Menuju konten utama

Fethullah Gulen, Tertuduh Kudeta Gagal di Turki

Gülen, sang tertuduh dalam upaya kudeta yang gagal itu, adalah pemimpin agama beraliran Sunni yang sangat berpengaruh di Turki. 

Fethullah Gulen, Tertuduh Kudeta Gagal di Turki
Pendukung gerakan gulen mengibarkan bendera turki saat mereka berkumpul di luar Istana Keadilan, Istanbul, Turki. [Antara Foto/Reuters/Murad Sezer]

tirto.id - Baru pukul setengah delapan sore, 15 Juli di Istanbul, saat jembatan Bosphorus dan jembatan Sultan Mehmed Fatih ditutup. Mobil-mobil dan bus-bus pun berbalik arah. Tak berapa lama, helikopter berputar-putar di atas kota tua itu. Sementara di langit Ankara, helikopter terbang berbarengan dengan pesawat jet militer, diiringi bunyi letusan senjata api.

Peristiwa-peristiwa itu tergambar dalam catatan kronologis versi Reuters. Kantor berita ini juga mencatat, dua jam dari penutupan jembatan, muncul pengumuman yang disiarkan kanal-kanal TV: militer sedang mengambil alih kekuasaan. Pemerintahan Turki disergap kudeta.

Belum semua serangan tertangani, menteri kehakiman Turki mengumumkan bahwa kelompok militer loyalis Fethullah Gülen, tokoh agamawan yang menjadi eksil di Amerika Serikat, berada di belakang aksi kudeta yang kemudian dilumpuhkan dalam waktu kurang dari 24 jam itu. Presiden Erdoğan pun meminta Amerika Serikat agar mengekstradisi sang eksil.

"Pak Presiden, saya telah memberitahu Anda sebelumnya. Tangkap Fethullah Gülen atau kembalikan dia ke Turki. [Tapi] Anda tak mendengar. Saya serukan lagi setelah terjadi percobaan kudeta. Ekstradisi orang di Pennsylvania ini ke Turki! Jika kita memang rekan strategis [...], lakukan apa yang harus dilakukan,” Erdoğan menyeru pada Presiden AS, Barack Obama, seperti dikutip oleh nytimes.com.

Tanpa menunggu lama, Gülen menampik keras. Ia menegaskan sikapnya: “Pesan saya untuk rakyat Turki agar jangan pernah menganggap intervensi militer apapun secara positif, sebab melalui intervensi militer, demokrasi tak akan bisa dicapai.”

Ucapan Gülen yang menampik jalan militer masuk akal. Terlahir sebagai putra seorang ahli agama 75 tahun lalu, Gülen tumbuh sebagai orang yang menolak sekulerisme ekstrem yang disokong militerisme di Turki.

Saat ia berumur 4 tahun, di dusun Korucuk, Gülen belajar salat dan membaca Quran. Ibunya adalah guru pertama bagi Gülen. Sejak itu juga, ia mengaku tak pernah meninggalkan salat. "Salah satu guruku [sikapnya] sangat bermusuhan terhadap agama dan tak bisa menerima aktivitas ini [salat],” tulis Gülen. Kata-katanya cukup menggambarkan betapa ekstremnya sekulerisme rezim Kemalis.

Gülen kemudian tumbuh dengan belajar beragam ilmu dan banyak guru. Ia terpengaruhi sufisme, juga ajaran Said Nursi. Dari Nursi, Gülen tak hanya teresonansi dalam perkara keilmuan, tapi terutama sikap kritisnya terhadap pemerintahan. Nursi adalah pengkritik rezim sekuler di Turki dan penyeru hak-hak beragama, yang menyebabkannya banyak menghabiskan masa hidup di penjara.

“Pokok dari Bediüzzaman Said Nursi yang membuat Fethullah Gülen terkesan adalah kritisismenya atas kesewenang-wenangan para pengelola [negara]. Nursi menyuarakan kritisismenya demi perbaikan masyarakat, bukan karena tata negara berlawanan dengan opininya. Dan dia menyuarakan kritisisme itu di masa sulit melakukannya [karena rezim represif],” laman di fgulen.com menerangkan pengaruh Nursi terhadap Gülen.

Meneladani Nursi, pemimpin agama beraliran Sunni ini menyuarakan kritiknya terhadap pemerintahan sekuler pra-Erdogan, hingga akhirnya memutuskan tinggal di Amerika Serikat pada 1999. Tapi, pengaruh di Turki dan jaringannya tak surut. Saat Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) unggul dan Erdoğan menjadi perdana menteri pada 2003, gerakan Gülen di dalam negeri menjadi sekutu pemerintahan.

Namun, ikatan itu buyar pada 2013, saat pengadilan Turki menahan lebih dari 50 “orang Erdoğan” karena kasus korupsi. Erdoğan, yang masih menjabat perdana menteri sebelum akhirnya menjadi presiden pada 2014, meyakini target utama rentetan kasus korupsi itu adalah dirinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak “orang Gülen” bercokol di lembaga kepolisian dan kehakiman.

Friksi itu terus memanas hingga akhirnya terjadi upaya kup yang dimulai pada 15 Juli 2016 sore lalu. Erdoğan tak berhenti dengan menindak keras militer yang memberontak. Sebanyak 2.700 hakim dihentikan, selain 21 ribu guru dicabut izin mengajarnya, dan 1.577 dekan universitas diminta mundur. Mereka yang disingkirkan itu dituduh sebagai penyebar racun sikap permusuhan terhadap pemerintahan resmi. Mereka dianggap bagian dari jaringan pengikut sang eksil yang biasa disebut “gerakan Gülen.”

Gerakan Gülen: Pelayanan

Muhammed Fethullah Gülen, atau Hodjaefendi, jelas merupakan tokoh Muslim yang sangat berpengaruh di Turki. Ulil Abshar Abdalla, dalam kiriman Facebook-nya yang dibuka untuk publik, menyebut gerakan Gülen mirip dengan gerakan Islam Nusantara yang baru-baru ini diperkenalkan (lagi) di Indonesia. Beberapa situs luar negeri bahkan merujuknya sebagai gerakan Islam liberal. Tapi benarkah demikian?

Gülen sendiri menulis: “Aku tidak pernah mengaku menjadi seorang pelopor, pemimpin, ataupun pemandu dalam bidang apapun. Aku tidak pernah mengeluarkan tesis soal Islamisme moderat maupun modern. Ini semua [pemikiran Gülen] adalah spekulasi dan ramuan dari orang yang tak tahu apa-apa. Aku mencoba menjelaskan Islam dari perspektif hari ini. Jika beberapa orang mencoba menjelaskannya menurut pola pikir mereka sendiri, itu adalah urusan mereka, bukan urusanku.”

Karena tak menetapkan diri ke dalam satu aliran pemikiran itulah, Joshua Hendrick (2013) menyebut Gülen sebagai pemimpin ambigu. Ambiguitas sebagai strategi, menurut Hendrick, umum dipakai supaya bisa mewadahi berbagai ekspresi kepentingan yang berbeda-beda, juga agar ia bisa menarik orang luar agar simpati dan bergabung.

Gerakan Gülen yang beroposisi terhadap sekulerisme ekstrem itu jelas kental suasana Islamnya. Tapi, di sinilah ambigunya: mereka islami, tapi menghindar dari kesan Islam politik, bahkan tegas mendukung demokrasi sekuler. Dalam gerakan, mereka juga lebih banyak menggunakan istilah-istilah yang menarik bagi khalayak umum, misalnya “dialog,” “toleransi,” dan “nilai-nilai universal”. Gülenis kerap memprakarsai dialog dengan tokoh-tokoh agama lain, misalnya dengan Paus (Katolik), juga dengan para pemimpin Yahudi. Hal seperti inilah yang sering mendatangkan kecaman dari islamis garis keras.

Pemakaian kata "hizmet" untuk merujuk gerakan Gülen pun terdengar universal. Hizmet berarti “pelayanan,” merujuk praktik mereka dalam dunia pendidikan dan kesehatan. Itu sebabnya jaringan Gülenis kerap membikin sekolah. Sekolah jaringan Gülen di Turki mencapai 300 dan di seluruh dunia totalnya lebih dari seribu, termasuk di Indonesia.

Pendapat Savira Faturahman, alumnus Bahasa Arab UI yang menulis skripsi tentang Gülen, cukup menarik. Ia melihat kemiripan antara gerakan Gülen dengan Muhammadiyah.

“Kalau di Indonesia, gerakannya seperti Muhammadiyah. Mereka bikin sekolah, rumah sakit. Intinya, gerakan ini ingin orang Turki pintar. Harus pintar. Pendidikan harus maju. Mereka beda dengan pendidikan umum, mereka menggunakan pendekatan Islam dan budaya Turki,” kata Savira pada tirto.id.

Di Indonesia, ada organisasi yang diwarnai gerakan Gülen: Pacific Nations Social and Economic Development Association (PASIAD). Beberapa sekolah, menurut menurut studi dalam skripsi Savira, berafiliasi pada organisasi ini. Di antaranya Sekolah Pribadi di Depok dan Bandung, juga beberapa sekolah lain di Semarang dan Aceh.

Dalam skripsinya, Savira juga menulis bahwa sekolah-sekolah ini mengajarkan nilai-nilai universal. Beasiswa pun tak dipilah berdasarkan agama murid. Siswa nonmuslim sama-sama bisa mendapat keringanan biaya.

Lembaga ini juga aktif mempromosikan budaya Turki. Menerbitkan Kamus Bahasa Indonesia-Turki adalah salah satunya, selain terlibat dalam pengenalan wajah-wajah kebudayaannya yang lain. Ikut menyelenggarakan festival-festival film Turki, misalnya.

Pola semacam ini tak hanya ada di Indonesia. Setidaknya di 90 negara, jaringan gerakan Gülen berperan jadi semacam diplomat kebudayaan untuk Turki. Bukankah ironis bahwa pemerintahan Erdoğan kini menjadikan mereka sebagai musuh negara nomor satu?

___________

Baca juga artikel tirto.id terkait Turki berikut:

Apa yang Terjadi di Turki Tinggallah di Turki

Kelompok Kanan Kiri yang Meneror Turki

Kudeta Putus Asa Militer Turki

Kolom Zen RS: Turki yang Jauh Tapi Terasa Akrab

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Politik
Reporter: Maulida Sri Handayani & Mawa Kresna
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti