Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin

Apa saja penyimpangan dan kelebihan politik luar negeri Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin?

Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin
Ilustrasi pidato Sukarno menjelang Trikora. FOTO/Istimewa

tirto.id - Negara Kesatuan Republik Indonesia menerapkan kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari perjalanan sejarah dan bangsa Indonesia dari awal kemerdekaan -termasuk Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)- hingga setelah era reformasi saat ini.

Politik luar negeri merupakan strategi dan pedoman negara dalam melakukan hubungan atau kerja sama dengan negara lain di kancah internasional. Kebijakan politik luar negeri suatu negara sangat ditentukan oleh kebijakan nasional masing-masing pemerintahan.

Prinsip bebas aktif dianut Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya. Prinsip ini pertama kali diperkenalkan oleh Mohammad Hatta dalam pidato "Mendayung antara Dua Karang" yang disampaikan pada sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) di Yogyakarta tanggal 2 September 1948.

Manifestasi Politik Luar Negeri Republik Indonesia

Yumetri Abidin dalam Pengantar Politik Luar Negeri Indonesia (2017) menyebutkan, prinsip dasar politik luar negeri Indonesia telah termanifestasikan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut ini:

  • Indonesia melakukan politik damai.
  • Indonesia menjalin hubungan baik dengan negara lain dengan saling menghargai dan tidak melakukan intervensi atas permasalahan dalam negeri.
  • Indonesia mendukung penuh atas terciptanya perdamaian dunia dengan ikut serta dan aktif dalam organisasi internasional.
  • Indonesia mempermudah pertukaran pembayaran internasional.
  • Indonesia membantu pelaksanaan keadilan sosial secara global yang berlandaskan pada piagam PBB.
  • Indonesia membantu untuk memerdekakan negara-negara yang masih terjajah.

Landasan Politik Luar Negeri Republik Indonesia

Politik luar negeri Republik Indonesia dilandasi dengan landasan idiil, landasan konstitusional, dan landasan operasional.

Berikut ini pemaparan dari tiga landasan tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri:

Landasan Idiil

Pancasila merupakan landasan idiil politik luar negeri Indonesia, maka kebijakan politik luar negeri Indonesia juga harus dijiwai Pancasila dan mencerminkan ideologi bangsa tersebut.

Landasan Konstitusional

Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia telah tersemat pada kutipan alinea 4 Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."

Landasan Operasional

Landasan operasional politik luar negeri Indonesia telah direalisasikan secara dinamis mengikuti perkembangan zaman dan kebijakan masing-masing orde pemerintahan.

Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin diberlakukan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Tap MPRS Nomor VIII/MPRS/1965. Sistem pemerintahan negara saat itu dijalankan secara tunggal oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan.

Adapun kebijakan politik luar negeri Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin yang berlangsung sejak 1959 hingga 1966 cenderung bersifat revolusioner.

Kebijakan tersebut berangkat dari konsep politik NASAKOM (nasionalis, agama, dan komunis) yang digagas oleh Presiden Sukarno. Konsep tersebut kemudan diterapkan baik dalam urusan dalam negeri maupun dalam menjalin hubungan internasional.

Melalui konsep NASAKOM, Presiden Sukarno menganggap kekuatan politik dunia akan didominasi Blok Barat dalam bentuk NEKOLIM (Neo Kolonialisme dan Imperialisme) yang akan menjalankan praktik kolonialisme dan imperialisme baru.

Penyimpangan dan Kelebihan Politik Luar Negeri RI Masa Demokrasi Terpimpin

Dikutip dari Sejarah Indonesia: Dari Proklamasi sampai Pemilu 2009 (2011) yang ditulis A. Kardiyat Wiharyanto, pada prakteknya, kebijakan politik luar negeri Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin condong ke Blok Timur (komunis), baik secara domestik maupun internasional.

Pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) seiring diterapkannya NASAKOM dalam pemerintahan ternyata turut memengaruhi politik luar negeri Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin.

Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif seharusnya tidak memihak Blok Barat maupun Blok Timur, dan seharusnya membantu bangsa-bangsa yang tertindas. Namun, saat itu Indonesia justru cenderung ke Blok Timur (komunis) yang ditandai dengan dibentuknya poros Jakarta-Peking.

Indonesia melalui Poros Jakarta-Peking berupaya menjalin persahabatan erat dengan Republik Rakyat Cina (RRC) yang kala itu merupakan salah satu negara komunis terbesar di dunia selain Uni Soviet atau Rusia.

Kecenderungan berpihak kepada Blok Timur ini bertentangan dengan prinsip bebas-aktif yang seharusnya menjadi kebijakan luar negeri Indonesia.

Selain itu, kebijakan politik luar negeri Indonesia justru menciptakan pembagian dunia menjadi dua kutub, yakni Old Established Forces (OLDEFO) yaitu negara-negara kapitalis yang maju, serta New Emerging Forces (NEFO) yang terdiri dari negara-negara berkembang.

Penyimpangan lainnya, Indonesia juga melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Hal tersebut berangkat dari anggapan Presiden Sukarno terhadap Federasi Malaysia.

Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek Neokolonialisme Imperialisme Inggris yang akan mengancam revolusi Indonesia. Maka dari itu, Presiden Sukarno ingin mencegah berdirinya negara Malaysia dengan mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964.

Terakhir, keputusan Indonesia untuk keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga dinilai sebagai penyimpangan terhadap prinsip bebas aktif.

Keputusan tersebut merupakan respons Sukarno atas diterimanya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB. Maka dalam Sidang PBB, Bung Karno menyampaikan pidatonya yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”.

Meskipun pada Masa Demokrasi Terpimpin menyimpang dari prinsip bebas aktif, namun Indonesia juga mendapatkan beberapa keberhasilan.

Beberapa di antaranya yaitu sebagai salah satu penggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1956, juga sebagai salah satu pendiri Gerakan Non-Blok (GNB) yang merupakan implementasi dari KAA.

Selain itu, pada Masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia juga berhasil merebut Irian Barat (Papua) menjadi bagian dari wilayah NKRI pada 1 Mei 1963.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Iswara N Raditya