Menuju konten utama

Ketika Kemarahan Rusia Berdampak Pada Ekonomi Turki

Pertumbuhan ekonomi Turki meski sangat fluktuatif, tetapi bisa disebut berada dalam tren yang positif. Recep Tayyip Erdogan disebut-sebut sebagai tokoh yang paling berjasa. Apa dampak insiden penembakan pesawat Rusia pada November 2015 dan pembunuhan Dubes Rusia untuk Turki?

Ketika Kemarahan Rusia Berdampak Pada Ekonomi Turki
Kota wisata Istanbul ibukota Turki, [foto/shutterstock]

tirto.id - Pembunuhan Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrei Karlov, di Ankara menguakkan kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh. Hubungan kedua negara sempat berada dalam ketegangan serius pada akhir 2015 gara-gara pesawat Sukhoi Su-24 milik Rusia ditembak jatuh di perbatasan Suriah-Turki pada November 2015.

Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev langsung sesumbar bakal menghukum berupa "pembatasan atau pelarangan" kepentingan ekonomi Turki di Rusia. Dampaknya sangat signifikan.

Pada awal 2016, Turki sudah langsung merasakan dampaknya. Neraca ekspor Turki ke Rusia di berbagai sektor merosot signifikan. Ekspor makanan, khususnya sayur dan buah, mendadak terhenti. Sektor turisme juga merasakan benar pahitnya hukuman itu. Penjualan tiket pesawat dan pemesanan hotel di Turki oleh orang-orang asal Rusia yang hendak berlibur pun menurun dalam jumlah yang serius. Bahkan pembangunan konstruksi jalur pipa yang memasok gas dari Rusia ke Turki lewat Laut Hitam sampai ditunda hingga batas waktu yang tidak diketahui.

Erhan Aslanoglu, seorang pakar ekonomi Turki, dikutip dari BBC, kondisi itu berdampak pada ekonomi Turki untuk waktu dekat. Dia bahkan berani menghitung bahwa Turki akan diprediksi kehilangan sekitar $10 miliar atau Rp138,3 triliun.

Turki awalnya tidak lekas-lekas menurunkan tensi, bahkan sempat merasa tidak bersalah. Pemerintah Erdogan menuding pesawat Rusia telah memasuki teritori kedaulatan Turki tanpa izin. Karena dianggap tidak meminta izin, maka pesawat Rusia dianggap melakukan penyusupan. Apalagi peringatan sudah diberikan kepada pesawat tersebut. Penembakan dianggap sebagai hal wajar dilakukan setiap negara untuk melindungi teritorinya.

Namun dampak hukuman dan kemarahan Rusia terlalu signifikan untuk diremehkan, khususnya dalam bidang ekonomi. Turki dihadapkan pada pilihan yang sulit. Akhirnya, Erdogan mulai melunak untuk memperbaiki keadaan sebelum menjadi lebih buruk lagi.

Erdogan mengambil inisiatif duluan pada Juni 2016 dengan menekspresikan perasaan menyesal kepada Vladimir Putin terkait insiden penembakan pesawat Sukhoi milik Rusia. Pada 29 Juni, Erdogan dan Putih pun berbicara melalui sambungan telepon. Turki juga kemudian memperlihatkan kecenderungan untuk "mengabaikan" pendudukan Rusia di Crimea.

Sebagai balasannya, Rusia pun mencabut larangan pesawat sewaan dari Rusia ke Turki pada 28 Agustus 2016. Hukuman-hukuman lain di bidang ekonomi pun pelan-pelan dikendurkan.

Menyelamatkan Pertumbuhan Ekonomi

Erdogan memang harus menyelamatkan kondisi ekonomi Turki. Jika neraca perdagangan dengan Rusia terus memburuk, bisa saja akan berdampak pada kondisi ekonomi Turki secara keseluruhan. Jika benar-benar berdampak pada ekonomi Turki, maka semua usaha Erdogan bisa lantak.

Di Indonesia sendiri, Erdogan dianggap pahlawan, inspirator, bahkan idola. Kebangkitan ekonomi Turki di era Erdogan dianggap sebagai bukti sahih betapa hebatnya kepemimpinan Erdogan.

Pada 6 Maret tahun lalu, Arrahmah.com memuat artikel saduran tentang peran dan gebrakan Erdogan dalam membangun Turki. Artikel itu diberi judul "'Dosa-dosa dan kebodohan-kebodohan' Erdogan terhadap hak Ummat Islam". Artikel itu berisi 29 poin "dosa" dan "kebodohan” yang sebenarnya ingin dinyatakan situs itu sebagai pahala dan kecerdasan.

Dari 29 daftar kebaikan Erdogan itu, enam di antaranya menyangkut persoalan ekonomi. Tak sulit untuk mencari si artikel, ketik saja kata kunci Erdogan dan Ekonomi Turki di Google, ia akan muncul di urutan ke dua dari atas. Di media sosial, ia disebarkan sebanyak 27.500 kali.

Artikel itu juga sampai ke Hadza Min Fadhli Robby, mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan magister Ilmu Hubungan Internasional di Eskişehir Osmangazi Üniversitesi, Turki. Orang tua Hadza mengirimkan tautan artikel itu kepadanya sambil bertanya kebenaran tentang isi artikel.

Hadza yang saat itu sedang menikmati liburan musim panas merasa ada yang salah. Sebagai mahasiswa yang hidup di Turki dan pernah menulis skripsi tentang Politik Luar Negeri Turki, ia paham bahwa banyak data dan fakta yang salah dari klaim yang sudah disebarluaskan itu.

Ia lalu memeriksa data dan fakta setiap klaim dan menuliskan temuan serta analisisnya ke dalam blog pribadinya pada Agustus 2015. “Saya pikir, mitos-mitos terkait Turki harus ada yang meluruskan, karena kalau tidak ada, sesat pikir tersebut akan berlanjut menjadi sesuatu yang membahayakan masyarakat kita,” ujarnya dalam korespondensi dengan tirto.id, Kamis (21/7).

Artikel di Arrahmah.com yang disebarkan puluhan ribu orang itu mengatakan produk domestik bruto (PDB) di tahun 2013 mencapai $100 miliar dan menyamai PDB Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Yordan, Suriah, serta Lebanon. Ini adalah berkat kerja keras Erdogan.

Fakta dari klaim ini jelas keliru. Pertama, PDB Turki pada tahun itu menurut data dari Bank Dunia adalah $823,24 miliar, bukan $100 miliar. Hadza bilang, sumber yang disadur Arrahmah sebenarnya 1 triliun 100 miliar dolar Amerika. "Arrahmah jelas salah menerjemahkan," katanya. Kedua, sambung Hadza, jika PDB Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Iran diakumulasikan, nilainya mencapai $2,23 triliun. Ini belum termasuk Yordan, Suriah, dan Lebanon. Jadi sangat jelas bahwa klaim yang menyebut PDB Turki lebih besar dari gabungan negara-negara itu adalah klaim berlebihan dan jauh dari kenyataan.

Klaim lainnya menyinggung soal jasa Erdogan pada pertumbuhan ekonomi yang membuat Turki masuk ke dalam daftar 20 negara ekonomi terkuat. Ada juga klaim terkait pendapatan per kapita, nilai tukar, mata uang yang naik 30 kali lipat, dan banyak lagi.

Akan sangat melelahkan jika semua klaim keliru itu dibahas lagi satu persatu. Kunjungi saja blog milik Hadza untuk mengetahui sesat pikir dan kesalahan data dalam tiap klaim yang disampaikan. Sebab kalaupun data-data pertumbuhan itu benar, belum tentu karena Erdogan.

Sejak 2002, nilai PDB Turki memang menunjukkan pertumbuhan positif meski sempat resesi pada 2009 karena terkena dampak krisis Amerika pada 2008. Tahun 2010, PDB kembali bangkit sampai pada puncaknya di 2013. Dua tahun setelahnya, PDB Turki menunjukkan tren menurun.

PDB Bukan Satu-satunya Indikator

PDB adalah indikator ekonomi yang dihitung dengan menjumlahkan konsumsi pribadi warga negara, total pengeluaran negara, total ekspor bersih, dan total pengeluaran modal yang dilakukan industri di negara itu. PDB bisa menjadi indikator dari maju dan sejahteranya suatu negara, tetapi PDB saja tidak cukup.

Hazda menceritakan bahwa suatu kali ia pernah bertemu seorang profesor kebijakan keuangan di universitas tempat ia belajar. Profesor itu bernama Ali Hoca. “Beliau bilang bahwa banyak orang yang seringkali dengan mudah menghakimi ekonomi Turki naik-turun, maju-mundur, dengan alasan ini itu tanpa melihat indikator yang beragam,” papar Hazda.

Agar tak melihat pada PDB saja, mari kita langsung melihat persentase pertumbuhan ekonomi Turki. Sejak tahun 1996 hingga 2015, grafik pertumbuhan ekonomi Turki tampak sangat fluktuatif.

Setelah melewati krisis finansial pada 1999 hingga 2001, ekonomi turki kembali tumbuh di angka 6 persen pada 2002. Hazda mengatakan perbaikan awal ini dikarenakan adanya upaya intervensi IMF dan Bank Dunia yang dimediasi oleh ekonom Bank Dunia berkewarganegaraan Turki, Kemal Derviş. Derviş merupakan menteri ekonomi di saat Bulent Ecevit menjabat sebagai perdana menteri.

Dari rencana dan konsep yang dibuat Derviş bersama dengan IMF dan Bank Dunia inilah ekonomi Turki perlahan-lahan mulai tumbuh kembali. Tahun 2003, Recep Tayyip Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AKP) terpilih sebagai perdana menteri. Saat itu, ekonomi Turki sudah dibenahi oleh Derviş. Apa yang dilakukan Erdogan hanyalah mengikuti rancangan yang sudah dibuat membayar pinjaman dari IMF serta Bank Dunia.

Pada masa awal pemerintahan AKP, Turki mendapatkan tingkat pertumbuhan sebesar 5,27 persen. Angka ini naik cukup tinggi menyentuh 9 persen pada tahun 2004, lalu turun-naik selama periode tahun 2004-2007.

Pertumbuhan ekonomi yang tercatat negatif pada 2009 disebabkan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat dan krisis ekonomi global yang menyusul. Ekonomi Turki kemudian naik drastis dan mengejar ketertinggalan pada tahun 2010 dan 2011 dengan persentase masing-masing sebesar 9,2 persen dan 8,8 persen. Lalu, bergelombang lagi di antara tahun 2011-2014.

Menurut Hazda, ini disebabkan oleh berbagai faktor internal. Dari hasil analisis lembaga bernama SETA, defisit anggaran Turki pada tahun 2011 yang mencapai 10 persen menjadi salah satu penyebab internal yang memperlambat pertumbuhan ekonomi dan membuat pemerintah Turki harus merevisi anggaran dan kebijakan ekonomi. Serangkaian aksi protes pada tahun 2013 juga menyebabkan ketidakstabilan politik di Turki yang kemudian berdampak pada ketidakstabilan ekonomi.

Aspirasi Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa menjadi faktor yang mendorong perbaikan di banyak lini. Hazda menyebutkan reformasi pelayanan publik seperti efisiensi administrasi dan pemberantasan korupsi berjalan dengan baik dan konsisten. Reformasi kebijakan ekonomi seperti peringanan pajak, reformasi BUMN dan deregulasi juga berjalan dengan baik. Uni Eropa memang memiliki rangkaian persyaratan bagi anggotanya seperti yang tertuang dalam Kriteria Kopenhagen.

Turki lalu berhasil masuk dalam daftar 20 besar ekonomi dunia (G20), berada di urutan ke 17, bersebelahan dengan Indonesia yang ada di urutan 16. Dari segi pemerataan pembangunan, Hazda menyebutkan Turki tak jauh beda dengan Indonesia. Ketimpangan pembangunan masih terjadi di wilayah tertentu.

Ekonomi Kembali Memburuk

Tahun 2015, ekonomi Turki memburuk. Nilai tukar lira atas euro turun 25 persen, dan merupakan salah satu yang terburuk di antara nilai tukar mata uang negara-negara berkembang di dunia. Defisit transaksi berjalan juga terjadi di tahun itu, angkanya mencapai $32 miliar. Ini artinya, pengeluaran Turki lebih banyak dari pemasukan negara itu.

Pascakudeta yang gagal beberapa waktu lalu lalu, ekonomi Turki masih terkena imbasnya. Pasar saham tampak merah, turun tujuh persen sejak pekan lalu. Nilai tukar mata uang juga turun lima persen.

Industri pariwisata, salah satu industri penting bagi perekonomian Turki pun terkena dampaknya. Saham Turkish Airline jatuh 12,58 persen, begitu juga dengan perusahaan operator bandara TAV yang sahamnya turun 17,34 persen.

Proyeksi Bank Dunia atas pertumbuhan ekonomi Turki tahun ini juga telah diturunkan dari yang sebelumnya 4,5 persen menjadi 3,5 persen. Belum ada gambaran dari Erdogan tentang bagaimana ekonomi Turki bisa bangkit kembali.

Insiden penembakan pesawat Sukhoi Rusia bisa semakin memperburuk situasi ekonomi Turki. Maka menjadi wajar jika Erdogan kemudian mengambil inisiatif untuk memperbaiki hubungannya dengan Putih.

Pembunuhan Duta Besar Rusia untuk Turki kembali memicu pertanyaan: apa yang akan dilakukan Rusia? Apakah Putin akan bersikap sama kerasnya dengan saat pesawat Rusia dijatuhkan pada akhir 2015 silam? Jika ini terjadi, tentu Erdogan harus berhitung kembali.

Kita tunggu saja perkembangan berikutnya.

Baca juga artikel terkait TURKI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti