Menuju konten utama

Saweran Live Stream: Antara Apresiasi dan Peluang Eksploitasi

Saweran di Live Stream sudah menjadi hal yang lazim. Survei Tirto bersama Jakpat menunjukkan alasannya; dukungan, simpati, hingga mencari pengakuan sosial.

Saweran Live Stream: Antara Apresiasi dan Peluang Eksploitasi
Header Decode Live Stream dan Budaya Sawer. tirto.id/Fuad

tirto.id - Menonton konten live stream telah menjadi semacam candu bagi Bayu Ramadhan (29). Di tengah padatnya rutinitas sebagai karyawan swasta di Kabupaten Bekasi, ia mengaku bahwa live stream merupakan satu-satunya hiburan yang mampu membantunya melepas penat selepas bekerja.

“Berhubung gue suka main game, jadi kebanyakan nonton streamer gamer sih. Kadang ngerasa terhibur aja. Dari pagi sampai malam kerja, kadang gak sempat main game, terus lihat mereka streaming main game secara real time sambil interaksi, itu bisa kasih rasa ikut terlibat dan itu cukup menyenangkan,” ujarnya saat berbincang dengan Tirto, Selasa (29/7/2025).

Fleksibilitas waktu menjadi salah satu alasan Bayu konsisten menonton live stream. Ia yang baru bisa aktif di media sosial saat malam hari, pas dengan jadwal para streamer game, yang umumnya siaran dari malam hingga dini hari.

“Beda sama TV atau acara lain yang semakin malam semakin nggak menarik, streamer game biasanya malah justru mulai live malam. Kadang kita bahkan bisa main bareng sampai pagi. Itu yang gue suka dari live stream, ada komunikasi dua arah dengan kontennya, kita nggak cuma jadi penonton pasif,” tambahnya.

Sebagai bentuk dukungan, Bayu pun tak ragu memberikan gift atau saweran kepada streamer favoritnya. Alasannya sederhana, itu adalah ucapan terima kasih dan agar itu bisa membuat sang pembuat konten lebih semangat dalam membuat konten.

“Pernah beberapa kali (memberikan saweran) tapi gak sering juga sih. Biasanya sepantasnya aja Rp50 ribu-Rp100 ribu, lewat Saweria, terutama buat streamer-streamer yang bagus tapi viewers-nya masih dikit. Biar mereka semangat aja buat bikin konten lagi. Pernah juga nyawer buat donasi, charity gitu,” ujarnya.

Seperti Bayu, masyarakat memiliki beragam alasan dalam menonton siaran langsung (live stream), namun hiburan, pencarian kebutuhan atau barang tertentu, serta ketertarikan terhadap tokoh menjadi tiga alasan utama yang paling banyak dipilih.

Hal ini terekam dalam survei terbaru yang dilakukan Tirto bekerjasama dengan Jakpat pada 29 Juli 2025. Survei yang melibatkan 1.250 responden tersebut juga menjabarkan selain tiga alasan tersebut, ketertarikan terhadap idola atau pelaku siaran live stream jadi alasan menonton tayangan tersebut (35,28 persen). Sementara yang sekadar menghabiskan waktu lewat tayangan langsung tersebut juga tak cukup besar (28,11 persen).

Beri Saweran Praktik Lazim bagi Penonton Live Stream

Bagi penikmatnya, live stream menjadi alternatif hiburan atau menjadi tempat melakukan transaksi jual beli, sementara bagi pelakunya, sarana ini lebih bermanfaat lagi. Munculnya praktik memberikan gift, hadiah, atau saweran kepada menjadi alternatif bagi pembuat konten mendapat saluran pemasukan baru.

Dengan bermodalkan kreativitas, mereka dapat meraup penghasilan dari hadiah virtual yang memiliki nilai tukar, menjadikan kegiatan ini sebagai opsi mata pencaharian sebagian orang.

Contohnya adalah Dea, anak muda yang memanfaatkan live stream untuk menampilkan bakat menyanyinya. Beberapa waktu lalu, Tirto menemuinya saat sedang melakukan live stream di kawasan Banjir Kanal Timur (BKT), Duren Sawit, Jakarta Timur. Dia mengaku senang karena merasa dapat menyalurkan hobi bernyanyi sekaligus dapat meraup penghasilan dari gift yang diberikan penonton.

“Katanya kan kalau dapat gift itu bisa dapat saldo. Aku langsung cek saldo dan aku dapat Rp12.000. Aku senang banget, itu awal banget loh. Akhirnya aku candu, karena kayak hobi jadi kayak ada timbal baliknya. Di hari kedua aku dapat Rp20.000, kayak naik bertahap. Terus setelah dua bulan saldo aku ada sekitar Rp2,5 juta dan aku kayak senangnya minta ampun,” ujar Dea di sela sesi live pada September 2024 lalu.

Survei Tirto bekerjasama dengan Jakpat memang mengungkap bahwa sebanyak 45,12 persen responden penonton live stream mengaku pernah memberi gift/sawer. Jumlah itu dari 1.199 responden yang pernah setidaknya satu kali menonton tayangan live stream.

Paling banyak memang mengaku memberi saweran hanya beberapa kali, tidak reguler (23,10 persen). Menariknya terdapat 1 persen responden yang mengaku melakukannya hampir setiap hari.

Temuan survei Tirto juga mendapatkan kebanyakan yang memberi saweran kepada live streamer, memilih untuk memberikan dalam nominal kecil. Dari 541 responden yang pernah memberi sawaeran, mayoritas memberikan dalam jumlah Rp250-Rp5.000 (1-20 koin di TikTok), setara 55,82 persen responden.

Trennya, semakin besar jumlah saweran, semakin sedikit jumlah respondennya. Menariknya dari responden yang dicari secara acak, terdapat empat orang (0,74 persen) yang mengaku pernah memberi lebih dari Rp50 juta. Menariknya lagi, jika menelaah secara detail, 3 dari 4 responden yang perna memberi saweran lebih dari Rp50 juta adalah mereka yang mengaku setiap hari menonton tayangan live stream.

Dari survei ini Tirto mendapat fakta, meski jumlah penonton live stream yang mengaku pernah memberi saweran cukup tinggi, akan tetapi secara frekuensi tidak intens dan mayoritas masih dalam jumlah yang kecil.

Terkait nilai uang yang diberikan besar untuk streamer, Tirto mencatat di Indonesia, salah satu kejadian yang cukup menonjol. Pada tahun 2025 ini misalnya, melalui kanal youtube @YBRAP, Reza Arap yang menampilkan konten live stream bertajuk “MARAPTHON” pernah mendapatkan gift senilai Rp100 juta oleh salah satu penontonnya.

Namun, mayoritas penonton yang memberikan gift atau saweran dalam jumlah kecil, tingginya jumlah partisipasi tetap terbukti efektif dalam menghimpun dana dalam skala besar. Hal ini terlihat dari aksi Brando Franco Windah, kreator konten dan pemilik kanal YouTube “Windah Basudara”, yang kerap memanfaatkan live stream sebagai sarana penggalangan dana untuk kegiatan sosial.

Pada tahun 2023, ia berhasil mengumpulkan sekitar Rp1,3 miliar hanya dalam enam jam siaran langsung. Seluruh dana tersebut kemudian disumbangkan kepada 26 yayasan, masing-masing menerima sekitar Rp50 juta.

Alasan Sawearan Live Stream: Bentuk Dukungan, Kasihan, Hingga Pengakuan Sosial

Lebih lanjut Tirto juga mencoba menelusuri alasan memberikan gift atau sawer untuk live streamer, mayoritas responden yang pernah melakukan (68,76 persen) menyatakan tindakan tersebut merupakan bentuk dukungan atau apresiasi terhadap sang streamer. Alasan lainnya yang cukup dominan adalah karena iseng atau coba-coba.

Menariknya banyak juga yang melibatkan perasaan, responden yang melakukan sawer dalam rangka donasi ataupun rasa simpati juga cukup banyak. Responden yang mengaku mereka mencari perhatian dari streamer ataupun dari penonton tayangan stream lain juga tak kecil, lebih dari 10 persen.

Dosen Ilmu Komunikasi dan Filsafat di Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, menilai dorongan masyarakat untuk memberikan penghargaan kepada streamer kerap didasari apresiasi terhadap konten yang menarik dan menghibur. Penonton berharap konten serupa bisa terus diproduksi. Selain itu ini juga bentuk dukungan atau apresiasi untuk mempertahankan eksistensi konten tersebut adalah dengan memberikan dukungan berupa gift.

“Ada dialektika antara orang yang memproduksi konten kemudian mereka berlomba-lomba untuk membuat konten yang menarik perhatian. Kemudian dari sisi penonton, ingin tetap mempertahankan apa yang ditontonnya. Nah, itu dipertahankan dengan pemberian gift. Kemudian dari dialektika itu muncul sebuah kelaziman untuk menonton itu, harus ada gift yang diberikan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (29/7/2025).

Senada, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Intan Fitranisa, juga melihat pola yang sama. Menurutnya pemberian saweran adalah bentuk dukungan atau apresiasi penonton terhadap pembuat konten. Meski demikian, terdapat beragam motivasi yang melatarbelakanginya.

“Bisa karena ingin dekat atau sebatas bentuk support ke kreator. Di sisi yang lain, memberi gift juga bisa jadi ajang pengakuan sosial buat penonton karena biasanya yang memberi gift mendapat highlight di dalam komunitas live-streaming sesuai besaran saweran/gift yang diberikan,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (29/7/2025).

Ilustrasi live streaming Vlogger

Ilustrasi live streaming Vlogger . FOTO/iStockphoto

Tekanan sosial dan mencari pengakuan dari komunitas daring

Sementara itu, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, juga menilai norma konformitas sosial turut memainkan peran penting di balik alasan penonton memberikan saweran. Ia menjelaskan, ketika seseorang melihat penonton lain memberi sawer, muncul tekanan sosial implisit untuk melakukan hal yang sama demi menyesuaikan diri dengan norma kelompok.

“Faktor identifikasi dan afiliasi juga tidak bisa diabaikan; banyak penonton merasa memiliki kesamaan nilai, gaya, atau bahkan aspirasi dengan sang streamer, sehingga muncul keinginan untuk menunjukkan dukungan secara simbolik,” terangnya kepada Tirto, Rabu (30/7/2025).

Lebih jauh, Wawan menjabarkan soal pemberian sawer dengan motivasi kebutuhan pengakuan sosial. Dalam konteks ini, penonton ingin membangun citra positif di hadapan komunitas online maupun sang streamer, terlebih ketika nama mereka ditampilkan atau disebut dalam siaran langsung,

“Di mana penonton ingin membangun citra positif di hadapan komunitas online atau streamer itu sendiri, terlebih jika nama mereka muncul atau disebut dalam siaran langsung. Dengan demikian, fenomena saweran digital bukan sekadar soal ekonomi, melainkan cerminan dari dinamika sosial dan psikologis yang kompleks dalam ruang interaksi virtual,” ujarnya.

Fenomena pemberian saweran juga mencerminkan adanya keterikatan emosional dan identifikasi sosial antara penonton dan kreator konten. Saat penonton memberikan sawer sebagai bentuk apresiasi, tindakan tersebut tidak lagi semata-mata ditujukan kepada kualitas konten, melainkan juga merefleksikan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari komunitas.

Streamer dipersepsikan bukan sebagai orang asing, melainkan figur kolektif milik komunitas yang dibentuk lewat interaksi online,” ujar Wawan.

Ilustrasi Host Live Streaming

Ilustrasi Host Live Streaming. (FOTO/iStockphoto)

Rawan Potensi Komodifikasi

Firman dari UI menyoroti sisi negatif dari fenomena pemberian gift atau saweran dalam live stream. Menurut dia ada potensi mendorong praktik eksploitasi.

Dia mengatakan, pemberian gift tidak selalu muncul dari interaksi yang sehat, melainkan dapat menjadi bentuk komodifikasi terhadap hal-hal yang seharusnya tidak layak diperjualbelikan, seperti kemiskinan dan penderitaan.

Ia mencontohkan, dalam sebuah siaran langsung di TikTok, seorang ibu paruh baya diminta mengguyur air ke tubuh mereka untuk mendapatkan bayaran dari penonton. Lebih memprihatinkan lagi, eksploitasi itu dilakukan oleh anaknya sendiri.

“Negatifnya adalah orang memperjualbelikan sesuatu yang tidak layak diperjualbelikan. Jadi kemiskinan, kemalangan orang, bahkan mungkin di live streaming yang lain nanti akan ada orang yang bertengkar yang di-live-kan kemudian mendatangkan penonton dan itu kemudian dijual,” ujarnya.

Ada ketidaklaziman dalam konteks ini. Terutama dalam upaya menanggapi masalah. “Jadi kalau kita lihat orang miskin itu kan harusnya dientaskan, dibantu supaya ringan penderitaannya atau bahkan selesai penderitaannya. Tapi ini menjadi tontonan. Dan yang menjadi tontonan menikmati perasaan menjadi korban atau perasaan menjadi mendatangkan rasa iba,” sambungnya.

Eksploitasi empati untuk keuntungan ekonomi

Penelitian Jatayu, Alfia, dkk. (2023) dari Universitas Gadjah Mada berjudul "Komodifikasi Empati: Eksplorasi Fenomena ‘Ngemis dan Nyawer’ Online di Media Sosial TikTok" menyimpulkan bahwa empati di TikTok telah dikomodifikasi melalui fitur live stream. Rasa empati audiens diubah menjadi keuntungan ekonomi melalui gift digital.

Lebih lanjut, komodifikasi ini dipengaruhi oleh dua faktor:

(1) faktor internal dari audiens, seperti konformitas, dan

(2) faktor eksternal dari pembuat konten, seperti usia, jenis kelamin, penampilan, dan ekspresi dalam video.

Menariknya, penelitian ini menemukan fenomena ‘ngemis’ dan ‘nyawer’ online di TikTok ini mendapatkan respons yang beragam dari masyarakat. Terdapat kecenderungan yang paradoks. Di satu sisi masyarakat merasa kasihan, tetapi di sisi lain mereka tidak setuju dengan konten-konten yang menunjukkan eksploitasi kemiskinan di media sosial

Penelitian serupa dilakukan oleh Bulan, Zahra, dkk. (2023) dari Universitas Gadjah Mada melibatkan 401 pengguna aktif TikTok secara nasional. Hasilnya menunjukkan bahwa 348 responden setuju bahwa gift yang diberikan dalam live streaming menjadi sumber penghasilan bagi para kreator. Namun, 293 orang juga menyatakan bahwa konten sawer online merupakan bentuk eksploitasi untuk memperoleh keuntungan finansial.

Tak hanya itu, riset ini juga mengungkapkan berbagai opini terkait fenomena sawer online yang kian marak. Mayoritas responden, yakni 229-280 orang menyatakan perilaku tersebut merupakan kegiatan yang membahayakan, tidak memiliki perlindungan hukum, memunculkan ketidakadilan, serta tidak bermoral.

Sebelumnya, pada tahun 2023 lalu pemerintah melalui Kementerian Sosial RI (Kemensos) telah mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada pemerintah daerah untuk menindak kegiatan mengemis secara daring di platform TikTok. Hal itu merespons maraknya konten mengemis online di media sosial yang mengeksploitasi lansia.

Dalam surat edaran yang diterbitkan pada 16 Januari 2023 tersebut, para gubernur dan bupati/wali kota diimbau untuk mencegah kegiatan mengemis baik yang dilakukan secara langsung maupun daring di media sosial yang mengeksploitasi kelompok rentan.

Baca juga artikel terkait LIVE STREAMING atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Decode
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto