tirto.id - Perilaku kaum muda Turki selama sebulan terakhir telah menyita perhatian publik dan para ilmuwan politik. Pada 26 Juni 2020, ketika Presiden Recep Tayyip Erdogan menyapa para anak-anak yang akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi via live streaming di Youtube, kolom komentar dihujani kritik dan kemarahan dari para siswa dan anak-anak muda secara umum.
Mereka mengutarakan tidak akan memilih Erdogan atau partainya lagi. Pihak kepresidenan menonaktifkan kolom komentar. Protes berlanjut di Twitter dengan tagar #OyMoyYok yang artinya kurang lebih “tidak ada suara untuk Anda.” Beberapa hari setelahnya, Erdogan mengumumkan rencana membuat peraturan baru yang memungkinkan pemerintah mengontrol--bahkan bisa menutup akses--media sosial.
Kemarahan dipicu oleh sikap pemerintah yang bolak-balik mengganti tanggal ujian masuk perguruan tinggi. Terakhir, tanggal ujian dimajukan dari yang semula akhir Juli menjadi akhir Juni 2020. Para siswa menduga langkah pemerintah mengganti tanggal ujian demi menguntungkan sektor pariwisata yang tersungkur akibat COVID-19. Dengan memajukan tanggal ujian sebulan lebih awal, para siswa bisa segera berlibur meski di tengah ancaman penularan virus.
"Sangat mengerikan bahwa ekonomi dan industri pariwisata mendapat prioritas di atas kesehatan kita," ujar Asli (19 tahun) dari Ankara sebagaimana dikutip oleh Deutsche Welle. Pemerintah Turki menyangkal tudingan dari para siswa.
Sebesar 39 persen dari total penduduk Turki adalah kelompok Generasi Z atau Gen Z, yaitu mereka yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010. Dari total Gen Z, lima juta orang di antaranya untuk pertama kalinya akan menggunakan hak pilih dalam pemilu Turki 2023 mendatang. Dengan jumlah yang tidak sedikit, adalah pertanda buruk ketika Gen Z menolak untuk memilih Erdogan atau partainya.
Menurut Direktur Eurasia Public Opinion Research Center Kemal Ozkiraz, sebagian besar Gen Z menyukai partai-partai opisisi. Afiliasi kaum muda ke partai ultranasionalis juga lebih tinggi dibanding ke mesin politik Erdogan, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Besar di Era Erdogan dan Memberontak
Gen Z di Turki tak hanya tumbuh dan besar dengan gawai dan media sosial di genggamannya, tetapi juga menyaksikan negerinya dipimpin oleh AKP dan Erdogan sejak 2002. Alih-alih loyal, kaum muda Turki justru cenderung membenci pemerintahan Erdogan. Penyebabnya adalah kebijakan Erdogan beserta partainya yang semakin tidak relevan lagi di mata kaum muda. Berbagai lembaga sosial politik di Turki telah mengidentifikasi karakteristik menonjol Gen Z seperti keinginan hidup di negara modern, bebas dan demokratis, peduli lingkungan, empatik, kompetitif, dan tidak tertarik pada nilai-nilai konservatif.
Berbanding terbalik, Gonul Tol direktur Middle East Institute’s Center for Turkish Studies dan Ayca Alemdaroglu direktur asosiasi program Turki di Stanford University dalam paparannya untuk Foreign Policy menerangkan bahwa sejak 2012 Erdogan memulai proyek ambisius untuk menciptakan tatanan masyarakat baru yang disebutnya sebagai “generasi saleh”. Alat utama untuk mencapai tujuan tersebut adalah pendidikan. Anggaran senilai miliaran dolar AS digelontorkan untuk pendidikan agama dan meningkatkan jumlah sekolah menengah Imam Hatip yang mulanya adalah sekolah kejuruan untuk melatih para pemuda menjadi imam dan pengkhotbah. Banyak sekolah umum dikonversi statusnya menjadi Imam Hatip. Para guru, siswa, dan orang tua di sekolah Imam Hatip membentuk komunitas yang saling berhubungan erat dengan partai penguasa dan lembaga pemerintah. Di sekolah umum lainnya yang tersisa, jumlah jam pelalajaran ditambah. Sejak 2017, pemerintah juga melarang pengajaran teori evolusi di sekolah.
Kebijakan pemerintahan Erdogan untuk menciptakan Turki baru lewat penanaman konservatisme agama ke dalam praktik kehidupan sehari-hari telah membuat polarisasi yang kuat antara pendukung dan penentangnya. Ayca Alemdaroglu dalam paparan terpisahberjudul "The AKP’s Problem with Youth" (2018) menyebut AKP menikmati popularitas dan dukungan besar selama satu dekade terakhir, tetapi tidak pernah memenangkan hati para kaum muda Turki. Para pemilih muda AKP hanya menyumbang suara 5 sampai 10 persen dan tidak sebanding dengan dukungan pemuda ke partai oposisi lainnya baik partai kiri dan pro-Kurdi maupun partai ultranasionalis. Kaum muda Turki juga lebih sering mengkritik kebijakan Erdogan dan terlibat aksi protes jalanan, misalnya saat protes besar 2013 yang dipicu oleh pembangunan pusat perbelanjaan di Taman Gezi, Istanbul.
Alih-alih memanen generasi saleh, kebijakan-kebijakan Erdogan malah melahirkan kaum muda yang kian skeptis terhadap agama. Pada 2018 laporan BBC mengungkap berbagai kisah perjalanan muda mudi Turki yang mulai mempertanyakan keyakinannya, hingga yang mendaku ateis. Hasil survei lembaga riset sosial-politik Konda menunjukkan jumlah masyarakat Turki yang mendaku ateis meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Laporan lain tahun 2016 dari lembaga pro-pemerintah Social, Cultural and Economic Research Center (SEKAM) menyatakan banyak kaum muda Turki terlibat konsumsi alkohol dan narkoba, menikmati seks di luar nikah, serta keinginan kuat untuk tinggal di luar negeri.
Di luar faktor agama yang dianggap membelenggu, Gen Z di Turki dihadapkan dengan tingginya angka pengangguran. Tahun lalu, tingkat pengangguran kaum muda mencapai 27 persen. Gelar sarjana tidak menjamin para pemuda mendapat pekerjaan. Belum lagi, nepotisme memperparah perekrutan tenaga kerja di sektor publik dan swasta. Mayoritas orang Turki paham bahwa bertahan hidup di bawah rezim Erdogan bukanlah soal latar belakang pendidikan dan kecakapan, melainkan soal koneksi.
Kebebasan berpendapat juga tidak didapatkan Gen Z di era Erdogan. Pandemi COVID-19 bahkan dijadikan alasan Erdogan untuk mengontrol dan menyensor konten media sosial. Setidaknya lebih dari 500 orang dari berbagai latar belakang ditahan dan diinterogasi sejak pandemi. Mayoritas kasus berkaitan dengan kritik terhadap penanganan pemerintah atas pandemi. Dari semua masalah sosial, politik dan ekonomi yang terjadi, Gen Z semakin menemukan nol inspirasi dalam diri Erdogan dan AKP. Walhasil, ketika sapaan Erdogan kepada kaum muda dibalas dengan kemarahan.
Namun, bukan berarti proyek Erdogan gagal total di kalangan kaum muda. Gonul Tol dan Ayca Alemdaroglu memberi catatan, sentimen nasionalisme anti-Kurdi yang digelorakan Erdogan masih mendapat dukungan kuat baik baik di kalangan kaum muda sekuler maupun konservatif, dan membuat mereka kurang toleran terhadap perjuangan bangsa Kurdi. Proyek membangkitkan romantisme Kekaisaran Usmani sejak 2012 berhasil membuat banyak kaum muda Turki kini memandang dirinya sebagai bagian dari Timur Tengah, bukan lagi Barat, namun sekaligus ingin tinggal di Barat yang mereka anggap moder, bebas, dan demokratis.
Editor: Windu Jusuf