tirto.id - “Sekarang saya berbicara kepada kau yang berada di Pennsylvania.”
“Cukup sudah, pengkhianatan yang kau tunjukkan kepada negara dan komunitas ini. Kalau kau berani, kembali ke negaramu. Kau tidak akan mampu mengacaukan negara ini dari tempatmu sekarang,”
Secara berapi-api, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengucapkan kalimat di atas kepada media. Tudingan di atas merujuk pada Fethullah Gulen yang berdomisili di di Pennsylvania, Amerika Serikat. Gulen dituduh Erdogan sebagai arsitek kup yang gagal. Gulen adalah sosok yang berpengaruh. Gerakan Hizmet yang dia sebarkan tersiar ke mana-mana, termasuk Indonesia.
Saat Erdogan menjanjikan untuk memerangi seluruh sel-sel jaringan Gulen, maka peperangan itu pasti akan merembet ke Indonesia. Benar saja, pada Rabu (28/7/2016) Kedutaan Besar Turki di Indonesia meminta Pemerintah Indonesia menutup sembilan sekolah yang pengelolaannya berada di bawah PASIAD (Pacific Countries Social and Economic Solidarity Association).
Organisasi ini adalah asosiasi solidaritas sosial dan ekonomi untuk negara-negara di wilayah Asia Pasifik. Di Indonesia, PASIAD mendirikan banyak sekolah kemitraan dengan lembaga lain. Dikutip dari situsweb mereka, sampai 2015 total ada sembilan sekolah yang ada di bawah naungan mereka. Sembilan sekolah inilah yang diminta tutup oleh Pemerintah Turki.
Dikutip dari jurnal Muhammad Nawab Osman berjudul Kontribusi Gulen terhadap Islam Moderat di Indonesia, diketahui keberadaan PASIAD tak lepas dari gerakan Gulen yang masuk ke Indonesia pada tahun 1993. Kala itu tiga mahasiswa Turki Hakan Islamoglu, Kerim Tursun dan Galip Karyar datang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran Hizmet.
Islamoglu yang kala itu berkuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia menggagas pendirian sebuah sekolah Indonesia kepada Haji Alwi. Sosok ini kemudian mempertemukan Islamoglu dengan mantan Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah.
Lantas bersama dengan Dr Aip Syarifuddin, Firman Kartiman dan Pramudya Ardana, Islamoglu membentuk sebuah yayasan bernama Yayasan Yenbu Indonesia. Setelah yayasan terbentuk maka dibuatlah sekolah Pribadi Bilingual Boarding School. Nama "Pribadi" sendiri diambil dari ayah dari Aip Syarifuddin. Juli 1995, yayasan Pribadi memulai aktivitas pelayanan pendidikan untuk kali pertama.
Pada 1996, Islamoglu pindah studi ke Universitas Gajah Mada. Di sana dia dekat dengan Prof. Siti Chamamah Soeratno, yang merupakan Guru Besar UGM dan Tokoh Aisyiah. Setelah sempat diajak mengunjungi SMA Pribadi di Depok, Siti Chamamah tertarik untuk membuat sekolah yang serupa. Maka terbentuklah Semesta Bilingal Boarding School di Semarang. Secara beruntun sekolah-sekolah sama juga muncul di Bandung (2002), Banda Aceh (2005), Tangerang (2007), Sragen (2008) dan daerah-daerah lainnya.
Inisiator persebaran The Gulen-inspired School di Indonesia ada di tangan Hakan Islamoglu. Dalam makalahnya yang dirilis 2007, Nawab Osman menyebut Hakan masih tinggal di Indonesia.
Di situs jejaring Facebook, sempat ditemukan akun milik Hakan. Permintaan melakukan wawancara pun disampaikan pada Selasa (26/7/2016). Namun setelah pemerintah Turki meminta sekolah-sekolah PASIAD ditutup (28/7), akun Facebook Hakan menghilang dan wawancara gagal dilakukan.
Untuk mendapat informasi lain, tirto.id mencoba menghubungi Prof Siti Chamamah. Sayangnya, sampai tulisan ini diturunkan, Prof Siti Chamamah tetap tidak bisa dikontak.
Di Indonesia lembaga asing tidak boleh mendirikan institusi pendidikan. Jika ingin mendirikan institusi pendidikan di Indonesia, mereka harus terlebih dahulu membentuk badan hukum pendidikan. Bentuk badan hukum yang paling tepat adalah yayasan, sesuai dengan UU No 28 tahun 2004 tentang UU Yayasan.
Seperti dijelaskan di awal, Pribadi Bilingual School di Depok tak akan eksis jika Hakan Islamoglu dkk tidak membentuk Yayasan Yenbu Indonesia. Hal sama juga terjadi pada beberapa sekolah PASIAD lainnya, embrio yayasan tetap berasal dari PASIAD.
Namun dalam beberapa kasus, PASIAD memilih bermitra dengan lembaga lain untuk mengelola sekolah. Di Sragen misalnya, PASIAD bekerja sama dengan pemerintah lokal dan membuat status mereka sebagai sekolah negeri. Setiap tahun anggaran Pemkab Sragen tersedot untuk membantu biaya sekolah SBBS (Sragen Bilingual Board School).
Setelah pemerintah Turki memerintahkan penutupan, sekolah-sekolah itu ramai-ramai membantah keterlibatannya dengan PASIAD. Pemberhentian kerja sama sekolah-sekolah tersebut dengan PASIAD dilakukan dalam kurun waktu yang berbeda-beda, ada yang tahun 2015, ada pula yang tahun 2016.
Hal ini tak selaras dengan ucapan Muhajir yang mengatakan kerja sama itu berhenti total sejak 1 November 2015. Tidak diketahui detail penyebab pemberhentian ini.
Hanya saja Muhajir sempat merujuk penghentian kerja sama itu untuk mengikuti Surat Edaran Kementerian Luar Negeri bernomor 09394/TI/04/2015/51 tertanggal 30 April 2015. Surat ini adalah surat peringatan pemerintah kepada PASIAD. Hasil pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan PASIAD di Sragen dan satu sekolah di Yogyakarta, menemukan adanya pelanggaran serius.
Kemenlu merekomendasi beberapa poin, di antaranya meminta pemerintah atau Pemkab menghentikan pembiayaan guru asing PASIAD. Semua fasilitas kepada guru asing dan lain-lain disetop sementara. Menjadikan mahasiswa asing sebagai pembina asrama pun dilarang karena bertentangan dengan peraturan di bidang keimigrasian. PASIAD juga diminta merevisi kerja sama.
Pada poin ketiga PASIAD diberi waktu tempo enam bulan untuk menyampaikan kelengkapan dokumen registrasi, yaitu surat rekomendasi dari Kedubes Turki di Indonesia. Poin ketiga ini yang tampaknya menghambat mereka, mengingat hubungan PASIAD merenggang akibat konstelasi politik di Turki.
Pada 2013, terkuak kasus korupsi yang menimpa pejabat tinggi partai AKP. Erdogan menuding ini merupakan permainan politik untuk menjatuhkan dirinya. Tuduhan mengarah kepada Gulen yang memiliki banyak pengikut di Pengadilan dan Kejaksaan. Sejak saat itulah Erdogan mulai berseberangan dengan Gulen. Hal ini tentu ironis mengingat satu dekade kepempimpinan AKP, Gulen dan Erdogan sukses bahu membahu membuat Turki menjadi lebih islami dan maju secara ekonomi.
Hubungan erat antara dua tokoh itu juga merembet ke Indonesia. Ketika berkunjung ke Indonesia, pejabat tinggi Turki selalu menyempatkan mampir ke sekolah PASIAD. Pada 2005, Erdogan yang masih menjabat Perdana Menteri sempat mengunjungi sekolah PASIAD di Aceh. Pada 2011, Presiden Turki Abdullah Gül dan Wakil Perdana Menteri Turki, Bülent Arınç berkunjung ke Sekolah Kharisma Bangsa.
Tidak hanya berkunjung, Abdullah Gul pun memberikan piagam penghargaan kepada sejumlah tokoh yang mengembangkan sekolah Turki di Indonesia, seperti Ketua Yayasan Kharisma Bangsa, H Djusni Djohan, Bupati Sragen Untung Wiyono, Ketua Yayasan Teuku Nyak Arif, Prof HT Syamsul Hadi, Ketua Yayasan Al-Firdaus, Drs H Aip Syarifuddin dan ketua Yayasan Pribadi Indonesia, A Husen Adiwisastra.
Dari hal ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa permintaan penutupan sekolah-sekolah Turki di Indonesia adalah murni karena urusan politik. Sayangnya, keruwetan politik itu ikut menyeret ke dunia pendidikan.
Bagaimanapun juga sekolah-sekolah binaan PASIAD memiliki rekam jejak bagus dalam soal prestasi. Di tingkat nasional, rerata 6 medali emas pada Olimpiade Sains Nasional bisa mereka raih dalam waktu lima tahun terakhir. Pada tingkat internasional medali emas yang didapat per tahunnya bisa mencapai lima medali. Tudingan sebagai sekolah teroris pun sungguh tak berdasar.
Jika memang betul sekolah radikal, tidak mungkin Gus Dur, mantan rektor UI, Prof Usman Chatib dan Hidayat Nur Wahid merekomendasikan sistem pendidikan mereka diterapkan di Indonesia.
Sekolah turki PASIAD bisa menjadi alternatif model sekolah multikultural yang baik. Untuk melihat sistem pendidikan yang dilakukan PASIAD anda bisa membaca penelitian yang dilakukan peneliti UI, Ade Solihat dengan judul paper The Gulen-Inspired School As A Model Multicultural Education.
Dukungan para tokoh intelektual dan perkembangan sekolah Turki membuat wajar jika Indonesia sempat didapuk menggelar Konfrensi Gulen Internasional pada 2010. Ini adalah kali pertama Konfrensi Gulen digelar di negara mayoritas muslim, setelah sebelumnya selalu digelar di negara-negara Barat.
Acara ini digelar di UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Indonesia, 19-20 Oktober 2010 silam. Dua rektor, Prof Komarudin Hidayat dan Prof. Gumilar Rusliwa Somantri ikut memeriahkan acara.
Sebab inilah UIN Syarif Hidayatullah disebut-sebut juga dalam imbauan Kedubes Turki baru-baru ini. UIN menjalin kerja sama dengan Fethullah Gulen Chair (FGC). Organisasi ini dibawa ke UIN oleh Komarudin Hidayat. Namun oleh Rektor UIN sekarang, Dede Rosyada kerja sama ini dihapuskan. “Alasannya karena MoU sudah cukup lama sejak tahun 2008, tapi hasilnya belum signifikan,”
“Kerja sama penelitian dan penulisan karya ilmiah, belum dilakukan. Oleh sebab itu, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI merekomendasikan untuk meninjau ulang posisi Chair untuk FGC di UIN," ujar Dede.
Sementara itu saat dihubungi direktur FGC, Dr Ali Unsal mengatakan pemutusan hubungan ini disebabkan intervensi Kedutaan Besar Turki di Indonesia. “Ada fitnah-fitnah yang menimpa kami. Ketimbang nantinya menyusahkan pihak lain. Kami memutuskan agar berhenti saja,” ucapnya.
Institusi pendidikan seharusnya bersih dari beragam intervensi politik. Apapun alasannya, siapapun orangnya, mereka tidak boleh membawa kekacauan di dunia pendidikan Indonesia.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti