Menuju konten utama

Survei Tunjukkan 66% Masyarakat Ingin Jadi Influencer, Kenapa?

Masyarakat menilai bahwa influencer merupakan peluang karir yang menjanjikan di masa depan. Dengan modal ponsel pintar, siapapun bisa jadi influencer.

Survei Tunjukkan 66% Masyarakat Ingin Jadi Influencer, Kenapa?
Header Decode Siapa mau Jadi Influencer. tirto.id/Fuad

tirto.id - Usaha keras tak selalu sejalan lurus dengan hasil yang mulus. Pelajaran itu yang sekiranya terpatri di benak Ahmad Bayhaqi, ketika perjuangannya mati-matian untuk membuat konten di media sosial (medsos), ternyata tak kunjung viral. Pria 27 tahun yang akrab disapa Ayi itu memang bisa dibilang seorang pembuat konten, alias content creator, di medsos.

Namun, Ayi memiliki rencana untuk jadi seorang influencer atau pemengaruh. Dengan modal followers (pengikut) Instagram yang sudah mencapai hampir 5 ribu, Ayi yakin menjadi influencer merupakan salah satu opsi langkah yang bisa ditempuh untuk meniti karir.

“Membangun authority, lah, kayak gitu. Agar jadi orang yang bisa dilihat secara maya dan nyata, yang penting didengar argumennya dan sebagainya,” kata Ayi kepada wartawan Tirto, ketika ditanya alasannya ingin menjadi influencer, Rabu (2/6/2025) malam.

Ceruk (niche) konten yang Ayi produksi adalah aktivisme-politik, kepemudaan Muslim, serta gaya hidup untuk laki-laki. Semua berawal dari latar belakangnya ketika dulu di kampus dan dari minat pribadinya. Sejak 2019, Ayi rutin mengunggah konten di Instagram pribadinya.

Sebagai seseorang yang ingin merintis jalan sebagai influencer, perjuangan Ayi tak bisa dilihat sebelah mata. Pria yang bertempat tinggal di Kota Bogor itu harus mengeluarkan tenaga dan kocek ekstra untuk memodali aktivitasnya membuat konten.

Demi menunjang proses pembuatan konten yang enak ditonton audiens, Ayi sampai membeli sebuah gawai pintar/smartphone baru. Ayi sampai menyisihkan uang dari gaji pekerjaan hariannya saat ini, sebagai seorang karyawan swasta. Tak hanya itu, untuk membuat sebuah konten video yang biasa dibagikan ke Instagram pribadinya, Ayi pun perlu menempuh perjalanan jauh.

Untuk memproduksi sebuah konten, Ayi biasanya menempuh perjalanan ke Kota Depok dari tempat tinggalnya di Kota Bogor. Perjalanan yang cukup jauh itu mesti diterobosnya demi meminjam alat dan ruangan yang mendukung dalam pembuatan konten.

Alhasil, tak jarang Ayi baru pulang ke rumahnya di Bogor larut malam. Hal itu juga dilakukan sepulang aktivitas pekerjaan harian, sebab pemilik alat dan ruangan yang ia pinjam, hanya bisa saat hari kerja. Sudah begitu, tidak sekali dua kali, konten yang dibuat susah payah itu ternyata tidak berhasil menggaet banyak penonton.

“Gue justru merela-relakan gue pulang malam ke Bogor untuk gue ngedit-ngedit konten gitu karena kan alatnya adanya di Depok. Ya, yang kadang sedih udah susah-susah gitu nggak nge-boom, algoritma berkata lain lah,” terang Ayi.

Membuat konten memang tidak lagi sekadar aktivitas membunuh waktu dan iseng belaka. Saat ini, pembuat konten berlomba-lomba memoles diri di jagat maya untuk mendaku titel sebagai seorang influencer. Influencer tentunya lebih dari sebatas content creator; mereka adalah orang-orang yang mampu mempengaruhi audiens untuk menerima atau melakukan tindakan terhadap informasi/opini yang disampaikan.

Tidak heran, berbagai jenama atau brand memanfaatkan jasa influencer untuk memasarkan produknya ke khalayak. Dari hubungan mutualisme itu pula, cuan bisa mengalir deras ke kantong seorang influencer. Tak heran, profesi influencer saat ini digandrungi anak muda sebagai sebuah pilihan karir.

Hal ini juga tergambar dari riset terbaru yang dilakukan Tirto bersama dengan Jakpat. Hasil survei yang dilakukan Tirto bersama Jakpat pada 1 Juli 2025 ini mengungkap, dari 1.250 responden dengan rentang usia 16-45 tahun, sebanyak 66,48 persen responden mengaku sangat ingin dan tertarik menjadi seorang influencer. Dari temuan tersebut, mayoritas responden yang mengaku ingin menjadi influencer berasal dari kalangan anak muda (20-25 tahun).

Sekilas terkait survei ini, proporsi jumlah responden laki-laki dan perempuan seimbang. Responden juga tersebar di 34 provinsi, walau dominan tinggal di Pulau Jawa. Metode yang digunakan dalam survei adalah non probability sampling dengan instrumen kuesioner daring Jakpat sebagai penyedia platform, dan memiliki margin of error di bawah 3 persen.

Dari total 66,8 persen responden yang memiliki keinginan menjadi influencer, kelompok usia Gen Z paling mendominasi dibandingkan kelompok Milenial.

Responden yang menjawab sangat ingin menjadi influencer mayoritas berasal dari kelompok rentang usia 20-25 tahun (25,81 persen) dan 16-19 tahun (23,03 persen).

Untuk kategori jawaban cukup tertarik jadi influencer, responden dengan rentang usia 20-25 tahun bahkan mendominasi dengan 47,24 persen, dibanding 16-19 tahun (46,06 persen).

Hal ini menunjukkan profesi influencer pada kalangan kelompok usia produktif merupakan salah satu pilihan karir yang semakin digandrungi.

Survei Jakpat juga menunjukkan bahwa minat menjadi influencer semakin menurun seiring bertambahnya usia, karena responden dari rentang usia 30-35 tahun misalnya, hanya 15,85 persen yang sangat tertarik jadi influencer.

Hasil ini senada dengan laporan Morning Consult di Amerika Serikat, dengan temuan bahwa sebanyak 57 persen Gen Z di AS berkeinginan menjadi influencer media sosial. Bahkan 53 persen responden menggambarkan hal tersebut sebagai pilihan karir yang memiliki reputasi baik, yang menggambarkan minat menjadi influencer di kalangan anak muda menjadi suatu fenomena global.

Contoh anak muda yang berkeinginan menjadi influencer adalah pelajar SMA asal Kabupaten Bogor, Tania. Perempuan berusia 17 tahun ini baru akan memasuki jenjang kelas 3 SMA tahun ini. Namun, hasrat untuk membuat konten di media sosial Instagram dan TikTok sudah tumbuh sejak Tania duduk di bangku SMP.

Ilustrasi Influencer

Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

Tania menilai bahwa influencer merupakan peluang karir yang menjanjikan di masa depan. Dengan modal ponsel pintar untuk menyunting konten, ia merasa siapapun kini bisa jadi influencer. Meski demikian, Tania mengaku keinginannya memang masih jauh dari tujuan. Pasalnya, dia menilai, dengan followers di Instagram dan TikTok pribadinya yang masih di bawah angka 5 ribu, masih sulit baginya untuk dilirik jenama ternama.

“Sejujurnya, kalau mau hasilin uang dari influencer ya kerja samanya sama brand yang udah gede-gede, tapi aku masih belum sampai sana deh,” kata dia kepada wartawan Tirto, Rabu (2/7/2025).

Meski beberapa kali mendapatkan tawaran endorsement produk kecantikan, Tania mengaku belum sampai dibayar untuk membuat konten. Sistem yang digunakan adalah barter produk dengan konten di media sosial. Bahkan, tidak jarang Tania sengaja membeli produk tertentu menggunakan uang pribadi demi membuat suatu konten ulasan (review).

“Pasti ada Kak, kalau yang beli sendiri terus di-review, dikontenin. Itu kalau produknya bagus atau lagi viral, bisa ngangkat juga tau konten kitanya. Sisanya kan emang buat dipakai aja,” lanjut dia.

Senada, hasil riset Tirto dan Jakpat turut menunjukkan, responden yang memiliki keinginan menjadi influencer memang melakukan berbagai usaha membangun personanya, mayoritas misalnya belajar membuat konten (79 persen responden). Tapi, tak jarang, 38,75 persen responden survei juga melaporkan sampai membeli produk untuk diulas sendiri, demi jadi influencer.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai profesi influencer saat ini menempati posisi strategis dalam ekosistem ekonomi digital di Indonesia. Tak sekadar pembuat konten, influencer telah menjadi ujung tombak pemasaran produk dan opini, di tengah perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang terpusat pada media sosial.

Menurutnya, kehadiran influencer turut membentuk perilaku pelaku usaha dalam menyusun strategi pemasaran. Influencer juga punya efek dorong bagi perusahaan rintisan dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk memperluas jangkauan pasar dengan lebih efektif dan efisien.

“Saya rasa ini akan menjadi salah satu profesi yang memang banyak dicari oleh generasi muda. Karena sekarang kalau kita lihat untuk iklan, untuk promosi dan sebagainya itu sudah banyak melalui media sosial,” ucap Huda kepada wartawan Tirto, Selasa (1/7/2025).

Ilustrasi Influencer

Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

Karena perkembangan digital yang pesat disertai pola konsumsi pasar yang semakin besar di ranah maya, profesi influencer diprediksi akan terus bertumbuh. Menurut Huda, ini turut didukung berbagai platform yang bisa digunakan influencer mengembangkan beragam jenis konten dengan ceruk (niche) masing-masing.

Huda menambahkan, saat ini kebiasaan orang-orang menonton video pendek di jagat maya menjadi pintu masuk influencer untuk melebarkan sayapnya. Influencer yang dapat menarik perhatian dan retensi banyak audiens, dinilai lebih disukai oleh perusahaan calon klien.

“Saya rasa ke depan masih akan lebih banyak lagi influencer yang datang mungkin bukan dari ibu kota, tapi saya rasa mungkin lebih banyak influencer-influencer yang dia di daerah gitu,” ucap Huda.

Hasil riset Tirto dan Jakpat menebalkan bahwa peluang profesi influencer masih akan hidup ke depan. Pasalnya, dari seluruh responden survei, mayoritas (77,28 persen) mengaku menonton atau melihat konten dari influencer setiap hari.

Tak hanya itu, kebanyakan responden survei (69,39 persen) juga mengaku mengikuti (follow) akun influencer di media sosial. Tipe influencer fashion dan kecantikan (47,26 persen) serta influencer keuangan (45,63 persen) menjadi yang paling banyak diikuti responden di media sosial. Mayoritas responden yang mengikuti influencer fashion dan kecantikan adalah perempuan, sedangkan influencer keuangan, sebaliknya, banyak diikuti laki-laki.

Di sisi lain, responden yang punya keinginan untuk menjadi influencer memang lebih banyak memilih ceruk audiens fashion dan kecantikan sebagai bidang yang akan digeluti. Selain itu, influencer kuliner dan gim juga menjadi yang paling banyak diminati responden.

Posisi Influencer Terbilang Strategis

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melihat banyaknya anak muda yang berminat menjadi influencer bukan merupakan sebuah tren sesaat. Fenomena ini mencerminkan pergeseran struktur pekerjaan era ekonomi digital di Indonesia. Profesi influencer, kata dia, menempati posisi strategis dalam ekosistem ekonomi digital saat ini.

Influencer tidak hanya memproduksi konten hiburan, tetapi berperan sebagai key opinion leader yang memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat. Artinya, lanjut dia, influencer telah bertransformasi menjadi gatekeeper baru dalam rantai nilai ekonomi digital, menggantikan dominasi media massa konvensional.

“Namun, di balik daya tarik profesi ini, terdapat kerentanan struktural yang jarang dibahas,” ucap Achmad kepada wartawan Tirto, Rabu (2/7/2025).

Pasalnya, pendapatan influencer akan sangat dipengaruhi dengan performa konten. Hal ini akan menjadi semakin sulit apabila algoritma platform tidak berhasil disiasati. Alhasil, untuk mendongkrak peluang pekerjaan, seorang influencer harus jeli memilih kanal platform yang paling cocok untuknya.

Mengacu kembali hasil riset Tirto dan Jakpat, mayoritas responden yang berkeinginan menjadi influencer, memilih TikTok dan Instagram sebagai kanal paling menjanjikan.

Ilustrasi TikTok

Ilustrasi TikTok. FOTO/iStockphoto

Tak mengherankan, laporan bertajuk Digital 2025 Global Overview Report, yang diluncurkan We Are Social dan Meltwater menunjukkan, pengguna TikTok di Indonesia pada awal 2025 sebanyak 108 juta akun. Sementara di Instagram mencapai 103 juta akun. Hal ini semakin menebalkan pula peluang influencer di platform TikTok saat ini.

Jam Kerja Fleksibel Jadi Alasan Utama

Menurut ekonom Achmad Nur Hidayat, fenomena anak muda ingin menjadi influencer turut menunjukkan bagaimana ekonomi digital saat ini, menciptakan lapangan pekerjaan baru yang tidak memiliki infrastruktur perlindungan formal. Influencer menjadi pekerja mandiri yang tidak memiliki kepastian upah minimum, jaminan kesehatan, atau dana pensiun.

Merujuk hasil riset Tirto dan Jakpat, mayoritas responden mengaku ingin menjadi influencer utamanya karena jam kerja yang fleksibel, di atas alasan finansial. Namun, masih banyak juga responden juga percaya profesi influencer adalah karir yang menjanjikan secara finansial. Hal itu tampaknya tercermin dari pandangan bahwa influencer mampu membuka peluang kerja sama dengan berbagai jenama ternama.

Namun, Achmad mengingatkan, saat ini regulasi pemerintah Indonesia belum sepenuhnya siap mengantisipasi realitas profesi influencer. Seperti aturan soal pajak serta perlindungan konsumen sebagai pengonsumsi konten-konten influencer. Di Eropa dan Amerika, ungkap Achmad, seorang influencer wajib mencantumkan disclosure ketika mempromosikan produk berbayar, untuk mencegah promosi yang menyesatkan penontonnya.

Achmad memprediksi, profesi influencer akan tetap berkelanjutan dengan model yang terus bertransformasi. Namun akan terjadi seleksi alam, influencer dengan niche market, authenticity (ketulusan) personal, dan kemampuan storytelling yang relevan, yang akan mampu terus bertahan.

Influencer yang hanya mengandalkan gimmick viral tanpa value proposition, jelas akan tersisih dengan cepat oleh algoritma platform dan kelelahan audiens,” terang Achmad.

Baca juga artikel terkait INDEPTH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Indepth
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty