersebut. Bersama kelompok kiri dan liberal, Partai Demokratik Rakyat menentang UU yang berpotensi membuat Erdogan tak tersentuh.

Dalam pemilihan umum 2015, peta politik Turki berubah. Untuk pertama kalinya dalam 13 tahun, AKP (partai Erdogan) kehilangan banyak kursi di parlemen. Sedangkan perolehan kursi Partai Demokratik Rakyat yang dipimpin Selahattin Demirtas dan Yuksekdag naik tiga kali lipat.

Merasa posisinya terancam, Erdogan menyerukan untuk segera mengadakan pemungutan suara terkait konflik Turki-PKK. Pemerintah buru-buru menyatakan bahwa negosiasi perdamaian yang dilakukan sejak musim semi 2013 telah berakhir. Sejak itu, Erdogan bekerjasama dengan kelompok nasionalis dan bulan madu bersama kelompok Kurdi pun lenyap.

Baca juga: Referendum Turki, Erdogan, dan Para Diaspora

Analis dari Coventry University Alpasan Ozerdem menyatakan bahwa saat ini pemerintah Turki sedang berjuang untuk mencapai kesepakatan damai dengan PKK. Namun, mengingat apa yang sedang terjadi di kawasan perbatasan, kemungkinan besar upaya tersebut gagal.

Kalaupun berhasil, peluang untuk mempertahankan kesepakatan damai akan sulit berlangsung mulus. Menurut Ozerdam, Turki perlu melakukan pendekatan dengan memberdayakan organisasi masyarakat sipil untuk mengurangi ketidakpercayaan masyarakat terhadap isu penyelesaian Turki-PKK. Bagi Ozerdam, media, akademisi, serikat pekerja, sektor swasta, dan organisasi sipil perlu menyadari bahwa kesepakatan damai yang ditandatangani politisi dan komandan militer hanya akan menjadi perdamaian di atas kertas.

Ozerdam menambahkan, sudah saatnya isu resolusi konflik Turki-PKK didorong menjadi urgensi nasional. Media, akademisi, serikat pekerja, sektor swasta, serta organisasi masyarakat sipil harus menyadari bahwa kesepakatan damai yang hanya ditandatangani politisi dan militer tidak sepenuhnya menyelesaikan akar permasalahan.

Baca juga artikel terkait KUDETA TURKI atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Politik
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf