tirto.id - Alunan nyanyian dari para live streamer (sebutannya) seolah menyambut terbitnya matahari di Banjir Kanal Timur (BKT), Duren Sawit, Jakarta Timur. Satu per satu, mereka bersiap-siap membentuk barisan di trotoar memanfaatkan rindangnya pepohonan yang meneduhkan kawasan tersebut. BKT yang sebelumnya digunakan sebagai area untuk berolahraga atau bersantai oleh warga, kini menghadirkan fenomena baru yang meramaikan suasana. Dari pagi hingga siang, area ini dipergunakan untuk melakukan aktivitas live streaming TikTok.
Di tepi kanal pada trotoar di bawah rindangnya pepohonan misalnya, enam orang berjejer melakukan aktivitas live streaming. Keenamnya kompak menampilkan bakat menyanyinya melalui platform TikTok dengan berbagai gaya dan ciri khas masing-masing. Mengubah cara tradisional beralih ke era digital, fenomena ini cukup menarik perhatian. Di sinilah mereka menemukan cara baru untuk meraup cuan dari sejumlah penonton dalam siaran langsungnya.
Fenomena ini tidak terlepas dari perubahan zaman. Transformasi ke ranah digital, para pelaku live streaming ini seolah menemukan panggung baru. Di mana ruang-ruang fisik seperti trotoar bergeser ke ruang maya. Dengan bermodalkan kreativitas, mereka dapat meraup penghasilan dari "gift" atau hadiah virtual yang memiliki nilai tukar, menjadikan kegiatan ini sebagai alternatif mata pencaharian sebagian orang.
Misalnya Dea, satu-satunya live streamer wanita yang baru aktif melakukan siaran langsung selama dua pekan ini. Dea mengaku, live streaming pada aplikasi TikTok ini sebenarnya sudah dijalankan sejak Agustus 2023. Melalui alat seadanya, awalnya Dea hanya mencoba-coba menampilkan bakat menyanyinya melalui live streaming di rumahnya atas saran dari kakaknya. Merasa senang dengan hasil yang diperoleh, dirinya mengaku keterusan karena merasa dapat menyalurkan hobi sekaligus dapat meraup penghasilan.
“Katanya kan kalau dapat gift itu bisa dapat saldo, aku langsung cek saldo aku dan aku dapat Rp12.000, aku senang banget, itu awal banget loh. Akhirnya aku candu, karena kayak hobi jadi kayak ada timbal baliknya. Di hari kedua aku dapat Rp20.000, kayak naik bertahap. Terus setelah dua bulan saldo aku ada sekitar Rp2.500.000 dan aku kayak senangnya minta ampun,” ujar Dea saat ditemui di trotoar dekat area Banjir Kanal Timur (BKT), Duren Sawit, Jakarta Timur, Jumat (6/9/2024).
Perempuan dengan nama Dea Yuliani ini baru memberanikan diri menjalani live streaming selama dua pekan di BKT berkat dukungan dari streamer yang lain. Dia dan rekan-rekannya biasanya melakukan live streaming dengan rentang waktu dari pukul 06.00 pagi hingga pukul setengah pukul 12.00 siang sambil sesekali menyempatkan untuk sekedar rehat dan makan.
Dea mengaku semenjak dirinya menjalani live streaming di BKT, penonton live-nya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. “Dan jujur, semenjak di luar (BKT) viewers (penonton) aku naik. Itu sebelum viral ya. Aku di rumah paling mentok 30 kalau di sini aku bisa 400. Walaupun masih naik turun,” ujar Dea penuh semangat.
Dea bercerita, penghasilannya dari live streaming ini tidak menentu. Menurut Dea, kunci utama kesuksesan dalam dunia live streaming adalah konsistensi. Meskipun hasilnya tak selalu pasti, ia tetap berusaha tampil setiap hari, percaya bahwa usahanya pada akhirnya akan membuahkan hasil. “Paling gede dalam satu hari nge-live itu berapa jam, ya aku paling gede Rp400 ribu, satu hari itu ya. Sama paling kecil Rp30 ribu. Emang harus konsisten kuncinya,” terang Dea.
Dia kerap kali kesal ketika dirinya dilabeli 'pengemis' oleh akun yang berkomentar pada akun TikToknya. "Oh maaf kita bukan pengemis. Pengemis ibarat kata, tidak modal apa-apa kak. Kita kayak gini (live) itu pakai modal. Enggak cuma-cuma, jadi yang mau kasih silakan, kita pun tidak pernah minta-minta. Kalau ada yang request kalau kita bisa, ya kita bawain lah. Kita karena hobi nyanyi," tegas dia.
Dia bercerita, keputusannya untuk live streaming di BKT itu kini didukung oleh Ibunya setelah sempat ditentang karena dianggap hanya untuk bermain-main semata. "Itu tuh teman-temannya sudah pada sampai lho. Kita kayak disuruh buru-buru berangkat," kata Dea sambil memperagakan Ibunya.
Area BKT yang luas dan terbuka juga menjadi lokasi strategis untuk live streamer seperti Edward. Live streamer asal Cileungsi, Bogor ini rela datang jauh ke BKT. Sebenarnya, dia menyebut dirinya sebagai “Tiktokers Traveler” karena akan melakukan live streaming di tempat yang diinginkan dirinya atau diminta oleh viewers-nya. “Pernah di Lampung, kemarin banget di Bandung, baru pulang tadi malam. Minggu depan ke Lampung lagi terus Palembang,” ujar Edward.
Edo alias Edward, mengaku, baru satu bulan menjalani live streaming di lokasi BKT karena tergiur dengan penghasilan yang dihasilkan kebanyakan orang. Menurut dia, selama orang senang dan dia tidak meminta itu sah saja untuk dilakukan. Dia menyebut gift sebagai bentuk apresiasi dari penonton live.
“Kadang banyak orang ngomong pengemis online, padahal kan kita enggak minta. Tapi kan kalau mereka request, kita bawain (lagu), mereka senang itu bentuk apresiasi dalam bentuk gift,” ujar Edward.
Edward, merupakan live streamer yang sangat aktif dalam menyapa penontonnya. Soal komentar negatif, dia mengaku tidak ambil pusing. Apalagi, menurut dia, penonton pada akun TikTok dia mayoritas merupakan perempuan, dan mereka akan membela dia ketika mendapatkan ujaran menghina dari penonton pada akun tiktoknya.
“Malah unik di rumahku (akun live). Kalau habis live biasanya kelihatan, kalau yang nonton 90 persen wanita. Jadi kalau ada komentar jelek, yang rata-rata dari cowok, langsung diserang sama bunda-bunda (sebutan bagi penonton),” kata Edward sambil menyapa penonton pada akun TikTok dia.
Saat ini, Edward mengaku masih aktif menjadi penyanyi dari panggung ke panggung cafe. Dia menyebut, selain untuk meraup pundi-pundi, platform TikTok juga sebagai sarana untuk promosi dia mempelajari lagu-lagu baru.
“Masih aktif manggung. Jadi kalau kita reguleran di cafe harus banyak menghafal lagu-lagu. Tujuannya live TikTok juga untuk mengulik lagu baru dan belajar, juga latihan. Promosi juga lah, aku kan juga bikin lagu-lagu,” tutur dia.
Sama seperti live streamer yang lainnya, Dea dan Edward juga mengenakan sejumlah alat tempur. Terdapat Soundcard, mic, tripod, powerbank, dan dua smartphone. Keduanya sama-sama membeli alat-alat tersebut dari hasil live streaming agar dapat memberikan kualitas terbaik kepada penontonnya.
Menanggapi fenomena ini, aktivis media sosial dan blogger, Enda Nasution, mengatakan fenomena mencari pundi rupiah melalui platform media sosial ini bukanlah hal pertama yang terjadi. Menurut dia, para pemberi gift biasanya memiliki alasan tersendiri dalam memberikan hadiah kepada para live streamer.
“Itu bukan fenomena yang baru, pasti selalu dan akan ada lagi fenomena yang lain. Dan kalau yang saya perhatikan sih yang menonton dan memberikan gift itu karena suka atau ada juga karena kasihan. Atau biasanya ada yang ganteng ada yang cantik. Ya sah-sah saja,” ujar Enda.
Enda menjelaskan, selama kegiatan tersebut tidak menyalahi aturan dan norma yang berlaku di masyarakat, hal tersebut boleh saja untuk dilakukan melalui fitur live streaming. “Selama dia tidak membahayakan, jangan sampai nanti ada yang mempertaruhkan dirinya sendiri ataupun orang lain, atau menjelek-jelekkan, atau mempermalukan dirinya sendiri atau mempermalukan orang lain, tidak mengemis, adalah hal dan menurut saya sih enggak masalah,” katanya,
Lebih lanjut, Enda mengatakan, fenomena live streaming di BKT merupakan bentuk kreativitas dari para pelaku live streamer. Ini juga sebagai bentuk mempertahankan dan menaikkan jumlah penonton dalam akun TikToknya.
“Jadi ini kan dalam bentuk kreativitas aja, soalnya di kamar doang mungkin tidak terlalu menarik gitu ya karena memang tampilnya. Yang nyaman lah gitu, entah itu pemandangan di belakangnya seperti di BKT itu,” ujar Enda.
Menurut Enda, para live streamer ini, akan lebih baik apabila diberikan arahan dalam bentuk pengetahuan dan pelatihan mengenai platform live streaming. “Mungkin kalau di fasilitasi lebih kayak training atau pengetahuan. Apa sih yang boleh termasuk misalnya ketika ada dapat penghasilan digunakan untuk apa, jangan sampai untuk negatif. Kalau soal tempat saya rasa karena terpaksa (live di tempat umum) dan mereka enggak punya studio,” pungkasnya.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Anggun P Situmorang