tirto.id - RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, Kamis (23/5/2019) pagi menjadi gambaran mendung wajah orang-orang yang lalu lalang mencari nama anak-anaknya. Kebanyakan dari mereka adalah para ibu yang datang sendirian, atau ditemani anak, maupun suaminya. Rasa panik, sedih, dan letih, tergambar jelas pada raut muka mereka.
Telunjuk Nurhayati menyisir satu-satu nama pada papan pengumuman korban rusuh 22 Mei 2019 yang terpampang di lorong samping RSUD Tarakan. Ada 168 baris yang harus ia cermati untuk menemukan data anaknya, M. Rizki, 16 tahun. Sejak malam kerusuhan, Rizki putus kontak dan tak lagi bisa dihubungi.
Ibu berusia 50 tahun itu bingung, jemarinya sempat berhenti menyusur pada baris nomor 89. Di situ korban bernama 'Rizki' usia 16 tahun tercantum. Namun, statusnya sudah dipulangkan. Sementara anaknya, tak ada kabar dan tak pulang hingga Kamis kemarin.
"Saya lagi kerja, enggak tahu kalau dia pergi. Dia diajak temannya bukber di daerah Thamrin," Nurhayati terisak, tubuhnya sempat limbung, sebelum akhirnya sang suami memapahnya duduk di pinggir tempat tidur rumah sakit.
Rabu (22/5/2019) pagi pukul 09.00 WIB sebelum Nurhayati berangkat kerja, Rizki sempat meminta uang sebesar Rp100 ribu, tapi ia tolak. Anak SMA kelas dua dari Pondok Pesantren di Garut itu tak kehilangan akal, ia meminta ongkos kepada sang kakak, dan berangkatlah Rizki berdua dengan temannya dari Rawa Buntu, BSD.
Nurhayati sudah mencoba menghubungi orangtua dari teman Rizki. Namun, ternyata mereka juga belum menemukan putranya. Info terakhir yang didapat dari teman Rizki, mereka sempat berada di daerah Petamburan.
Namun, Nurhayati yakin, anaknya tak akan dengan sengaja ikut dalam aksi 22 Mei, apalagi sebelumnya ia sempat mewanti-wanti Rizki untuk menghindari jalan-jalan seputaran aksi.
"Dia bilang enggak bakal ke sana, anaknya juga enggak suka rusuh," kata dia.
RSUD Tarakan adalah tempat pertama yang ia sambangi mencari sang anak. Setelah isaknya mulai mereda, Nurhayati bergegas menyusur Jakarta, menuju Petamburan dan rumah sakit lainnya.
Kantuk semalaman tak lagi ia rasa, dalam pikir dan doanya hanya satu ia rapalkan: Keselamatan sang anak.
Data korban rusuh 22 Mei per Kamis (23/5/2019) di RSUD Tarakan tercatat 169 korban. Sebanyak 15 orang rawat inap, 3 orang meninggal, dan sisanya status dipulangkan. Korban-korban tersebut kebanyakan mengalami cedera akibat gas air mata, luka lecet, robek di kaki, luka tembak peluru karet, dll.
Namun, pihak rumah sakit menyebut tidak ada luka akibat peluru tajam.
Dari jumlah tersebut, ditemukan korban anak berusia di bawah 18 tahun sebanyak 40 orang dengan umur termuda 13 tahun berjumlah 2 orang. Sementara pada kategori umur 19-30 tahun, jumlah korban sekitar 105 orang. Fakta yang bikin miris, aksi 22 Mei kemarin melibatkan anak di bawah umur, membikin mereka jadi korban eksploitasi semata.
Rasa was-was tak cuma dirasakan Nurhayati seorang. Ada perempuan lain, Eva (45 tahun), yang perasaannya juga amburadul ketika mencari keponakan, M. Rafli (14) yang hilang sejak Rabu (22/4/2019) pagi.
Rafli bersama Rizki pamit mengaji di daerah Petamburan. Mereka berangkat bersama dari rumah Eva di Kalideres.
"Pulangnya lewat Thamrin, mencar, si Rifki hilang. Aduh namanya anak yatim dia, enggak punya bapak," Eva panik tak mendapati nama keponakannya di papan pengumuman.
Eva tergopoh-gopoh meninggalkan pelataran RSUD Tarakan, entah pergi ke mana lagi mencari Rafli. Eva panik bukan kepalang, hingga gawai untuk berkomunikasi pun luput ia bawa. Pikirannya terpusat hanya pada Rafli, khawatir sang ponakan jadi korban salah sasaran atau terkena gas air mata.
"Rafli itu enggak pegang duit sama sekali, mau pulang gimana caranya."
Pasukan Berani Mati
Saat terjadi kerusuhan, muka-muka garang itu terlihat kontras dengan postur tubuh kecil dan gurat wajah yang belum banyak makan asam garam kehidupan. Umur mereka baru sekitar belasan tahun. Anak-anak di tengah masa aksi seakan jadi pemandangan lumrah selama dua hari belakangan, mulai Rabu, hingga Kamis pagi.
"Turunkan Jokowi."
"Polisi jangan kompetisi."
Mereka membaur, meneriakkan takbir-takbir penyemangat dan berdendang lagu kemenangan Prabowo-Sandiaga. Anak-anak itu belum memiliki hak pilih, tapi narasi yang mereka utarakan telah melampaui batasan usianya. Mereka menolak menerima hasil penghitungan Pilpres 2019 dari KPU.
"2019 ganti presiden!"
Menjelang tengah malam, suasana memanas, bentrok antara masa aksi dan aparat tak terhindarkan. Petasan, batu, kaca, hingga bom molotov digunakan massa aksi untuk menyerang aparat. Tak terkecuali mereka, para bocah yang masih berada di bawah umur.
Saat bentrokan, mereka yang masih berusia belasan tahun itu berada di barisan depan, seakan siap menjadi prajurit berani mati, menamengi masa aksi lain yang menyediakan batu dan alat lempar lainnya dari belakang.
Saat aparat merangsek maju dan menembakkan gas air mata, tak ada rasa takut yang muncul. Anak-anak itu malah terlihat menikmati suasana, mereka tertawa, mengelak, dan menantang perlawanan dari aparat.
"Tembak lagi! Rezim zalim!"
Eksploitasi Anak
Potret anak yang menjadi korban bentrok tak hanya terlihat dari data korban di RSUD Tarakan. Tapi hampir di semua rumah sakit yang menampung para korban, termasuk RS Polri Kramat Jati. Ketua Komnas Ham, Ahmad Taufan Damanik menyebutkan remaja yang menjadi korban didominasi usia 16-17 tahun.
Namun selain menjadi korban, para remaja bawah umur itu ternyata juga turut menjadi penyebab luka para aparat. Bagi Damanik, kondisi psikologis para remaja yang belum matang merupakan celah bagi para provokator untuk memengaruhi mereka berlaku brutal. Singkatnya, anak-anak itu telah dieksploitasi.
"Kami sangat menyesalkan, mereka seharusnya tidak dilibatkan karena itu bukan dunianya," ujar Damanik saat berkunjung di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (23/5/2019).
Damanik belum bisa menyebutkan jumlah pasti anak-anak yang ikut dalam aksi 22 Mei. Ia mengatakan Komnas HAM masih melakukan pendataan.
Sementara itu, menanggapi keterlibatan anak di bawah umur pada aksi 22 Mei kemarin, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono mengatakan kepolisian masih mendalami motif keikutsertaaan mereka. Argo belum mau memberi keterangan mengenai hal tersebut.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Gilang Ramadhan