Menuju konten utama
Periksa Data

Beda Pelemahan Rupiah Saat Krisis 20 Tahun Lalu dan Saat Ini

Nilai tukar rupiah terhadap dolar memang melemah cukup dalam pada 1998, 2008, dan 2018, tapi kondisi dan faktor yang memicunya berbeda-beda.

Beda Pelemahan Rupiah Saat Krisis 20 Tahun Lalu dan Saat Ini
Header Periksa Data Membaca Fluktuasi Nilai Tukar 1998, 2008, 2018. tirto.id/Quita

tirto.id - Setelah berhari-hari tertekan oleh dolar AS, rupiah sedikit bangkit menjauh dari zona mendekati Rp15.000 per dolar AS. Data reuters pada Kamis (6/9)menunjukkan rupiah menguat ke posisi Rp14.875 per dolar AS, dari posisi terendah Rp14.989 per dolar AS pada Senin (3/9). Kurs yang mengacu pada Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis (6/9) rupiah berada di level Rp14.891 per dolar AS.

Untuk sementara waktu rupiah memang belum seburuk dari proyeksi lembaga pemeringkat rating investasi berskala global Standard and Poor’s (S&P) yang pernah memperingatkan pemerintah Indonesia soal nilai tukar rupiah. Senior Director Corporate Ratings S&P, Xavier Jean, pernah memprediksi nilai tukar rupiah bisa menembus Rp15.000 per dolar AS.

Kondisi saat ini dengan apa yang terjadi pada medio 1997-1998 dan 2008 sering dikait-kaitkan seperti yang terjadi dalam pembahasan di media-media sosial. Kedua periode tersebut melekat sebagai periode krisis.

Apakah kondisi ekonomi saat ini sudah mengarah pada keadaan krisis pada 1998 atau 2008?

Krisis Nilai Tukar 1998

Pada medio 1997-1998 merupakan masa krisis moneter global yang berdampak terhadap banyak negara, termasuk Indonesia. Hal tersebut bermula dari kebijakan Thailand yang melakukan perubahan pada sistem nilai tukar mereka dari sebelumnya mengambang terkendali menjadi mengambang bebas terhadap dolar AS pada 2 Juli 1997. Kebijakan ini akhirnya menyebabkan krisis pada Baht.

Krisis yang dialami baht cepat menyebar ke negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pemerintah Indonesia Indonesia yang saat itu menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali tak tinggal diam.

Infografik Periksa Data Membaca Fluktuasi Nilai Tukar

Bank Indonesia (BI) memperlebar rentang intervensi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari delapan persen menjadi 12 persen dengan batas bawah Rp2.374 dan batas atas Rp2.678. BI juga memperketat kebijakan moneter serta melakukan intervensi terhadap pasar valuta asing. Kebijakan ketat yang dilakukan otoritas moneter tersebut ternyata tak efektif meredam nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada akhir Juli 1997 posisi rupiah terhadap dolar AS berada pada level Rp3.633. Saat itu, neraca pembayaran tercatat defisit US$8,07 miliar.

Infografik Periksa Data Membaca Fluktuasi Nilai Tukar

Posisi rupiah yang melemah terhadap dolar AS otomatis membuat cadangan devisa ikut tergerus. Kondisi ini akhirnya membuat BI pada 14 Agustus 1997 mengubah rezim nilai tukar melalui sistem nilai tukar mengambang bebas. Artinya, nilai rupiah terhadap dolar AS ditentukan pasar, tidak lagi ada kendali dari otoritas moneter. Perubahan tersebut justru semakin membuat rupiah makin loyo. Empat bulan setelahnya, rupiah melemah ke level Rp5.300 per dolar AS pada 1 Desember 1997.

Cadangan devisa pun ikut tergerus ke level US$17,43 miliar pada akhir tahun. Padahal pada Juni 1997, cadangan devisa masih sebanyak US$28,8 miliar. Transaksi berjalan juga tercatat defisit sebesar US$8,07 miliar. Ketidakstabilan kondisi politik di dalam negeri juga mempengaruhi nilai tukar saat itu. Gelombang protes terhadap Presiden Soeharto juga turut andil. Sejak awal Maret, rupiah yang saat itu berada pada level Rp8.560 per dolar AS secara cepat terjun bebas ke angka Rp15.100 per akhir Mei 1998, beberapa saat setelah Presiden Soeharto mundur.

Bantuan IMF yang sudah disepakati sejak 31 Oktober 1997 oleh Soeharto, melalui beberapa saran yang tertuang dalam memorandum (LoI), dan termasuk LoI pada era Presiden Habibie sebagai pengganti Soeharto. Pada era Habibie, nilai tukar rupiah berangsur pulih hingga mencapai level Rp7.400 per dolar pada 2 November 1998. Pulihnya rupiah terlihat dari kondisi defisit transaksi berjalan pada 1998 berkurang menjadi sebesar US$1,7 miliar.

Fluktuasi Nilai Tukar 2008

Rezim nilai tukar rupiah yang mengikuti mekanisme pasar memang akan sensitif terhadap goncangan. Seperti yang terlihat pada medio 2008-2009. Bermula dari krisis subprime mortgage yang terjadi di AS pada akhir 2007 yang menjalar ke berbagai negara, hingga terasa di Indonesia pada kuartal terakhir 2008. Nilai tukar rupiah yang ada di level Rp9000-an per dolar AS, akhirnya tembus Rp10.315 per dolar AS pada 27 Oktober 2008. Setelahnya, posisi rupiah terhadap dolar AS semakin tergerus.

Infografik Periksa Data Membaca Fluktuasi Nilai Tukar

Puncaknya pada 24 November 2008. Saat itu rupiah menembus Rp12.400 per dolar AS. Cadangan devisa ikut menurun menjadi US$50,18 miliar setelah dua sebelumnya sebesar US$57,11 miliar. Untuk menghadapi hal tersebut, BI melakukan intervensi melalui penurunan suku bunga acuan (BI rate). Kebijakan yang diambil secara bertahap sejak Desember 2008 hingga agustus 2009 tersebut menurunkan suku bunga hingga 300 basis poin. Intervensi ini mampu membuat rupiah berangsur pulih hingga kembali ke level Rp9.681 pada akhir September 2009.

Kondisi perekonomian global yang makin membaik juga membantu pemulihan rupiah. Melemahnya rupiah tersebut juga dikarenakan pertumbuhan ekspor impor yang terganggu harga minyak mentah dunia (CPO) saat itu. Bahkan, total perdagangan pada September 2009 turun ke angka US$18,36 miliar dari US$23,57 pada periode yang sama tahun sebelumnya. Total perdagangan menurun, transaksi berjalan pada September 2009 justru mencatatkan surplus sebesar US$1,74 miliar. Transaksi berjalan tercermin dari penerimaan devisa dari hasil ekspor dan kinerja impor sektor barang maupun jasa, yang punya dampak pada kebutuhan terhadap mata uang dolar AS.

Nilai transaksi berjalan naik dua kali lipat dari sebelumnya yaitu US$564 juta di September 2008. Hal ini mengindikasikan, meskipun rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS, namun investor maupun mitra dagang masih memberikan kepercayaan kepada Indonesia. Selain itu, Indonesia pun terlihat tidak terlalu bergantung terhadap AS sehingga fundamental makro masih bisa terjaga saat dan volatilitas nilai tukar rupiah bisa dikendalikan.

Fluktuasi Nilai Tukar 2018

Secara teori, suku bunga acuan bank sentral, seperti BI Rate dan Fed rate, memang paling kuat mempengaruhi nilai tukar pada sistem mengambang. Seperti yang terlihat sejak awal tahun ini, nilai tukar rupiah terkena sentimen pernyataan The Fed atas rencana kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika.

Hal ini mempengaruhi kepercayaan investor global untuk menanamkan uangnya di Amerika, sehingga nilai dolar AS menguat dan membuat mata uang negara lain melemah, karena ada aliran modal keluar. Tak hanya suku bunga acuan, nilai tukar juga dipengaruhi oleh kondisi politik global seperti isu perang dagang AS dengan beberapa negara di dunia serta anjloknya perekonomian Turki.

Sebagai negara penganut sistem nilai tukar mengambang bebas, gejolak global tentu adalah konsekuensi. Rupiah memulai tahun ini pada level Rp13.542 per dolar AS, hingga 5 September nilainya mencapai Rp14.927 (Jisdor). Artinya rupiah sudah melemah sekitar 10,23 persen. Cadangan devisa sebagai instrumen stabilisasi ikut dilepas pemerintah. Hingga akhir Juli 2018, cadangan devisa tercatat sebesar US$118,31 miliar. BI sebagai otoritas moneter ikut intervensi. Untuk menarik investor, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali pada tahun ini dengan akumulasi 125 basis poin.

Infografik Periksa Data Membaca Fluktuasi Nilai Tukar

Kondisi makro ekonomi saat ini memang masih cukup baik bila dibandingkan 1998 maupun 2008, tetapi pemerintah harus tetap waspada. Salah satu hal yang patut diwaspadai ialah defisit transaksi berjalan. Hingga akhir triwulan II-2018, transaksi berjalan Indonesia tercatat defisit sebesar USD8,03 miliar, lebih besar dibandingkan awal tahun yaitu sebesar US$5,76 miliar.

Kondisi kemerosotan rupiah terhadap dolar AS pada 1998, 2008, dan 2018 tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Ini karena faktor yang memengaruhinya berbeda pada setiap periode. Fluktuasi pada medio 1997-1998 dipengaruhi oleh pergantian rezim sistem nilai tukar dari mengambang terkendali menjadi mengambang bebas.

Kondisi politik yang dipenuhi gelombang protes terhadap presiden saat itu juga berpengaruh kuat. Kondisi ekonomi negara lain yang menjadi mitra Indonesia merupakan faktor yang berpengaruh pada fluktuasi medio 2008-2009. Krisis keuangan di AS yang menjalar ke dunia juga ikut dirasakan Indonesia. Namun baiknya fundamental makro di dalam negeri saat itu memperlihatkan Indonesia tidak terlalu bergantung terhadap AS. Pada saat menjadi gubernur BI, Boediono pernah bilang Indonesia pada 2008 dalam kondisi "blessings in disguise" karena tak terlalu terkoneksi dengan sistem keuangan pada pusat ekonomi dunia seperti AS.

Sedangkan fluktuasi yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh sentimen perang ekonomi dan kebijakan moneter negara lain.

Selain itu, meskipun fundamental makro tidak terlalu buruk, kondisi seperti cadangan devisa yang semakin tergerus dan defisit transaksi berjalan yang semakin membesar patut diwaspadai. Nilai tukar rupiah yang belum terkendali dan kondisi politik jelang pemilu jadi realitas yang harus dihadapi.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Hanif Gusman

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Hanif Gusman
Editor: Suhendra