Menuju konten utama

Rayuan Influencer Kian Ampuh Jadi Kompas Berbelanja

Survei Tirto-Jakpat menunjukkan influencer berpengaruh besar pada keputusan belanja, terutama anak muda. Konsumen pilih yang konsisten, ahli, dan autentik.

Rayuan Influencer Kian Ampuh Jadi Kompas Berbelanja
Header Decode Tergoda Belanja Kena Rayu Influencer. tirto.id/Fuad

tirto.id - Peran influencer atau pengaruh dalam kehidupan sehari-hari makin luas saja dampaknya. Mereka menggapai masyarakat sampai titik memengaruhi keputusan dalam pembelian produk. Survei yang Tirto lakukan bersama Jakpat menunjukkan mayoritas responden memiliki tingkat kepercayaan yang relatif tinggi terhadap informasi yang disampaikan oleh influencer.

Berdasar penjajakan pendapat, pada 1 Juli 2025, terhadap 1.238 responden (16-45 tahun), sebanyak 59,61 persen responden menyatakan percaya, sementara 6,87 persen lainnya menyatakan sangat percaya terhadap informasi dari pemengaruh.

Temuan ini sejalan dengan hasil survei sebelumnya yang dilakukan oleh konsultan komunikasi Vero bersama YouGov dalam laporan bertajuk “The Impact of Indonesia Influencers” pada Mei 2024. Dalam survei tersebut, 94 persen dari 2.000 responden menyatakan bahwa influencer memiliki peran dalam membentuk perilaku konsumsi dan keputusan pembelian mereka.

"Konsumen semakin menaruh kepercayaan pada influencer, mengandalkan apa yang mereka katakan dan dukung. Hal ini terutama terlihat jelas di kalangan Gen Z, kelompok terbesar di Indonesia, yang menganggap keaslian dan keterhubungan influencer relevan dengan situasi dan aspirasi kehidupan nyata mereka," ujar Claudia Pusung, KOLs and Influencer Relation Manager Vero, seperti yang dikutip dari situs dokumen buku putih tersebut.

Peran influencer dalam memengaruhi keputusan pembelian konsumen juga cukup menonjol, meskipun angkanya tidak dominan. Berdasarkan survei Tirto hampir 4 dari 10 responden menilai influencer memiliki pengaruh signifikan dan sangat signifikan, dalam mendorong keputusan pembelian.

Menariknya, sebagian besar responden, yakni 56,54 persen, berada dalam posisi netral. Ini menunjukan bahwa mereka mungkin menganggap influencer sebagai salah satu dari sekian banyak faktor dalam proses pengambilan keputusan, akan tetapi tidak selalu menjadi faktor utama.

Sebelumnya, survei yang dilakukan Gregory Taslaud bersama media independen dan konsultan brand INSG.CO, juga pada tahun 2025 mengungkap bahwa 62 persen konsumen Indonesia pernah membeli barang atau produk karena direkomendasikan oleh influencer. Temuan yang sama mengungkap bahwa 63 persen konsumen Indonesia memang sengaja mengikuti akun influencer untuk mendapatkan tips sebelum membeli sesuatu.

Sementara itu, laporan riset ”The Power of Influence E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia” yang dirilis Cube Asia dan Impact.com pada 2023 juga memperkuat fenomena ini. Dalam survei terhadap 2.300 responden di enam negara ASEAN, termasuk Indonesia, sebanyak 87 persen konsumen Indonesia (sekitar 400 responden) menyatakan bahwa mereka masih memutuskan pembelian berdasarkan rekomendasi dari influencer atau selebritas terkemuka.

Apa Saja Faktor yang Memengaruhi Kepercayaan ke Influencer?

Survei Tirto merekam mayoritas responden memiliki pengalaman positif setelah membeli produk berdasarkan rekomendasi dari influencer. Sebanyak 72 persen menyatakan cukup puas dan sangat puas, sisanya sebanyak 26,71 persen responden menilai pengalaman mereka biasa saja, tanpa kesan positif maupun negatif yang menonjol. Hanya sebagian kecil, yakni 0,58 persen, yang mengaku kecewa setelah mengikuti rekomendasi influencer.

Meski demikian, survei yang dilakukan Tirto memotret bahwa konsumen tidak serta merta selalu percaya pada semua produk atau barang yang dipromosikan influencer. Mayoritas responden menunjukkan sikap yang selektif. Sebanyak 80,53 persen dari total responden menyatakan bahwa mereka percaya pada pendapat influencer tergantung pada produk yang dipromosikan.

Temuan survei ini menunjukan bahwa sekalipun influencer memiliki pengaruh, konsumen akan tetap mempertimbangkan relevansi dan konteks produk sebelum mempercayai rekomendasi yang diberikan.

Survei Tirto juga merekam poin-poin atau faktor penting yang memengaruhi kepercayaan publik ke influencer. Faktor yang paling banyak dipilih adalah konsistensi. Sebanyak 43,41 persen responden cenderung mempercayai influencer yang konsisten dan tidak sering berpindah produk.

Faktor kedua yang paling banyak disebut adalah keahlian. 41,54 persen responden percaya pada influencer yang memiliki keahlian jelas di bidang tertentu. Disusul, 41,38 persen responden menyatakan bahwa influencer yang terlihat autentik dan jujur menjadi poin penting yang memengaruhi kepercayaan mereka.

Tak Semua Puas dengan Rekomendasi Influencer

Meski berdasar survei, mereka yang puas dengan rekomendasi influencer jumlahnya besar, nyatanya ada saja pembeli yang kecewa. Putri (25) salah satunya. Dia mengaku sekarang dia tidak mudah percaya pada rekomendasi influencer. Ia lebih memilih membeli kebutuhan pribadi seperti produk kosmetik, skincare atau pakaian berdasarkan preferensi sendiri.

“Untuk sekarang aku beli sesuatu karena aku memang butuh dan suka, bukan karena terpengaruh influencer. Kalau merasa cocok, ya aku beli tanpa harus cari referensi atau rekomendasi dari influencer,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Senin (7/7/2025).

Keputusan ini bukan tanpa alasan. Perempuan asal Kota Tangerang Selatan itu tak menampik, dulu sempat menjadi orang yang sangat percaya rekomendasi dari seorang pemengaruh, khususnya yang ia anggap memiliki kredibilitas tinggi. Ia bahkan pernah membeli produk kosmetik karena merasa yakin dengan sosok influencer berpengaruh yang menurutnya tidak mungkin memberikan informasi yang menyesatkan.

Sosok itu merupakan influencer di bidang kecantikan yang telah memiliki jutaan pengikut di media sosialnya. Tanpa ragu, ia pun mencoba produk yang direkomendasikan sang pemengaruh dengan harga yang terbilang tak murah. Sayangnya, pengalaman itu justru menjadi pelajaran. Produk yang direkomendasikan ternyata tidak cocok untuk kondisi kulitnya hingga menimbulkan dampak alergi.

“Bukan salah influencer-nya juga sih. Salah aku yang dulu belum ngerti kalo masing-masing orang punya tipe dan kepekaan kulit yang beda. Pelajarannya, untuk kebutuhan pribadi seperti kosmetik, skincare atau pakaian lebih baik beli yang sesuai sama kondisi dan keinginan kita pribadi," ujarnya.

"Kita bisa kok riset dan cari tahu sendiri tentang produk gak perlu bergantung sama influencer. Karena gak semua yang dipromosiin influencer itu cocok di kita dan jangan beli cuma karena FOMO (Fear of Missing Out),” sambung Putri.

Peran Influencer Penting untuk Ciptakan Urgensi

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), Intan Fitranisa, menilai peranan influencer atau endorser penting dalam menciptakan urgensi dari sebuah hal. Menurutnya, media sosial turut berperan sebagai katalisator yang mempercepat proses tersebut, menjadikan suatu hal mudah viral dalam waktu singkat.

Hal ini disampaikannya mengomentari alasan atau faktor mengapa boneka Labubu bisa viral. Kendati sudah diproduksi sejak tahun 2015 lalu, viralnya Labubu justru baru terjadi setelah Lisa Blackpink mengunggah boneka tersebut di akun media sosial pribadinya.

Unggahan tersebut menjadi pemicu utama meningkatnya perhatian publik terhadap produk tersebut, terutama di kalangan penggemar K-pop dan pengguna aktif media sosial. “Peranan dari endorser, influencer itu penting dalam menciptakan urgensi dari sebuah hal,” ujarnya dikutip dari situs resmi Unair, (25/4/2025).

Terpisah, peneliti Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, menilai influencer, khususnya yang dianggap otentik dan relatable, menjadi figur referensi sosial. Mereka yang memperoleh pengikut karena dianggap mewakili nilai, gaya hidup, atau aspirasi tertentu.

Dalam konteks ini, rekomendasi produk yang diberikan oleh influencer tidak semata-mata dinilai dari kualitas barangnya. Ada dorongan psikologis pengikut untuk menjadi seperti figur tersebut, dengan mengkonsumsi barang yang sama. Mekanisme ini dikenal sebagai identification influence.

“Mekanisme ini diperkuat oleh norma injungtif, yaitu persepsi bahwa pilihan tersebut ‘disetujui’ atau ‘direkomendasikan’ oleh orang yang dianggap penting,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (8/7/2025).

Wawan menambahkan, di tengah arus perkembangan informasi digital yang amat pesat, banyak orang cenderung mengambil jalan pintas kognitif atau heuristic processing. Mereka mempercayai influencer sebagai sumber tepercaya tanpa perlu pertimbangan rasional yang mendalam. Dalam kondisi ini, keputusan pembelian menjadi lebih cepat dan spontan, karena pengikut merasa cukup yakin bahwa pilihan tersebut “aman”, karena sudah divalidasi oleh figur yang mereka percayai.

Yuksel Ekinci, Profesor di bidang marketing dan penjualan dari Universitas Portsmouth dalam studinya berjudul “The Dark Sides of Social Media Influencers: A Research Agenda for Analysing Deceptive Practices and Regulatory Challenges” mengungkap sisi negatif dari pengaruh influencer terhadap konsumen.

“Di satu sisi, sebagian influencer mampu menginspirasi dan menghibur audiensnya. Namun di sisi lain, tak sedikit pula yang justru melakukan tindakan menyesatkan hingga mengecewakan. Praktik penipuan serta dampak negatif yang ditimbulkan terhadap perilaku konsumsi masyarakat menjadi isu penting yang perlu mendapat perhatian serius dan pengaturan yang cermat,” ujarnya dalam penelitian Desember 2024.

Baca juga artikel terkait INFLUENCER atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Decode
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto