tirto.id - Kini, anak muda tidak lagi sepenuhnya bertanya tentang siapa aku, tapi siapa yang melihat atau menonton aku. Di tengah maraknya ruang digital yang menyediakan kesempatan untuk menonton dan ditonton, situasi secara signifikan berubah. Semua itu membawa eksistensi diri berpindah dari kesadaran menjadi tontonan (views). Berlomba-lombalah mereka menghadirkan diri yang berpeluang meraup jumlah penonton sebanyak mungkin.
Inilah yang kemudian menjadi pembahasan utama dari John Suler, seorang profesor psikologi dari Rider University dalam bukunya yang berjudul “The Psychology of the Digital Age (2015)”. Bagi Suler, kehadiran dunia digital mengubah struktur identitas melalui self-presentation yang dikurasi, interaksi parsial, dan validasi instan. Kondisi ini secara khusus didefinisikan Suler sebagai disinhibition effect, kondisi ketika anak muda merancang pesona daring mereka lebih berani dan sering kali lebih ekstrem dari persona yang sebenarnya. Namun, dalam arus disinhibition effect inilah muncul satu gejala sosial yang kian menonjol, yaitu menjadi influencer.
Hadir sebagai influencer telah menjelma menjadi aspirasi kolektif banyak anak muda, hal ini semacam cita-cita modern yang menjanjikan ketenaran, pengakuan, dan pendapatan sekaligus. Dalam kondisi ini, batas antara siapa aku sebenarnya dan siapa aku di depan kamera menjadi kabur, bahkan sering kali hilang sama sekali. Alih-alih menjadi ruang berekspresi bebas, platform digital sering menjadi ladang kompetisi identitas yang brutal, tempat di mana validasi ditentukan algoritma, dan keberhasilan sosial diukur dengan metrik yang dangkal: views, likes, dan followers. Maka, menjadi influencer bukanlah murni pilihan individual, melainkan respons terhadap struktur sosial yang memberi penghargaan pada berbagai metrik digital, bukan pada kedalaman.
Dalam psikologi perkembangan klasik, masa remaja hingga dewasa awal dianggap sebagai periode krusial dalam pembentukan identitas. Erik Erikson (1959) menyebut fase ini sebagai identity vs. role confusion, yaitu masa ketika individu mengeksplorasi berbagai peran dan nilai untuk menemukan jati diri yang sebenarnya. Pada fase ini, pentingnya pengalaman langsung, pencarian makna melalui relasi interpersonal nyata, serta refleksi atas pengalaman hidup menjadi dasar pembentukan identitas yang stabil.
Namun dalam konteks digital kontemporer, proses perkembangan ini mengalami disrupsi. Teori Erikson yang berakar pada pengalaman sosial langsung, kini perlu direvisi melalui lensa teori-teori kontemporer yang menangkap realitas psikososial era digital. Salah satu pembacaan penting datang dari Sherry Turkle dalam Alone Together (2011), yang menunjukkan bahwa dalam budaya digital, anak muda justru mengalami bentuk keterasingan baru, di mana mereka tampak terkoneksi, tetapi sesungguhnya kesepian. Identitas yang mereka bangun adalah hasil negosiasi antara aspirasi personal dan ekspektasi algoritmik, sesuatu yang sering kali saling bertentangan.
Walaupun ketika melihat profesi influencer tampak menjanjikan hari ini, penting untuk memahami risiko psikososial yang ada. Banyak anak muda yang bermimpi menjadi influencer karena melihat kebebasan, popularitas, dan penghasilan yang tampaknya mudah diraih. Namun, realitasnya tak sesederhana itu. Menjadi influencer bukan hanya soal membuat konten kreatif. Ia juga berarti harus terus hadir di ruang digital, tampil menarik, menjawab komentar, menjaga persona, dan bersaing dengan ribuan orang lain untuk sekadar tetap dilihat. Di sinilah muncul tekanan emosional yang tidak sedikit, tekanan untuk selalu terlihat bahagia, produktif, dan sempurna di mata publik.

Beban emosional semacam ini sering kali tidak tampak, tapi dampaknya bisa sangat besar. Banyak influencer pemula merasa lelah secara mental, cemas jika tidak lagi relevan, dan takut kehilangan perhatian. Mereka hidup dalam dunia yang menuntut ekspresi konstan, tetapi tidak memberi ruang yang cukup untuk menjadi diri sendiri. Dalam istilah psikologi, ini disebut sebagai emotional dissonance, kondisi ketika seseorang menampilkan sesuatu yang tak senada lagi dengan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Situasi ini semakin pelik karena dunia kerja influencer bergerak di wilayah yang penuh rintangan. Tidak ada jaminan penghasilan tetap. Tidak ada perlindungan hukum yang jelas. Semua bergantung pada algoritma, tren yang cepat berubah, dan perhatian publik yang mudah berpindah. Hari ini mungkin viral, besok bisa saja dilupakan dalam sekejap. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian ekonomi yang tinggi, sekaligus menumbuhkan kecemasan akan masa depan.
Di sisi lain, semakin banyak anak muda yang menjadikan influencer sebagai cita-cita utama, bahkan mengabaikan jalur pendidikan atau keterampilan lain yang dibutuhkan untuk bertahan di luar dunia digital. Ini bukan semata karena mereka malas atau ingin jalan pintas, melainkan karena mereka melihat bahwa dunia memberi penghargaan besar kepada mereka yang populer.
Namun tentu saja tidak semua hal tentang profesi ini gelap. Banyak juga anak muda yang justru menemukan suara dan keberanian lewat media sosial. Mereka membicarakan isu-isu penting, mengedukasi publik, hingga menginspirasi perubahan sosial. Dalam konteks ini, menjadi influencer bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar pencitraan semata.
Menjadi influencer hari ini adalah gejala sekaligus peluang. Ia tumbuh dari lanskap media yang terdesentralisasi, di mana siapa pun dengan perangkat sederhana bisa mengakses ruang publik, menyuarakan gagasan, dan memengaruhi orang lain. Di tengah ketimpangan ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja formal, profesi ini membuka jalur alternatif yang menarik, sesuatu yang fleksibel, kreatif, dan berbasis pada daya tarik personal. Ini bisa dibaca sebagai tanda positif, di mana munculnya otonomi, keberanian bersuara, hingga pembentukan komunitas daring yang suportif dan progresif.
Pada akhirnya, industri influencer juga bisa menciptakan bentuk-bentuk eksploitasi baru, ketergantungan psikologis terhadap validasi, komodifikasi identitas, dan tekanan untuk terus relevan di bawah kendali algoritma yang tak transparan. Dunia ini memberi panggung bagi kreativitas, tetapi juga menyimpan jebakan-jebakan sunyi secara psikologis seperti kecemasan, kelelahan, dan keterasingan yang tidak mudah dikenali. Jika anak muda hari ini bertanya bukan lagi “siapa aku”, tetapi “siapa yang menonton aku”, maka persoalan ini bukan lagi sekadar tren generasi, melainkan krisis eksistensial yang harus ditanggapi serius.
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id





































