tirto.id - Salah satu korban meninggal dunia pada Aksi 22 Mei 2019--tepat hari ini tiga tahun silam--adalah Farhan Syafero, 31 tahun, warga Grogol, Kota Depok. Laporan reporter Tirto di lapangan: Farhan meninggal terkena luka tembak saat ricuh di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Rabu dini hari, 22 Mei.
Farhan dibawa ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan dengan ambulans. Sopir ambulans yang diwawancarai reporter Tirto di rumah sakit tersebut berkata ia membawa Farhan dari “sekitar Metro Tanah Abang”. Jaraknya cuma satu menit berjalan kaki dari Blok A Pasar Tanah Abang, titik panas kericuhan antara massa dan personel Brigade Mobil Polri pada Rabu dini hari tersebut.
Ketika kami datang ke RS Budi Kemuliaan, seorang warga bernama Abdul Bima, yang menggotong Farhan dari ambulans, mengajak kami ke salah satu Ruang IGD bernama Ruang Resusitasi. Kami menyaksikan Farhan tergeletak sudah tak bergerak di kasur. Pada pukul 4.32, Farhan dibawa dengan keranda besi rumah sakit ke Ruang Jenazah.
Kami menyaksikan saat Muhammad Baharuddin, dokter rumah sakit itu, mengabarkan kepada ibu Farhan bahwa “anak ibu sudah meninggal”. Terdengar jeritan dan tangisan dari ujung suara telepon; beberapa kali suara perempuan meneriakkan takbir.
Fahrul W. Arbi, direktur rumah sakit itu, berkata kepada kami bahwa Farhan tewas oleh luka peluru di bagian leher, tepatnya di bawah jakun.
“Luka tembus ke punggung,” kata dokter Fahrul, 22 Mei 2019, sembari menolak merinci apakah itu peluru tajam atau bukan.
Kami mendapatkan foto Farhan yang memperlihatkan luka peluru di area tulang belikat sebilah kiri. Ada bercak darah kecil di sekitarnya. Wajah dalam foto itu sama dengan sosok yang dilihat reporter Tirto sebelumnya di Ruang Resusitasi.
Karena Dr. Baharudin dan Dr. Fahrul tidak bisa memastikan apakah Farhan terkena peluru tajam atau peluru karet, jenazah dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo. Untuk itulah Dokter Baharuddin menelepon Farida, ibu Farhan, demi meminta izin keluarga.
"Di Cipto mungkin perlu tindakan autopsi dan sebagainya," kata dokter Fahrul kepada Tirto.
Keluarga Korban Menolak Autopsi
Dokter Sumaryono, Direktur Medik dan Keperawatan RSCM, membenarkan Farhan telah meninggal saat dibawa ke RSCM. Tujuan Farhan dikirim ke RSCM, ujarnya, demi “pemeriksaan jenazah”.
Meski begitu, keluarga korban justru menolak jenazah Farhan diautopsi.
M. Syafri Alamsyah, yang mendampingi proses pemindahan anaknya dari RSCM ke rumah duka, menolak autopsi dengan alasan “percuma”.
“Buat apa lagi?” katanya.
(Humas Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Ananto enggan menjawab apakah Farhan tertembak oleh peluru karet atau peluru tajam. Menurutnya, informasi hasil visum lebih baik disampaikan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta.)
Reporter Tirto yang lain sedang berada di kediaman Farhan di Kampung Rawakalong, Kota Depok, pada Rabu pagi sekitar pukul 10.19 saat jenazah tiba. Jenazah dalam keadaan belum dimandikan. Beberapa bercak darah terlihat di ranjang roda yang membawa tubuh Farhan.
Yanti, adik sepupunya, berteriak histeris saat jenazah tiba. Ia menangis meraung-raung. Farida, ibu Farhan, dan neneknya seketika pingsan begitu melihat tubuh kaku Farhan.
Simpatisan FPI & Pendukung Prabowo
Para tetangganya di lingkungan RT 004/RW 007 mengenalnya sebagai “Farhan Arab” lebih karena potongan mukanya memiliki hidung mancung dengan kumis dan janggut tipis.
"Dia suka ikut pengajian. Terakhir ke sini dia jadi imam salat tarawih," cerita Andriani, sepupu Farhan.
Sejak menikah, Farhan tinggal di Cikarang, Bekasi, bersama istri dan kedua anaknya. Ia hanya sesekali berkunjung ke Rawakalong, ujar Anida, kerabat korban.
Menurut beberapa kerabat dan rekannya, Farhan aktif dalam kegiatan pengajian di Majelis Taklim Nurul Mustofa dan simpatisan Front Pembela Islam. Seorang sepupunya memperlihatkan foto-foto Farhan bersama para habib yang diunggah di akun media sosial.
Selain itu, menurut Andriani, Farhan memang pendukung Prabowo Subianto.
Sementara sepupunya yang lain, Mahmud Sofian Hadi, berkata Farhan tak pernah terafiliasi dengan partai tertentu. Kendati dekat dengan Sofian yang aktif di Partai Keadilan Sejahtera, Farhan hanya tertarik dengan kegiatan keagamaan.
“Ia memang simpatisan FPI. Kalau ada acara FPI pasti datang bahkan sampai ke luar kota. Tapi, enggak masuk politik. Dia cuma datang ke majelis zikir,” ujar Sofian.
Farhan bekerja serabutan. Kadang bekerja sebagai sopir ojek online, sopir antar-jemput barang, hingga berjualan baju koko.
"Kemarin sempat nawarin jualan baju koko. Dijual di Tanah Abang," kata Tegar, sepupunya yang lain.
Bukan Tewas di Depan Rumah Rizieq Shihab
Dalam sejumlah pemberitaan, Farhan Syafero disebut "tertembak di rumah Rizieq Shihab". Ada juga artikel yang menulis "Farhan tewas saat jaga rumah Habib Rizieq". Pemberitaan itu berdasarkan keterangan yang digali dari M. Syarif Al Idrus. Artikel-artikel itu memberi kesan bahwa Farhan memang tertembak atau tewas saat mengamankan rumah Rizieq Shihab, pemimpin FPI.
Kami sendiri menulis dalam artikel pendek bahwa Farhan “awalnya hendak amankan rumah Rizieq Shihab” sebelum peristiwa mengenaskan menimpanya.
Kami mewawancarai M. Syarif Al Idrus di rumah duka pada Rabu pagi.
Syarif adalah simpatisan FPI Bekasi yang baru dikenal Farhan beberapa bulan lalu. Mereka bertemu saat menghadiri sidang perdana Bahar Smith di Bandung pada Februari 2019.
"Saya tanya dia pulang ke mana? Kalau ke Bekasi, ya sudah bareng kite aja naik mobil," ujar Syarif.
Syarif mengisahkan bahwa rombongan FPI Bekasi Timur memang berniat bergerak ke Jakarta pada Selasa malam, 21 Mei. Jumlahnya sekitar 20 orang, terdiri dari simpatisan FPI dan warga biasa.
Farhan menginap di kediaman Syarif agar memudahkan mobilisasi. Sekitar pukul 23:00, rombongan mulai bergerak ke Markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat.
“Jadi tujuan kami untuk mengamankan rumah Habib Rizieq. Bukan ke Bawaslu," ujar Syarif.
Pada Rabu sekitar pukul 2 dini hari, saat telah berada di area Petamburan, terjadi aksi ricuh di kawasan Tanah Abang. Syarif berkata ia mendengar “suara tembakan”, suasana kaos, dan saat itulah ia terpisah dengan Farhan.
Sekitar pukul 5 pagi, kala tensi ricuh menurun, Syarif menghubungi Farhan. Namun, yang mengangkat panggilannya adalah pihak keamanan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
"Dia enggak bilang Farhan ketembak. Cuma bilang Farhan jadi korban," imbuhnya.
Ia baru tahu Farhan terkena luka tembak saat tiba di RSCM.
Infografik Mozaik Bolongnya belikat farhan syafero. tirto.id/Sabit Ayah Korban Menolak Autopsi karena Tak Percaya Jokowi
Kini, jenazah Farhan telah dimakamkan di kuburan perkampungan di lingkungan orangtuanya.
Saat kami tiba di rumah duka pada Rabu pagi, ayahnya, M. Syafri Alamsyah berkata “mau” menuntut upaya mencari keadilan atas kematian anaknya tetapi seharusnya bukan “kami yang meminta.”
“Seharusnya misalnya Komnas HAM, kalau bersedia ya tuntun saya [mengusut kebenaran],” ujarnya. “Atau Prabowo, yang katanya dibela anak saya. Anak saya sudah jadi korban.”
Kami berkali-kali bertanya mengapa keluarga korban menolak jenazah Farhan diautopsi—padahal prosedur itu adalah mekanisme penting demi mengungkap kebenaran faktual. Alasan ayahnya, karena “negara ini masih dikuasai kaum zalim”. Ia tidak percaya dengan pemerintahan Jokowi karena “kita enggak akan pernah didengar”.
Kendati begitu, Syafri menuntut kepada “Jokowi, Megawati Sukarnoputri, Moeldoko, dan Menkopolhukam Wirantro harus bertanggung jawab.”
======
Wan Ulfa Nur Zuhra membuat visualisasi pemetaan titik-titik ricuh aksi 21-22 Mei 2019.
Artikel ini sebelumnya pernah terbit pada 24 Mei 2019 dengan judul yang sama. Redaksi melakukan penyuntingan ulang untuk kanal Mozaik.
Penulis: Fahri Salam
Editor: Zen RS