tirto.id - Dalam empat tahun terakhir, perairan Indonesia dilayari sejumlah tongkang bercakar yang diduga mencuri bangkai kapal-kapal bersejarah. Kami menghimpun nama-nama mereka dan aktivitasnya di dekat kuburan kapal-kapal Perang Dunia II yang sudah raib maupun nyaris tak bersisa.
KBR 1 Benoa dan Penjarahan Bangkai Kapal Ashigara
Syarli Nopriansyah, ketua komunitas selam Emas Diving Club, terkejut dan heran ketika mengetahui bangkai kapal Jepang Ashigara tak utuh lagi. Saat ia menyelam di sekitar perairan Muntok, Bangka Barat, ia menyaksikan kapal penjelajah berat itu rusak. Ia menilai kerusakan itu akibat ditumbuk.
“Sebagian badan dan konstruksi sudah hancur,” katanya kepada Tirto.
Penjarahan ini, menurutnya, diduga terjadi sejak awal 2017. Syarli segera bergerak: merilis informasi perusakan Ashigara ke media dan memaksa pemerintah setempat angkat suara. Dugaan pelaku mengarah pada tongkang bercakar bernama KBR Benoa 1.
“Kapalnya dari Jawa. Pekerjanya mayoritas dari China,” kata Syarli.
Ini bukan kali pertama KBR Benoa 1 tepergok menjarah bangkai kapal bersejarah. Pada 12 Januari 2016, kapal ini tertangkap Direktorat Polair Polda Metro Jaya di perairan Pulau Sebira, Kepulauan Seribu — diduga sedang mencuri Barang Muatan Kapal Tenggelam. Namun, karena aturan pidana Indonesia yang sumir terkait pencurian kapal perang, tongkang seberat nyaris 3.000 ton ini pun lolos.
“Regulasi kita memang masih lemah dalam perlindungan kapal bersejarah. Apalagi status bangkai-bangkai [kapal] ini belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Susah jeratnya,” ujar Zainab Tahir, arkeolog maritim dari Ditjen Pemanfaatan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kami melacak pergerakan KBR Benoa 1, yang dimiliki PT Karya Benoa Raya, dalam kurun dua tahun terakhir. Selain di perairan Bangka, tongkang ini beroperasi di Selat Sunda, Selat Karimata, dan Laut Jawa.
Hasil penelusuran kami diakui Johan, bukan nama sebenarnya, bekas awak kapal KBR Benoa 1. Ia membenarkan rute yang penah disinggahi tongkang tersebut, yang dulunya berbendera China.
“Kalau [beroperasi di] Kalimantan, biasanya kami sandar di Banjarmasin atau Pontianak,” ujar Johan, ABK yang bekerja hampir dua tahun di KBR Benoa 1.
KBR Benoa 1 kerap terlihat di sekitar lokasi bangkai kapal-kapal perang. Di selatan Kalimantan, misalnya, dua kapal Amerika Serikat, USS Pope dan USS Perch, dua kapal Inggris, HMS Exeter dan HMS Encounter, serta dua kapal kargo Belanda, SS Camphuijs dan SS Benkoelen, raib dicuri.
Johan berkata ia “sering melihat” meriam, torpedo, bom atau senjata yang terangkat dari dasar laut. Tapi ia lupa detail lokasi penemuannya. “Soalnya hampir setiap operasi kami nemu itu,” ujar dia.
“Saat diambil sudah hancur, remuk, enggak lagi seperti mirip kapal,” tambahnya lagi.
KBR Benoa 1 terdeteksi memakai area di Pelabuhan Bojonegara milik Pelindo II di Pulo Ampel, Kabupaten Serang, sebagai lokasi penampungan besi bangkai kapal. Kata Johan, tak peduli titik lokasi kapal karam ada di dekat Kalimantan atau Selat Malaka sekali pun, KBR Benoa 1 selalu kembali dan bongkar muat di Banten.
Pencitraan satelit lewat Google Earth memperlihatkan bahwa operasi kapal tersebut di Pelabuhan Bojonegara hanya berjalan setahun, dari awal 2016 hingga pertengahan 2017. Ketika kami mendatangi pelabuhan, Desember 2017, kegiatan pencacahan besi sudah kosong. Hanya ada bekas aktivitas dumping area KBR Benoa 1.
Citra satelit lokasi pengepulan besi KBR Benoa 1 di Pelabuhan Brondong. © Google Earth
Armen Amir, manajer umum Pelindo II Banten, membantah area di sekitar Pelabuhan Bojonegara dipakai sebagai lokasi pengepulan besi hasil aktivitas tongkang salvage. Ia bilang “tidak ada” perusahaan semacam itu yang memakai lahan pelabuhan.
“Kami tidak pernah memiliki perjanjian dengan perusahaan yang disebut itu. Silakan dicerna sendiri makna 'tidak ada'. Silakan baca kamus,” ujar Amir.
Saat disodorkan citra satelit, Amir berkata itu “bukanlah bukti kuat”.
Namun, di lapangan, pemulung besi tua menemukan proyektil dan selongsong peluru, yang diduga dari kapal perang, di dumping area tersebut. Toh, Amir lagi-lagi membantah. “Selama ini banyak yang mengklaim [KBR Benoa 1] bekerja sama dengan Pelindo II. Kami tidak pernah melakukan itu,” tegas Amir.
Seorang pemulung besi tua di bekas dumping area KBR Benoa 1 menemukan proyektil dan selongsong peluru. © Tirto/ Sandya Windhu Febryas
Bantahan serupa dinyatakan David Lin, pemilik saham mayoritas PT Karya Benoa Raya. Saat dikonfirmasi via telepon, David berdalih sedang ke luar kota. Padahal kendaraannya terparkir di depan kantor ketika kami mendatanginya pada 27 Desember 2017.
Lewat telepon, David menolak tuduhan PT Karya Benoa Raya mengambil bangkai kapal bersejarah secara ilegal. Ia berdalih PT Karya Benoa Raya baru saja dibeli dan baru aktif pada November 2017.
Klaim David berbeda dari informasi di situsweb perusahaan, yang menyatakan PT Karya Benoa Raya berdiri sejak 2015. Ia menampik kasus di Bangka dan Kepulauan Seribu melibatkan KBR Benoa 1.
Jejak Pencurian Dongfu 881
Dari perairan Tobali, Bangka Selatan, Kapal Napoleon milik Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan KKP mendapati tongkang berbendera Indonesia, Dongfu 881, melakukan aktivitas ilegal. Kapal ini tertangkap saat lego jangkar, sekitar 4 mil dari Pulau Dapur atau 10 mil dari Selatan Batu Perahu.
Ketika ditangkap oleh KKP, kapal itu berada di area fishing ground, yang menjadi titik lokasi kuburan 11 kapal bersejarah.
Namun tangkapan terakhir ini tak menguatkan KKP untuk memprosesnya secara pidana. Dongfu 881 akhirnya dilepas dan hanya disuruh kembali ke lokasi izin pembersihan alur laut, yakni di Sebagin dan Berikat Bangka Tengah sesuai surat perintah kerja oleh Direktorat Perhubungan Laut (Hubla), Kementerian Perhubungan.
“Sudah kami kembalikan ke Hubla. Itu wewenang Hubla. Soal dibebaskan lagi atau tidak, itu wewenang mereka,” ujar Kori Apriyanto dari KKP Bangka saat dikonfirmasi Tirto.
Penangkapan terhadap kapal keruk oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah kali pertama, tetapi bagi Dongfu 881 adalah kali kedua.
Pada Januari 2016, Dongfu 881 pernah berurusan dengan Bea dan Cukai Pangkal Pinang. Kapal yang diekspor dari Fujian ini disegel karena diduga bermasalah dengan kepabeanan. Tapi penyegelan Dongfu 881 justru dibela Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pangkal Balam. Pembelaan itu dilakukan dengan menyebut kapal ini berdokumen lengkap sesuai izin berlayar dan spesifikasi kapal, serta memiliki surat tanda kebangsaan kapal.
Berdasarkan akta perusahaan, Dongfu 881 dimiliki PT Fujian Yida Shipping yang berkantor di Jalan Mangga Besar Raya No. 148B. Berdasarkan data Kemenhub, perusahaan ini juga beralamat di daerah Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Upaya melakukan konfirmasi menemui jalan buntu. Kedua alamat kantor yang kami datangi ternyata sudah tak ditempati PT Fujian Yida Shipping.
“Sudah disegel lebih dari sebulan lalu. Mereka nunggak,” ucap Syamsudin, petugas pengelola gedung.
Tirto mencoba melakukan konfirmasi kepada Alie Cendawan, pemilik saham mayoritas serta komisaris utama PT Fujian Yida Shipping. Alie berkata “tak mengetahui” pencurian bangkai kapal perang oleh Dongfu 881. Ia juga mengaku bukan lagi pemilik Dongfu 881.
“Enggak tahu karena kapal itu yang atur mitra saya. Dari mana Anda dapat informasi ini?” kata Alie.
Saat ditangkap di Bangka, Dongfu 881 dioperasikan PT Indonesia Bahtera Bahari. Kami mencoba mendapatkan konfirmasi dari perusahaan ini, tapi tidak mendapatkan jawaban.
Menurut data Kementerian Perhubungan, selain menggunakan Dongfu 881, PT Indonesia Bahtera Bahari memiliki kapal tongkang bercakar bernama Thien Li Kong 368.
MV Laut Lestari dan Operasi Salvage di Selat Sunda
Di Desa Pulo Ampel, Kabupaten Serang, tongkang MV Laut Lestari tengah menurunkan muatan potongan-potongan besar besi dan baja bangkai kapal. Sebuah backhoe lalu menyeret besi-besi itu ke area PT Dok Pulo Ampel.
Aktivitas macam itu sudah menjadi rutinitas mereka setiap dua atau tiga minggu sekali. Saat kami datang, MV Laut Lestari baru dua hari aktif beroperasi setelah dua bulan mengalami kerusakan. Dari atas kapal, para pekerja berkewarganegaraan China sibuk mondar-mandir di atas kapal. Aktivitas mereka diatur secara legal melalui Surat Perintah Kerja (SPK) dari Direktorat Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan.
Rekaman pencitraan satelit via Google Earth menunjukkan MV Laut Lestari terlihat kerap beroperasi di perairan Banten sepanjang 2015 dan 2016.
Pada April 2015, MV Laut Lestari ditangkap Ditpolair Polda Banten saat berada di koordinat bangkai kapal perang USS Houston (AS). Polisi curiga MV Laut Lestari sengaja ke lokasi itu untuk menjarah. Tapi MV Laut Lestari dilepas lantaran polisi "tak cukup bukti".
“Mau mencuri, tapi ketahuan, kemudian kami usir,” ujar Ajun Kombes Tri Panungko, Kepala Subdit Penegakan Hukum Ditpolair Polda Banten, kepada Tirto.
Berita yang memuat kejadian itu justru menyebut tongkang milik PT Keruk Laut Nusantara diduga mengambil kapal karam secara ilegal di perairan Banten dengan dalih pembersihan alur laut. Ini dikuatkan penemuan ratusan amunisi di dumping area PT Dok Pulo Ampel. Selain USS Houston, di sekitar perairan itu ada bangkai kapal perang HMAS Perth milik AL Australia.
“Waktu itu mau ambil bangkai-bangkai kapal perang, tapi mungkin yang didapat mortir-mortirnya,” ujar Tri Panungko.
Footage dari berita Kompas TV tentang amunisi di dumping area MV Laut Lestari. YouTube/Kompas TV
Kami meminta pendapat Shinatria Adhityatama, arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional, mengenai temuan ratusan amunisi tersebut. Berdasar material foto yang kami kirim, Adit menduga “agaknya" amunisi itu dari USS Houston”.
Mortir itu, katanya, berjenis BL 6 inch Mark XXIII dan dipakai saat Perang Dunia II. Negara pemakai senjata tersebut saat PD II adalah AS, Australia, dan Belanda.
Namun Mansyur Alfarisyi, direktur operasional PT Keruk Laut Nusantara, mengatakan penangkapan MV Laut Lestari bukan terkait pencurian bangkai kapal perang. Saat ditangkap, kata Mansyur, kapal hanya dicurigai otoritas polisi air lantaran mondar-mandir di dekat koordinat kuburan USS Houston dan HMAS Perth.
“Kami dicurigai karena lewat di daerah itu. Kami punya izin, tapi di daerah lain, tidak di daerah Banten,” ujar Mansyur via telepon kepada Tirto. “Kami sudah diperiksa dan tidak ada masalah.”
Ia menjelaskan penemuan ratusan mortir di kontainer PT Dok Pulo Ampel bukan karena mengangkat bangkai kapal perang milik AS maupun Australia. Tapi mereka melaporkan sendiri ke otoritas setempat setelah mereka mengangkat bangkai kapal lain di sekitar Lampung.
“Kami dapat izin untuk mengangkat kapal di Lampung, dan kebetulan itu bukan kapal yang dilarang,” ujar Mansyur. “Makanya kami serahkan semua ke Ditpolair.”
Armada Salvage 8 dan Penangkapan di Kepulauan Riau
Pada 26 Maret 2016, di perairan Pulau Biru, Kepulauan Riau, 18 awak kapal berkewarganegaraan Tiongkok ditangkap oleh warga setempat. Belasan kru kapal ini melakukan kegiatan ilegal di perairan sekitar: mencuri besi dari bangkai kapal bersejarah di Desa Pulau Batang. Warga geram dan menangkap mereka.
Otoritas setempat mengecek dokumen kapal bernama Armada Salvage 8. Hasilnya, tongkang bercakar ini melanggar izin dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Ia hanya memiliki izin berlayar di perairan Sekupang menuju Galang Batang, yang dikeluarkan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Batam.
Lagi-lagi, seperti dalam kasus Dongfu 881, kejadian yang dialami Salvage 8 pun menyangkut penyimpangan dari rute yang diizinkan.
Penangkapan ini mengantarkan Jemmy Tanukilla, nahkoda Armada Salvage 8, sebagai narapidana. Dua bulan setelah ditangkap, Jemmy divonis 4 bulan kurungan dan denda Rp60 juta karena dianggap melanggar undang-undang pelayaran, bukan kasus pencurian bangkai kapal. Sebanyak 200 ton besi tua yang diangkat Armada Salvae 8 kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
Armada Salvage 8 dimiliki PT Mitra Armada Kirana yang beroperasi di Jakarta. Tirto mencoba mendapatkan keterangan dari pemilik kapal Armada Salvage 8 terkait kasus yang menjerat mereka di Pengadilan Tanjung Pinang. Namun, upaya konfirmasi ini tak membuahkan hasil.
Berdasar data Kemenkumham, PT Mitra Armada Kirana beralamat di Jalan Tiang Bendera V No. 42 B, Roa Malaka, Tambora, Jakarta Barat. Namun alamat ini bukan merujuk alamat perusahaan tersebut, melainkan kantor Yevgeni Yesyurun Law Office.
Yevgeni pernah menjadi pengacara Poniman Asnim, pemilik PT Keruk Laut Nusantara serta MV Laut Lestari. Poniman adalah pemilik PT Dok Pulo Ampel, perusahaan galangan kapal, yang berkantor di Jalan Kali Besar III, sekitar 900 meter dari Stasiun Kota. Gedung ini jadi kantor PT Karya Tekhnik Utama, PT Karya Tekhnik Multifinance, dan PT Karya Sumber Energi. Ketiga perusahaan ini milik Wardono Asnim, kakak Poniman.
Mansyur Alfarisyi mengatakan meski PT Keruk Laut Nusantara dan PT Dok Pulo Ampel dimiliki Poniman Asnim, tetapi kegiatannya tak berhubungan dengan perusahaan Wardono.
“Bukan bagian dari grup, tapi hanya hubungan adik-kakak,” ujar Mansyur.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam