Menuju konten utama

Sindikat China Penjarah Kapal Perang di Laut Asia Tenggara

Fujian Jiada, pemasok grab dregder ke perusahaan salvage di Malaysia dan Indonesia, menyatakan sering mendapatkan kapal karam dari Perang Dunia II.

Sindikat China Penjarah Kapal Perang di Laut Asia Tenggara
Relasi korporasi Cina yang mengekspor tongkang-tongkang bercakar dengan sindikat penjarah di perairan Asia Tenggara. tirto.id/Sabit/Mojo

tirto.id - Beberapa media internasional pernah menduga perusahaan salvage sebagai pelaku penjarahan bangkai-bangkai kapal perang di perairan Asia Tenggara. Namun hampir tidak ada yang menyebutkan secara detail siapa pelakunya. Setelah melakukan penelusurandi lapangan, juga pembacaan atas berbagai dokumen perusahaan, serta hasil saling berbagi informasi dengan wartawan dari Belanda, Hong Kong, dan Malaysia, nama-nama perusahaan ini dapat terlacak.

Perusahaan ini memakai tongkang bercakar atau lazim disebut grab dredger atau crane barge untuk mengangkat bangkai-bangkai kapal. Saat beroperasi di perairan Indonesia, mereka mengantongi izin melalui Dirjen Perhubungan Laut untuk melakukan pembersihan jalur laut. Namun saat beroperasi, mereka diduga melenceng dari titik koordinat yang sudah ditetapkan — istilah resminya Surat Perintah Kerja (SPK) — sehingga secara sengaja mengangkut kapal-kapal karam lain, termasuk kapal perang dan kapal bersejarah.

Kasus itulah yang terjadi di perairan dekat Pulau Bawean yang di dasarnya banyak terdapat bangkai kapal yang tenggelam saat Perang Dunia II, tepatnya Pertempuran Laut Jawa pada 1942. Kapal-kapal tersebut di antaranya tiga kapal Belanda — HNLMS De Ruyter, HNLMS Java, dan HNLMS Kortenaer— serta kapal Inggris HMS Exeter dan HMS Electra. Di Selat Sunda pun begitu: HMAS Perth (Australia) dan USS Houston (AS) dipereteli oleh tongkang bercakar.

Dari sejumlah individu dan perusahaan salvage yang terlibat dan beroperasi di Indonesia dan Malaysia, kami menemukan sebuah relasi yang menghubungkan satu sama lain: Fujian Jiada Shipping.

Berbasis di Kota Ningde, Provinsi Fujian, perusahaan Jiada bergerak di bidang perdagangan, perbaikan, dan konstruksi kapal. Pangsa pasar mereka terfokus di Asia Tenggara dengan memanfaatkan proyek One Belt One Road yang digagas pemerintah China. Mereka beroperasi secara legal dengan memanfaatkan lemahnya regulasi perlindungan benda-benda bersejarah di bawah laut dan perilaku korupsi di instansi pemerintahan Indonesia dan Malaysia.

Jejak Fujian Jiada di Malaysia

Pada Mei 2014, The Star merilis laporan investigasiillegal salvage di Penang. Pelakunya tongkang bercakar bernama Hai Wei Gong 889, yang menjarah kapal perang Jepang IJN Kuma, IJN Haguro, dan Chosa Maru, serta kapal selam Jerman, U-boat 859 dan U-IT 93. Dijarah pula kapal selam Belanda, HNLMS K-XVII dan HNLMS O-16.

The Star mengungkap Hai Wei Gong 889 beroperasi sejak 2012. Tapi pemerintah Malaysia berdalih tidak tahu aktivitas ilegal tersebut. Tongkang ini mudah berganti nama dan bendera, salah satunya bernama Inai Merah. Ini terungkap dalam basis data Vessel Clearance System (VCS) Port of Tanjung Pelepas Malaysia, yang menyebut dua tongkang ini memiliki IMO (nomor identitas kapal) sama, yakni 8662452.

Hai Wei Gong 889 dimiliki Rei Management Sdn Bhd. Sementara Inai Merah dimiliki Dandong Haiwei Tonggan Shipping. Ini perusahaan salvage yang sama dan dimiliki pengusaha Chee Teck Fah, pebinis berkewarganegaraan Malaysia.

Rei Management adalah perusahaan besar yang sering terlibat operasi salvage di Malaysia. Chee Teck Fah tidak merespons The Star ketika ditanya kasus ini.

Selain Inai Merah, ada juga Ji Chang 5. Kapal ini tepergok DIVErace saat menjarah bangkai tangker Swedia, Seven Skies, di Kepulauan Riau pada 30 Mei 2015.

Data IMO menyebutkan Ji Chang 5 pernah tiga kali berganti bendera: China (November 2009), Thailand (Mei 2017), dan Palau, negara kepulauan di Oseania (September 2017).

Namun data Kementerian Perhubungan Malaysia menyebut Ji Chang 5 berbendera Mongolia. Masih dari database yang sama, Ji Chang 5 memiliki nama lain: Puteri 99. Kapal Ji Chang 5 dan Puteri 99 memiliki nomor identitas yang sama: 8670007.

Hanya saja pemiliknya berbeda. Saat melacak nama Ji Chang 5, tongkang ini dimiliki perusahaan China, Lianyungang Jinshuo Shipping Co., Ltd., yang berkantor di Provinsi Jiangsu dengan pemiliknya adalah Hei Wuxan. Namun saat menelusuri nama tongkang Puteri 99, pemiliknya berganti sebagai perusahaan Malaysia: Golden Marine Services Sbn Hd. Perusahaan ini berelasi satu sama lain. Modus operandinya mirip: memakai payung hukum dan nama lokal ketika beroperasi.

Tongkang bercakar Hai Wei Gong 89 dan Ji Chang 5 punya relasi dengan Fujian Jiada. Jiada menyebut telah mengirim dua kapal itu ke Malaysia lewat situsweb: Ekspor Hai Wei gong 889 pada 2013 dan Ji Chang pada 2015.

Wei Yufang, staf Rei Management pemilik Hai Wei Gong 89, membenarkan pernah bekerja sama dengan Fujian Jiada. “Tapi kami hanya sekadar menyewa,” katanya kepada Tirto, 12 Januari lalu.

Dongfu 881 dimiliki Pejabat Lokal di Buton

Tongkang bercakar Dongfu 881 sempat ditahan Kementerian Kelautan dan Perikanan di Bangka pada 16 Agustus 2017. Pemiliknya PT Fujian Yida Shipping; 45 persen sahamnya dipegang Erlyn Sutanto, istri Arifin alias Hok Giok Kie. Nama Arifin sempat mencuat dalam kasus pembunuhan mantan bos PT Sanex Steel, Tan Harry Tantono alias Ayung, yang melibatkan John Kei pada 2012.

Kepemilikan 55 persen saham lainnya dikuasai Alie Cendrawan. Ia membagi 45 persen untuk sang anak, Johanes Cendrawan. Alie membenarkan soal ini kepada Tirto.

“Saya muncul hanya nama. Lagi pula belum beroperasi perusahaan itu. Kalau soal itu, mitra saya (Arifin), coba tanya saja dia,” ucapnya saat dikonfirmasi via telepon.

Mantan Ketua Asosiasi Pedagang dan Importir Telepon Genggam (Aspiteg) ini menjawab diplomatis saat ditanya apakah Dongfu 881 milik PT Fujian Yida Shipping atau bukan: “Kalau cek bendera kepemilikannya sudah diganti, kan? Kalau sudah diganti, sebenarnya tak perlu beri komentar lagi.”

“Jadi kapal ini sudah dijual?” tanya reporter Tirto.

“Bukan. Kayaknya Dongfu 881 hanya menumpang bendera kita (Indonesia) saja,” jawab Alie Cendrawan.

“Jadi siapa pemilik kapal ini?”

“Saya sendiri enggak tahu, enggak jelas. Coba saja kamu tanya yang pegang bendera sekarang,” kata Alie, lalu meminta mengakhiri percakapan.

Dalam data Kementerian Perhubungan, sejak 23 November 2017, Dongfu 881 dioperasikan oleh PT Surya Teratai, perusahaan salvage berbasis di Kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.

Di dokumen Kemenhub, PT Surya Teratai dimiliki Mudariati Ibrahim, istri Ibrahim Marsela, mantan Wakil Wali Kota Baubau. Pada Pilkada serentak 2018, Ibrahim hendak maju dalam Pilwalkot Baubau lewat jalur independen.

Ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Ibrahim mengklaim kepemilikan PT Surya Teratai sudah beralih ke saudaranya, Muhammad Adios.

Data Ditjen AHU, Kementerian Hukum dan HAM, mengafirmasi pernyataan Ibrahim. Per 15 Agustus 2017 kepemilikan saham PT Surya Teratai berubah: Muhammad Adios jadi pemilik tunggal 100 persen saham, yang dibagi kepada anak dan istrinya.

Adios adalah pengusaha ternama di Buton, ketua DPC Gerindra Buton Selatan, dan pernah mencalonkan diri sebagai calon bupati lewat Partai NasDem pada 2016. Adios adalah pensiunan PT Pelni, kemudian berkiprah pada bisnis distribusi BBM untuk kapal. Kepada reporter Tirto, Adios menampik pernah memakai Dongfu 881.

“Saya enggak pernah pakai. Enggak ada kapal Dongfu 881. Kami enggak punya kapal itu,” bantahnya.

Pioner 88: Dikendalikan Pengusaha Fujian

PT Jatim Perkasa diduga menjarah kapal bersejarah di Laut Jawa. Dalam dokumen, perusahaan bercabang dua: PT Jatim Perkasa Lines dan PT Jatim Perkasa Salvage.

Agar bisa beroperasi untuk kegiatan bawah air (salvage), perusahaan membutuhkan surat izin khusus, maka dibentuklah PT Jatim Perkasa Salvage. Namun, data Kemenhub menyebut kepemilikan kapal tercantum atas nama PT Jatim Perkasa Lines—yang memang bergerak sebagai penyedia sewa perkapalan.

Pemilik PT Jatim Perkasa Salvage adalah Lin Qiqiang, warga negara China, berasal dari Kota Fuzhou, Fujian, dan menguasai 49 persen saham perusahaan. PT Jatim Perkasa terdaftar sebagai perusahaan penanaman modal asing dan, karena itu, Lin dilarang memiliki saham mayoritas. Kepemilikan 51 persen saham lainnya dipegang Ny. Zhang Qing yang lahir di Fujian tetapi berstatus WNI.

Berbeda dari PT Jatim Perkasa Salvage, status hukum PT Jatim Perkasa Lines adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan sahamnya dimiliki WNI. Pada akta perusahaan, nama Zhang Qing tertera menguasai 48 persen saham, sementara 52 persen lain dipegang Merina Liem yang berasal dari Makassar.

Relasi Merina dan Lin Qiqiang berdasarkan garis pernikahan: Merina menikah dengan Kwan Sze, kakak Cecily Sze, istri Lin Qiqiang.

Reporter Tirto beberapa kali mengontak Merina Liem melalui telepon untuk menanyakan peran dan relasi dia di perusahaan. Namun sampai berita ini dirilis, Merina tidak merespons. Kami juga berusaha melacak Zhang Qing, tapi hasilnya nihil sampai laporan ini dilansir.

Di PT Jatim Perkasa Salvage, Lin Qiqiang berposisi sebagai direktur utama. Di Surabaya, Lin punya restoran Cina bercita rasa masakan Fuqing di kawasan Darmo bernama Fu Man Lou. Saat peresmian restoran pada Oktober 2015, Lin mendatangkan Yu Hong, Konsulat Jenderal RRT di Surabaya, dan konsul perdagangan Shen Yiwu.

Relasi Lin Qiqiang dan Fujian Jiada terdeteksi saat pengiriman tongkang bercakar Pioner 88 dari Fujian pada 2014. Kapal inilah yang diduga mengambil bangkai kapal perang di Laut Jawa.

Situsweb Fujian Jiada menyebut Pioner 88 dulu bernama Heng Yuan Sheng 101. Tautan itu memang tak menyebut secara gamblang Heng Yuan Sheng 101 adalah Pioner 88. Namun merujuk basis data nomor identitas kapal (IMO), sejak Juli 2014, Heng Yuan Sheng 101 memang berganti nama jadi Pioner 88.

Ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Lin Qiqiang enggan memberikan informasi. “Saya enggak tahu Anda siapa, saya enggak bisa kasih tahu. Sorry, ya,” katanya.

Ia menampik relasi antara PT Jatim Perkasa dan Fujian Jiada. “Saya enggak tahu. Maaf, saya enggak bisa omong apa-apa,” katanya terbata-bata dalam bahasa Indonesia.

Hal sama dikatan Merina. “Kenapa mau tahu? Kamu hubungi saja yang bersangkutan, jangan ke saya,” kata Merina. Ia langsung mematikan telepon saat kami bertanya mengenai “sosok bersangkutan” yang ia maksud.

KBR Benoa 1: Relasi Langsung ke Pemilik Fujian Jiada

Nama KBR Benoa 1 mencuat saat tepergok menjarah bangkai kapal Jepang jenis penjelajah berat IJN Aishigara di perairan Muntok, Bangka Barat, pada awal 2017. Pemilik kapal adalah PT Karya Benoa Raya. Pada akta perusahaan, 85 persen saham dipegang David Lin, warga negara Indonesia, dan sisanya dimiliki Lin Xiang, yang duduk sebagai direktur operasional.

“Tapi bos besarnya Lin Xiang, dia Cina totok,” kata seorang satpam perusahaan kepada reporter Tirto pada 27 Desember 2017. Alamat perusahaan ini di Rukan Mangga Dua Elok Blok A-3, Jl. Dua Abdad, Jakarta Pusat.

David Lin dan Lin Xiang enggan menemui Tirto. Ketika dikonfirmasi lewat telepon, mereka berdalih sedang di luar kota padahal mobil mereka terparkir di depan kantor.

“Orangnya ada, kok, di dalam,” kata satpam perusahaan.

Lewat telepon, David mengatakan perusahaannya baru aktif pada November 2017. Klaim ini dibantah oleh informasi pada situsweb PT Karya Benoa Raya yang mengklaim perusahaan beroperasi sejak 2015. David juga menampik kasus di Bangka yang melibatkan KBR Benoa 1.

“Kurang tahu saya. Yang jelas bukan saya. Anda dapat info dari mana? Kalau dari polisi, tanya saja polisi,” tukasnya.

Jika relasi tongkang-tongkang bercakar sebelumnya sebatas ekspor, KBR Benoa 1 terindikasi dikontrol langsung pengusaha Indonesia yang dekat dengan pemilik Fujian Jiada. Nama pengusahanya adalah Eric Wijaya —yang tak muncul pada akta perusahaan.

Nama Eric populer di kalangan pebisnis Sulawesi Utara pada 2016. Ia membawa maskapai konsorsium asal Fujian, PT Haixing Nickel Smelter, berinvestasi smelter feronikel senilai Rp1,3 triliun di Minahasa. Eric menjabat direktur dan punya 30 persen saham di perusahaan ini. Selain berbisnis peleburan logam, Eric Wijaya juga berkecimpung pada industri perkapalan.

Kantor Eric Wijaya

Kantor perusahaan Eric Wijaya di The Suites Tower, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Tirto/Aqwam Fiazmi

Pada 4 Januari 2018, Tirto mendatangi kantor PT Haixing Nickel Smelter di The Suites Tower, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Rupanya Eric Wijaya memiliki tiga perusahaan lain, yakni PT Damai Lintas Samudera, PT Damai Lintas Bahari, dan satu perusahaan asing bernama Shanghai Arrow Ship Import & Export Co., Ltd.

Selain berkantor di The Suites Tower, tiga perusahaan ini juga mencantumkan alamat, gedung, dan nomor telepon yang sama seperti PT Karya Benoa Raya di Rukan Mangga Dua Elok Blok A-3, Jl. Dua Abdad, Jakarta Pusat.

Jejak Eric di perusahaan-perusahaan itu tak sendirian. Ada juga nama pengusaha Chen Guotong, warga negara China. Nama Chen tercecer di beberapa perusahaan yang dipunyai Eric.

Relasi kedua pengusaha itu dengan Fujian Jiada terlacak dari dokumen kepemilikan Shanghai Arrow Ship Import & Export Co., Ltd. Dokumen ini mencantumkan Eric memiliki 30 persen saham dan Chen 40 persen.

Shanghai Arrow mempunyai perwakilan di tiap wilayah tapi dengan nama berbeda. Di Hong Kong, nama yang dipakai Arrow International Ship Co. Ltd. Di Jakarta, namanya PT Damai Lintas Bahari. Sementara di Fujian, namanya Stella Maris Holding Co., Ltd.

Pada perusahaan yang disebut terakhirlah pertautan dengan pemilik Fujian Jiada terendus. Dalam dokumen kepemilikan saham Stella Maris, perusahaan ini dimiliki juga Huang Maobin, pendiri sekaligus pemilik Fujian Jiada Internastional Shipping, yang merangkap jabatan sebagai manajer umum dan direktur. Di Stella Marris, Maobin menguasai 25 persen saham.

Tirto berusaha mengontak Eric Wijaya untuk mengklarifikasi relasi dan kepemilikan perusahaan. Ketika Tirto berkunjung ke The Suites Tower, manajer pemasaran PT Damai Lintas Bahari, Ruswan, berkata bahwa Fujian Jiada memang berelasi dengan perusahaan tempatnya bekerja.

“Fujian Jiada main di shipyard. Itu milik bos juga,” katanya. Namun saat disodorkan nama Eric Wijaya, ia menampik. “Bukan. Itu bos yang lain.”

Sementara Chen Guotong ketika dikontak reporter Tirto membenarkan bahwa ia kenal dengan Huang Maobin. Saat disodorkan akta kepemilikan saham Stella Maris Holding, ia menjawab perusahaan itu sudah tak aktif lagi.

“Ini dulu saya sama Pak Huang Maobin di Hong Kong. Tapi sekarang sudah enggak jalan dari tahun lalu,” ujarnya.

Soal Fujian Jiada, Chen menjawab: “Itu bukan punya saya. Fujian Jiada punya dia sendiri (Huang Maobin).”

Mengenai kepemilikan KBR Benoa 1, ia menjawab tak tahu. Soal kantor Karya Benoa Raya yang satu gedung dengan perusahaannya, PT Damai Lintas Bahari, ia bilang ia tidak berkantor di sana lagi.

Armada Salvage 8

Relasi Kakak-Adik pada Armada Salvage 8 & MV Laut Lestari

Kapal Armada Salvage 8 sempat memancing emosi nelayan di Kabupaten Lingga, Kep. Riau, pada 2016. Tongkang ini kepergok mengambil bangkai kapal bersejarah di Perairan Tokoli. Kasus ini sempat diusut hingga dibawa ke pengadilan karena melanggar undang-undang pelayaran: nakhodanya divonis penjara 4 bulan dan denda Rp60 juta.

Sesuai data Kemenhub, pemilik Armada Salvage 8 adalah PT Mitra Armada Kirana, beralamat di Jalan Tiang Bendera V No.42-B, Jakarta Barat. Ketika Tirto mendatangi alamat tersebut, perusahaan yang dimaksud ini tidak ada. Pemilik alamat malah PT Pelayaran Syukur Selamat Bersama.

Pengguna gedung bersikukuh mereka di sana sudah lama dan tak mengetahui soal PT Mitra Armada Kirana. Namun kemudian ia mengungkapkan PT Pelayaran Syukur Selamat Bersama berafiliasi dengan perusahaan lebih besar: PT Karya Tekhnik Utama.

Pada akta perusahaan, individu pemilik saham PT Mitra Armada Kirana tak terungkap karena 95 persen saham dipunyai PT Kerajinan Tangan Mandiri. Namun, setelah ditilik siapa pemilik PT Kerajinan Tangan Mandiri, muncul nama Wardono Asnim, pemilik mayoritas 97 persen saham.

Wardono adalah pemilik sekaligus pendiri PT Karya Tekhnik Utama (KTU). Perusahaan ini bergiat dalam industri galangan kapal. Selain beroperasi di Batam, KTU memiliki kantor di Kawasan Berikat Nusantara, Jakarta Utara. Sementara galangan kapalnya di Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara. Dan di pelabuhan inilah, Armada Salvage 8 kerap bersandar.

Ketika kami mendatanginya pada 19 Desember 2017, tongkang bercakar Armada Salvage 8 tengah bersandar di Pelabuhan Marunda. Namun, Taufiqudin, satpam PT KTU, justru membantahnya. “Tidak ada kapal Armada Salvage 8,” ujarnya.

Tetapi ia membenarkan PT KTU dimiliki oleh Wardono Asnim: “Pak Wardono jarang ke sini (galangan), setahun sekali juga enggak.”

Selain Armada Salvage 8, Wardono Asnim memiliki banyak perusahaan yang berpusat di Jalan Kali Besar III, sekitar 900 meter dari Stasiun Kota. Gedung bekas bank ini disulap menjadi kantor pusat yang dimiliki Wardono Asnim: PT Karya Tekhnik Utama, PT Karya Tekhnik Multifinance, dan PT Karya Sumber Energi. Selain itu gedung tersebut juga menjadi kantor PT Dok Pulo Ampel.

Temuan inilah yang mengindikasikan peran Wardono Asnim di MV Laut Lestari. Kapal ini diduga mengambil bangkai kapal perang USS Houston (AS) dan HMAS Perth (Australia) di Selat Sunda.

Data di Kemehub, MV Laut Lestari dimiliki PT Keruk Laut Nusantara. Pada akta perseroan, 99 persen saham dipegang oleh Regar Sugiri. Satu persen sisanya dipunyai Wilopo, saudara kandung Wardono Asnim.

Selama beroperasi, MV Laut Lestari memakai lahan yang dimiliki PT Dok Pulo Ampel sebagai lokasi dumping area. Tempatnya di dekat Pelabuhan Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten. Di lokasi inilah besi dari bangkai-bangkai kapal dicacah menjadi potongan-potongan kecil.

Mansyur Alfarisyi, direktur operasional PT Keruk Laut Nusantara, membenarkan PT Dok Pulo Ampel dimiliki Poniman Asnim, adik Wardono.

“Kalau lahan memang milik PT KTU. Itu punya kakaknya, Wardono Asnim. Sedangkan PT Keruk Laut Nusantara dan PT Dok Pulo Ampel itu milik adiknya, Poniman Asnim,” ujar Mansyur melalui sambungan telepon, 22 Desember 2017.

Sama seperti tongkang bercakar lain yang beroperasi di perairan Asia Tenggara, Fujian Jiada berperan membawa dua kapal milik KTU dari China. Armada Salvage 8 diekspor pada 2015 dan MV Laut Lestari alias Chang Seng 518 dikirim pada 2014.

PT Karya Tekhnik Utama berbasis di Jakarta dan Batam. Pada tautan lain menyebutkan PT Mitra Armada Kirana, yang dimiliki Wardono Asnim, adalah perwakilan Fujian Jiada di Indonesia.

Kami berusaha mengkonfirmasi relasi perusahaan itu dengan Fujian Jiada kepada Wardono: dua kali mendatangi rumahnya di Pluit, Jakarta Utara, dan kantor dia di Jalan Kali Besar III, Jakarta Barat. Tetapi Wardono tak bisa ditemui.

Infografik HL Kapal Perang Termin Dua

Konfirmasi ke Pihak Perusahaan dan Fujian Jiada

Pada 4 Januari 2018, Ricky Sanjaya, orang dekat Wardono, memberikan klarifikasi kepada Tirto saat ditemui di kawasan Kota Tua Jakarta. Semua saham PT Mitra Armada Kirana, katanya, sudah dialihkan ke Ibu Djiu Sie.

“Dijual ke dia sejak Juli 2015. Karena kami bisnis dasarnya adalah galangan kapal,” katanya.

Pengakuan Ricky berbeda dari akta perusahaan yang kami dapatkan: per 13 Juni 2016, saham Djiu Sie tetap 5 persen, sementara mayoritas masih dipegang oleh PT Kerajinan Tangan Nusantara.

Soal temuan Armada Salvage yang sering bersandar di Marunda, ia menjawab: “Dulu pernah, sekarang enggak tahu ke mana. Mungkin sekitar situ. Tapi bukan di dermaga punya kami.”

Ia membantah MV Laut Lestari adalah bagian dari PT Karya Tekhnik Utama. “Itu PT sendiri, bukan kami,” ujarnya.

Mansyur Alfarisyi mengatakan meski PT Keruk Laut Nusantara dan PT Dok Pulo Ampel dimiliki Poniman Asnim, tetapi kegiatannya tak berhubungan dengan perusahaan Wardono, kakak Poniman. “Bukan bagian dari grup, tapi hanya hubungan adik-kakak,” ujar Mansyur

Bagaimana mengenai kerja sama dengan Fujian Jiada?

Ricky membenarkan tetapi kegiatan itu sebatas jual-beli. Armada Salvage 8 memang dibawa dari China lewat Fujian Jiada, kata Ricky. Namun, proses itu hanya satu kali.

Dalam profil Fujian Jiada di situsweb perusahaan, tertulis bahwa “[aktivitas] Jiada tersebar ke seluruh dunia dan mendirikan pusat operasi di Jakarta dan Batam. Kami menjalin hubungan baik dengan ratusan pelanggan dari negara-negara ASEAN dan Jepang, Korea Selatan, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.”

“Kami mengekspor lusinan kapal setiap tahun dan menjadi korporasi terdepan dalam pasar perdagangan kapal secara internasional dari Fujian,” tulisnya.

Konfirmasi kepada Huang Maobin dan Fujian Jiada dilakukan sejak bulan Desember 2017 oleh HK01, media online berbasis di Hong Kong, yang membantu Tirto mengerjakan serial investigasi tentang penjarahan bangka-bangkai kapal. Jiada baru menjawab pada 17 Januari lalu.

“Dia sedang di Iran, sibuk dan tidak bisa dihubungi,” kata Lin Xu Liang, sekretaris Fujian Jiada, saat diminta untuk dihubungkan dengan Huang Maobin.

Xu adalah sekretaris pribadi Maobin. Kepada kami, Xu bersikap berhati-hati dan irit bicara. Ia mengatakan Huang Maobin memintanya untuk tidak memberi tahu tentang rincian bisnis pelayaran yang mereka geluti. “Informasi akan diberikan jika Anda adalah mitra bisnis kami,” katanya.

Kata Xu, Jiada melakukan operasi salvage sendiri. Banyak kapal yang mereka angkat dari dasar laut. Jika beruntung, mereka sering mendapatkan kapal karam dari Perang Dunia II. Kata Xu, eks kapal Perang Dunia II menghasilkan lebih banyak uang daripada bangkai kapal biasa.

“Sulit untuk mengatakan, tapi terkadang kami bisa menemukan kapal perang dan perahu layar kuno seperti yang kita lihat di film" katanya.

Xu juga berkata seringkali perusahaannya mendapatkan harta karun berupa koin emas. "Jika beruntung, kami juga menemukan koin emas. Sulit untuk mengatakan tentang apa yang kami ambil. Jika Anda beruntung menemukannya, Anda bisa menghasilkan uang lebih banyak. Biasanya, memang kami sulit menemukan koin emas. Ini seperti membeli lotere. Anda membeli lotere setiap hari dan bermimpi mendapat jackpot."

Ketika ditanyai apakah Fujian Jiada telah mendapatkan "jackpot", Xu menyeringai. "Nah, itu urusan bos. Kami hanya membantunya mengelola bisnis perusahaan."

Saat ditanya dari mana koordinat kapal karam itu mereka dapat, Xu menjawab hal itu didapat dari relasi bosnya. Ia enggan merinci siapa pemberi koordinat tersebut. Ia bersikukuh Fujian Jiada beroperasi di Asia Tenggara secara legal.

“Kami bekerja dengan persetujuan dari pemerintah setempat,” katanya.

Ketika ditanya soal relasinya dengan PT Mitra Armada Kirana dan operasi mereka di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, ia berkelit sedang sibuk. Selang beberapa detik kemudian telepon ia matikan. Beberapa kali kami mencoba menghubungi lagi, tetapi beberapa kali juga Xu mematikan telepon sampai laporan ini kami rilis.

========

Tim laporan penjarahan kapal

Reporter: Arbi Sumandoyo, Aqwam Fiazmi Hanifan, Mawa Kresna

Penulis: Arbi Sumandoyo, Aqwam Fiazmi Hanifan

Editor: Fahri Salam, Zen RS

Riset: Frendy Kurniawan

Ilustrator: Sabit Teguh Purnomo

Desainer infografik: Muhammad Yudha Dwi Putra

Storyboard: Pandji Putranda

Konten foto dan video: Hafitz Maulana, Riva Aulia Rais, Sandya Windhu Febryas

Laporan ini dibantu oleh The Star (Malaysia), HK01 (Hong Kong), dan wartawan dari Belanda

Baca juga artikel terkait PENJARAHAN KAPAL atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arbi Sumandoyo, Aqwam Fiazmi Hanifan & Mawa Kresna
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam