tirto.id - Pascakegagalan kudeta, Presiden Turki Racep Taryeep Erdogan melakukan pembersihan di mana-mana. Ia bertindak represif terhadap segala hal yang berkaitan dengan orang yang dianggapnya berada di balik rencana kudeta, Fethullah Gulen. Erdogan bertindak represif dengan menangkapi puluhan ribu sel-sel jaringan Gulen yang menyelip di berbagai instansi mulai dari militer, kepolisian, kejaksaan, pendidikan sampai lembaga agama.
Ratusan lembaga pelayanan pendidikan dan kesehatan berserta media massa tak luput dari program bersih-bersih Erdogan. Erdogan menutup paksa lembaga-lembaga tersebut. Para penggiat demokrasi pun semakin khawatir kekuasaan Erdogan makin absolut seteah kudeta militer yang gagal beberapa pekan lalu.
Kisruh di Turki, yang berjarak ribuan kilometer itu ternyata mampir ke Indonesia. Para pendukung dan pembenci Erdogan di Indonesia bahkan saling mengeraskan urat leher berdebat panjang di media sosial atau kolom komentar media siber.
Terlepas dari tidak pernah redanya perang konyol di antara mereka, satu hal sering dilupakan orang adalah bagaimana sebenarnya reaksi organisasi-organisasi Islam di indonesia terkait konflik paralel antara Erdogan dan Gulen? Siapa mendukung siapa?
Friksi ini memang lambat laun merembet ke Indonesia dengan permintaan Turki kepada pemerintah untuk menutup sekolah - sekolah Gulen di Indonesia yang dikelola oleh PASIAD. Hal ini tentu membuat beberapa kelompok bersuara. Salah satu yang vokal bersuara adalah Muhammadiyah.
Muhammadiyah dan Gulen
Di Indonesia, pengikut Gulen memiliki hubungan paling akrab dengan Muhammadiyah, ketimbang organisasi lainnya. Hal ini diakibatkan keselarasan gerakan Hizmet yang fokus pada pelayanan pendidikan dan kesehatan, sebuah kebiasaan yang sudah jadi identitas Muhammadiyah selama ini.
Wajar jika Guru Besar UGM, Prof. Siti Chamamah Soeratno yang juga tokoh Aisyiah ikut mengembangkan gerakan Hizmet pada 1996. Pada Konferensi Fethullah Gulen yang digelar di Jakarta, 19-21 Oktober 2010, hanya Prof. Amin Abdullah satu-satunya orang Indonesia yang diberi kesempatan berpidato.
Amin adalah tokoh Muhammadiyah, dan sempat menjabat Wakil Ketua Umum pada periode 2002-2005. Kedekatan Amin dengan Gulenist tampaknya mulai intens saat dia berkuliah di Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki akhir dekade 80-an.
Dalam pidatonya pada Konferensi Gulen di Jakarta, dia mengambil tema Fethullah Gulen dan Pendidikan Karakter di Indonesia. Isinya? jelas memuji-muji sistem pendidikan gerakan Gulen, terutama soal nilai-nilai universal dan toleransi. "Gulen mendasarkan dialognya tidak sepenuhnya atas dasar iman, tetapi pada cinta," tulis Amin.
“Walaupun sekolah Gulen tidak secara khusus mengajarkan tentang agama, mereka menggabungkan spiritualitas ke dalam pendidikan, yaitu, proses mengintegrasikan pengembangan spiritual dan kesadaran ke dalam pengalaman saat proses keseluruhan sekolah pembelajaran sehingga dapat memperkaya pembelajaran individu dan kehidupan masyarakat," tulisnya lagi.
“Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa pada akhirnya ini adalah tentang pendidikan, bukan agama. Ini harus dimulai dengan pertanyaan, 'bagaimana agama dan spiritualitas meningkatkan pendidikan anak didik kita?', Bukan pertanyaan, "bagaimana kita mendukung agama atau lembaga keagamaan di kampus kita?"
Untuk pemaparan panjang Amin Abdullah anda bisa membacanya di sini.
Pada kesempatan lain, Prof. Mitsuo Nakamura, emeritus profesor dari Chiba University, Jepang memberikan pemaparan lain dalam tajuk “Rasionalitas dan Pencerahan: Perbandingan Reformasi Pendidikan yang Dipromosikan oleh Gerakan Gulen dan Muhammadiyah”.
Mitsuo sudah mengkaji Muhammadiyah 44 tahun lamanya. Dia membandingkan gerakan Muhammadiyah dan Gulen dalam konteks pendidikan. Secara program kesamaan antara keduanya memang diamini oleh dia.
Hanya saja, Mitsuo menilai kekurangan Muhammadiyah adalah mereka tak bisa menyerupai gerakan Hizmet yang mengglobal. Pidato lengkap Mitsio bisa anda baca di sini.
Banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang dekat dan memuji gerakan Hizmet. Ahmad Syafii Maarif contohnya. Dalam kolom resonasi di Republika, ia menyebut Gulen sebagai sosok yang piawai dalam menyampaikan pesan-pesan Islam dan kemanusiaan via lisan.
“Dia seorang pendidik, pemikir, penulis, penyair, dan pengilham. Dengan demikian, antara lidah dan tangannya telah terjalin kerja sama yang apik dan sangat produktif. Bahasanya yang lembut dan santun langsung menembus hati pendengar dan pembaca karyanya,” tulisnya.
Dari penjabaran tersebut, terlihat ada hubungan yang erat antara Muhammadiyah dengan Gerakan Gulen. Lalu jika ditarik dalam lingkup konflik antara Erdogan dan Gulen, bagaimana Muhammadiyah memandang kasus ini?
Jawaban satiris langsung dilontarkan Muhyidin Junaidi, Ketua Bidang Luar Negeri Muhammadiyah saat diberikan pertanyaan terkait aksi purifikasi yang dilakukan pemerintahan Erdogan.
“Dia tidak mau ada kelompok oposisi. Untuk membangun demokrasi kita harus menciptakan iklim yang penuh kritik,” ucapnya saat ditemui di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, kepada TirtoID pekan lalu (26/7)
“Apa sih salahnya orang membangun sekolah, rumah sakit, pesantren kenapa harus dilarang? Kan mereka tidak bersalah. Oke anda Erdogan menuduh Gulen seperti itu, tapi harus datangkan bukti yang jelas. Jangan hal bias yang dipegang. Apakah betul Gulen ingin menjatuhkan pemerintah?”
“Apa yg dibangun Gulen islam modernis bukan politis.” Dalih ini yang membikin Muhammadiyah merasa Gulen bukanlah dalang dibalik aksi kup. “Sejalan modernitas dalam artian adalah islam yang damai, islami yang tak minta-minta, islam yang cinta toleransi, islam yang menghargai perbedaan pendapat," katanya lagi.
Muhyidin lalu menyarankan. “Harus berbaik-baiklah, hindari konflik terbuka. Rangkul suruh pulang bangun Turki bersama. Kasih jabatan apa, Tapi jangan ganggu Erdogan ya.”
tirto.id mengingatkan Muhyidin bahwa pada satu dekade kepemimpinan partai AKP di Turki, Gulen mendukung penuh kepemimpinan Erdogan, mereka saling bekerja sama menyingkirkan Kemalist di militer yang mengancam kekuasaan. “Ya begitulah kalau orang sudah berkuasa kadang suka lupa,” kata Muhyidin yang entah maksudnya apa.
Dalam kampanyenya Erdogan selalu membangkitkan euforia kejayaan Khilafah Turki Ustmaniyah, dengan kehidupan yang bersyariah –meskipun pesan itu tak dilakukan secara terbuka. Bagi Muhyidin kampanye ini teramat usang. “Bukan saatnya lagi, justru itu kontra produktif. Luka di bawah khilafah Turki Ustmani itu masih ada. Gak usah lagi gitu-gituan. Spirit Usman Empire itu sudah berlalu,” katanya.
Apa yang dilakukan Erdogan berbeda dengan Gulen. Dalam soal politik, Gulen dikenal kelompok islami yang ambigu, meski islami mereka mendukung penuh demokrasi sekuler. Mereka memposisikan diri sebagai moderat yang mengedepankan nilai-nilai “dialog,” “toleransi,” dan “nilai-nilai universal”. Meski begitu perbedaan ini tetap membuat Erdogan dan Gulen bersatu. Sebelum akhirnya mereka terpecah dengan sebab yang masih teka-teki.
Pada Konferensi Gulen 2007 di London, Muhamad Nawab Osman dalam papernya berjudul Gulen Contribution To A Moderate Islam In Southeast Asia, dia sempat menyentil pertentangan antara Muhammadiyah dengan gerakan tarbiyah ala Ikhwanul Muslimin yang dilekatkan pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Friksi antara dua organisasi yang populer di kelompok urban ini memang sudah jadi rahasia umum. Pada 2006, DPP Muhammadiyah bahkan mengeluarkan SK 149/2006 terkait “larangan” warga Muhammadiyah untuk menjadi kader PKS.
Mungkinkah friksi antara Gulen dan Erdogan akan merembet ke Indonesia? Menyikapi hal ini, Muhyidin hanya tertawa. Dia menjawab. “Semua juga tahu siapa kelompok yang dukung Erdogan, kita udah kenal ah. Yang lain enggak dukung, cuma dia aja,” katanya.
Yang pasti, keberpihakan Muhammadiyah terhadap gerakan Hizmet bisa terlihat gamblang dari sikap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi yang menolak permintaan Kedutaan Besar Turki untuk menutup sembilan yang dikaitkan dengan gerakan Hizmet.
“Kami jamin kesembilan lembaga tersebut aman, tidak akan ditutup. Bukti legal sudah jelas bahwa mereka sudah tidak bermitra lagi dengan PASIAD," ujar Muhadjir yang juga merupakan warga Muhammadiyah. Muhadjir memaparkan sembilan sekolah itu kini sudah tak terikat dengan PASIAD.
Klaim politis ini entah benar atau tidak. Bisa jadi keputusan Muhadjir merefleksikan ketegasan pemerintah yang tak mau sistem pendidikannya diatur-atur negara lain.
Tapi yang pasti selama gerakan Hizmet masih berlandaskan pelayanan pendidikan dan sosial, maka pengaruh Gulen di Indonesia tak akan bisa terhapuskan.
Lalu bagaimana jika konflik internal antara Gulen dan Erdogan ini diajukan kepada gerakan multinasional Hizbur Tahrir yang selalu diidentikan sebagai kelompok ekstrem kanan?
Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Gulen
Sehari setelah kup gagal, Hizbut Tahrir (HT) Turki mengeluarkan rilis kecaman. Ada satu poin yang menarik disimak. HT Turki menolak tudingan Erdogan yang menilai dalang di balik kup adalah Gerakan Gulen.
“Adapun tuduhan yang diarahkan kepada Gulen adalah tidak benar. Kelompok Gulen lebih dekat ke perbuatan-perbuatan sosial, sipil dan peradilan serta tidak memiliki kemampuan militer untuk melakukan kudeta tanpa dukungan asing,” tulis rilis tersebut.
Penasaran dengan rilis ini, kami pun meminta klarifikasi langsung dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan diterima oleh sang Juru Bicara, Ismail Yusanto. “Iya betul sikap kami memang seperti itu,” kata Ismail saat ditemui di kantor DPP HTI, Selasa lalu
Bukan kali ini saja Hizbut Tahrir berseberangan dengan Erdogan. Meski sama-sama beraliran kanan perselisihan di antara keduanya sering kali terjadi. Pada 2008 lalu, pemerintah Turki menangkapi 200 aktivis Hizbut Tahrir dan memvonis mereka belasan tahun penjara.
“Vonis ini memang tak berdasar. Jaksa pun mengakui ini ada perintah dari atas terkait vonis. Tapi setelah saya ke Turki bulan Maret lalu, ternyata sudah banyak yang dibebaskan dan dikurangi jadi 1-2 tahun saja.”
Peta politik pun ternyata berubah. Pemerintahan Erdogan sudah mulai merangkul Hizbut Tahrir. Puncaknya saat pemerintahan Erdogan mengizinkan Konferensi Khilafah Internasional yang digelar di Ankara, 9-10 Maret lalu dan membuat geger kelompok Kemalist di sana.
Meski hubungan baik itu mulai terjalin. Hizbut Tahrir memilih berseberangan dalam konteks pasca kudeta. Terutama terkait purifikasi terhadap pengikut-pengikut Gulen.
“Harus dibedakan sikap menolak kudeta dengan tindakan setelah kudeta. Tindakan erdogan, itu alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada malah memperpanjang persoalan. Yang semula mendukung dia malah jadi antipati. Bayangkan lho sekolah, universitas dan rumah sakit di tutup ini pasti timbulkan impikasi sosial,” kata Ismail.
“Kenapa harus menyasar kelompok Hizmet. Ini sama saja menggerus tubuh dia sendiri, Erdogan kan lahir dan didukung awalnya didukung oleh kelompok ini.”
Ketimbang menyalahkan Gulen, telaah Hizbut Tahrir memang lebih mengarah pada kelompok Kemalist dan sekuler di tubuh militer lah yang jadi biang kerok kudeta ini. Islamisasi yang dilakukan Erdogan memang membuat khawatir kubu Kemalist di militer yang memang didoktrin menjaga sekularisme agar tetap abadi di Turki.
Dalam analisanya Hizbut Tahrir Turki menjabarkan analisis lain, “Erdogan paham bahwa kelompok Kemalist di militer lah yang ada di belakang kudeta itu. Akan tetapi Erdogan mengarahkan tuduhan kepada Gulen. Sebab, mengekspos orang-orangnya Kemalist di militer sama saja mengangkat posisi mereka. [..]
Erdogan ingin menghancurkan orang-orang Kemalist tanpa keributan, bekerja secara rahasia dengan tidak mengekspos mereka. Sebaliknya, Erdogan ingin melemahkan pesaingnya, Gulen dengan cara ramai, sebab kelompok Gullen tidak memiliki kekuatan di militer sama seperti orang-orang Kemalist.”
Analisis ini memang jadi desas-desus yang lumrah di Turki sana. Namun keputusan Erdogan yang headto head secara langsung dengan Gulen pun dinilai Hizbut Tahrir Indonesia sangat berisiko.
“Melawan Gulen lebih berat ketimbang headto head kemalis sekuler. Kenapa? karena Gulen kuasai infrastruktur sosial kultural turki sekarang ini, mulai dari sekolah, universitas, pengadilan dan lain-lain. Kalau kemalist kan yang disisir bisa militer saja,” kata Ismail menerangkan.
“Tutup sekolah juga bukan solusi. Sekolah bisa ditutup tapi pikiran kan tidak bisa. Simpati ke Gulen juga gak bisa dihilangkan. Secara institusi pendidikan memang buyar tapi orang-orang nya kan masih ada. Pengikut Gulen di Turki itu banyak sekali. Apa mereka mau ditangkapi semua?”
Hizbut Tahrir menilai Gulen secara kontribusi ikut andil membangun tranformasi Turki menuju lebih baik lewat pelayanan Hizmet mereka. Pelayanan pendidikan dan sosial Gulen telah melahirkan banyak cendekiawan dan begawan. Di Indonesia, Ismail mengakui pihaknya beberapa kali sempat bekerja sama dengan PASIAD memberikan beasiswa pelajar Indonesia untuk kuliah di Turki.
Bagi Ismai Yusanto, perpecahan antara Erdogan dan Gulen membuatnya bertanya-tanya. Konflik ini menurut Hizbut Tahrir murni rivalitas politik. “Kami sebut sebut parallel state. Konteksnya bukan agama dan spirit islam lagi.”
Meski begitu dia enggan dipandang sebagai kelompok pro-Gulen. Yang jelas, konflik dua kelompok islam ini pada ujungnya hanya akan membuat Turki ke dalam jurang kehancuran.
Di saat Turki semakin porak-poranda, para pendukung dan pembenci Erdogan di Indonesia masih akan terus berdebat sengit sampai Israfil meniup sangkakala.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti