Menuju konten utama

Di Balik Gemerlap Dunia Influencer Indonesia

Awalnya, Tom mulai mencoba mengoleksi berbagai parfum sejak 2019. Ia sendiri telah lama menikmati konten-konten ulasan parfum di YouTube.

Di Balik Gemerlap Dunia Influencer Indonesia
Header Decode Siapa Mau Jadi Influencer. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tom Pradana tak pernah membayangkan pada satu titik dalam hidupnya akan dipanggil sebagai seorang influencer atau pemengaruh. Empat tahun lalu, pria berusia 31 tahun ini mulai menerbitkan konten-konten video ulasan parfum di YouTube.

Awalnya, Tom mulai mencoba mengoleksi berbagai parfum sejak 2019. Ia sendiri telah lama menikmati konten-konten ulasan parfum di YouTube.

Ia merasa terinspirasi untuk melakukan hal serupa di YouTube, dengan niatan awal sekadar menyalurkan hobi, sekaligus melatih kemampuan berbicara di depan kamera. Menurut Tom, ceruk (niche) bidang wewangian amat menarik karena menantang seorang pembuat konten (content creator) untuk mampu mendeskripsikan aroma dan melatih ketajaman penciuman.

“Motivasinya itu dulu sebenarnya, [bahkan] kalau kita ngomongin adsense dari YouTube, kan, source of reward-nya gitu. Cuma memang dulu nggak mikirin ini sama sekali,” kata Tom ketika berbincang dengan wartawan Tirto, Senin (30/6/2025).

Pada akhir 2022, Tom mulai merambah membuat konten di TikTok. Ia mempelajari algoritma dan tren platform itu. Langkah ini juga terinspirasi dari pengalamannya sebagai social media specialist di sebuah agensi. TikTok yang sedang naik daun dianggapnya sebagai medan baru yang wajib dipahaminya sebagai seorang profesional.

Tapi yang terjadi di luar dugaan: akunnya mulai berkembang pesat. Ketika akun TikTok milik Tom mencapai 5.000 pengikut, ia semakin dikenal sebagai influencer parfum.

“Udah bisa dibilang influencer lah itu setelah ada 5.000 followers. Nah berhubung job market juga lagi tidak bagus sama sekali ya, apalagi untuk pekerja kreatif seperti saya gitu, yang dulu kerjanya di agensi, nah jadi saya pikir ini kalau misalnya bisa, saya udah kencengin aja di sosmed,” ucap Tom.

Dalam waktu singkat, akun TikTok milik Tom mampu melesat hampir 30 ribu pengikut. Tapi yang membuatnya menonjol bukan sekadar angka, melainkan pendekatannya. Ia membuat konten informatif dan edukatif bagi audiensnya, termasuk membongkar mitos-mitos di dunia parfum.

@tomspr17

Pake ini cukup 2 spray aja gaes. Semprot di leher, yang wangi sebadan-badan. #parfumviral#nichefragrance#megamare#ortoparisi

♬ Time Stay Here - livang

Akhirnya, pada pertengahan 2024, Tom mengambil keputusan besar: berhenti dari pekerjaan sehari-harinya di agensi, dan memutuskan menekuni dunia pembuatan konten secara penuh.

Kini, hingga akhir Juni 2025, akun TikTok dengan nama @tomspr17 tersebut sudah memiliki pengikut (followers) sebanyak 29 ribu lebih, dan tanda suka (likes) yang dipanen mencapai 795 ribu. Dalam kurun waktu lima tahun menggeluti dunia parfum, nama Tom kini dikenal sebagai influencer parfum yang bukan amatiran lagi. Bahkan, Tom sudah bekerja sama dengan beragam jenama (brand) parfum ternama, dari dalam dan luar negeri.

Awalnya, kerja sama hanya berupa barter: kirim produk, lalu di-review. Tapi, setelah mencapai 5.000 pengikut, Tom menerapkan sistem rate card atau berbayar bagi brand yang ingin bekerja sama. Tom pun menetapkan standar produksi yang lebih tinggi untuk meningkatkan kualitas kontennya.

Kendati begitu, bukan berarti menjadi seorang influencer itu pekerjaan ringan. Hal ini pula yang dirasakan langsung oleh Tom. Tak hanya harus jeli mengatur strategi konten di media sosial, ia juga harus bersaing dengan sesama konten kreator di ceruk yang sama.

Tantangan juga muncul di setiap platform. YouTube, misalnya, menuntut durasi panjang dan perhatian penonton yang stabil—hal yang kini dipandang Tom kian sulit. Instagram, di sisi lain, menuntut estetika visual yang tinggi. Sementara di TikTok, kata Tom, audiens saat ini cenderung lebih impulsif dan kurang sabar pada konten edukatif.

Karena itu pula, Tom melihat profesi influencer yang tengah dijalaninya, lebih sebagai batu loncatan untuk peluang karirnya di bidang parfum mendatang. Sebab, Tom menyadari menjadi seorang influencer tak menjamin karir terus mulus ke depan.

“Jadi sebagai batu loncatan aja di bidang profesional karena saya juga sudah mulai untuk ada rencana membuka bisnis sendiri,” kata Tom.

Ilustrasi Parfum Pria

Ilustrasi Parfum Pria. foto/istockphoto

Profesi influencer atau pemengaruh di Indonesia memang saat ini tidak dipandang sebagai ‘pekerjaan sampingan’ semata. Sudah banyak individu-individu yang mendedikasikan diri berkecimpung di dunia konten untuk menggeluti profesi influencer di media sosial.

Influencer sendiri merupakan individu atau kelompok yang mampu memengaruhi tindakan orang lain. Influencer mampu terlibat di berbagai bidang, termasuk bisnis, edukasi, hiburan, bahkan politik. Salah satu yang banyak digandrungi saat ini salah satunya influencer marketing yang memang memiliki tugas untuk menginformasikan atau mengarahkan audiens untuk membeli produk/barang tertentu.

Berbeda dengan content creator, influencer tak hanya membuat konten, namun juga mesti punya kemampuan untuk mengarahkan audiens kepada informasi yang telah dipersiapkan. Maka, tidak setiap content creator adalah influencer, namun setiap influencer sudah pasti merupakan content creator.

Minat menjadi influencer di Indonesia juga terpantau tinggi. Berdasar laporan HypeAuditor, Indonesia menempati posisi keenam dalam daftar negara-negara dengan jumlah influencer Instagram terbanyak.

Selain itu, diidentifikasi pula bahwa unggahan bersponsor atau diduga kuat disponsori pada media sosial Instagram di Indonesia, cukup tinggi, dengan menempati urutan keempat dari 10 negara.

Masih mengacu laporan HypeAuditor yang terbit tahun lalu, influencer dengan jumlah followers tinggi di Instagram diketahui memiliki rerata bayaran per unggahan tertinggi. Perlu diketahui bahwa influencer sendiri biasanya dikategorikan berdasarkan tingkatan pengikut di akun mereka. Yakni, influencer nano (seribu sampai sepuluh ribu pengikut), mikro (sepuluh ribu sampai seratus ribu pengikut), makro (seratus ribu sampai satu juta pengikut), hingga mega atau top stars influencer (lebih dari satu juta pengikut).

Jadi Pilihan Karir Impian

Menjajal profesi influencer memang semakin digemari oleh kaum muda sebagai pilihan karir. Bahkan, laporan yang dikeluarkan Morning Consult merekam bahwa sebanyak 57 persen Gen Z di Amerika Serikat (AS) ingin menjadi influencer media sosial. Bahkan 53 persen responden menggambarkan hal tersebut sebagai pilihan karir yang memiliki reputasi baik.

Hal tersebut senada dengan hasil laporan global dari IZEA Worldwide yang mendapati sebanyak 49 persen responden rentang usia 18-60 tahun, menyatakan akan meninggalkan pekerjaan tetapnya untuk menjadi influencer media sosial sebagai profesi sehari-hari. Responden dengan rentang umum 18-29 tahun lebih meyakinkan dibandingkan rentang usia lainnya untuk memilih menjadi influencer media sosial.

Namun, menjadi influencer secara penuh bukan pekerjaan mudah. Hal ini juga dituturkan oleh Josefine Yaputri, influencer gaya hidup dan perjalanan, yang punya sekitar 20 ribu pengikut di Instagram. Ia mulai terjun dalam dunia konten, sejak dikenal sebagai seorang blogger ternama sejak 2014 silam.

Dalam penuturannya kepada Tirto, perempuan 33 tahun yang akrab disapa Sefin ini, memang sempat menjadi seorang influencer penuh dan menggantungkan pemasukan sehari-hari dari konten. Namun, hal tersebut ternyata sulit untuk dijaga secara panjang karena dipenuhi berbagai tantangan.

“Aku sendiri sekarang nggak jadiin ini income utama ya. Walaupun sebelum pandemi ini sempat menjadi income utama. Tapi sekarang aku udah nggak, karena aku menyadari kalo aku sendiri belum bisa keep up dengan trend yang ada sekarang, kayak di TikTok harus ada live streaming gitu,” kata Sefin kepada wartawan Tirto, Senin (30/6/2025).

Ia menyadari bahwa persaingan pembuat konten di Indonesia sudah sangat ketat dan berat. Tak hanya itu, Sefin merasa untuk seorang influencer perempuan, punya tantangan tersendiri sebab akan ada para influencer baru yang lebih muda dan menarik banyak audiens.

Menurut Sefin, seperti itu memang gambaran realita persaingan profesi influencer. Bahkan, ia tak jarang mengalami burnout atau merasa insecure ketika merasa performanya di media sosial tak sebaik influencer atau pembuat konten lain.

Dengan begitu, ia sendiri memang saat ini tak sepenuhnya menggantungkan pemasukan dari sosial media sebagai influencer. Meski tetap menerima berbagai tawaran endorse sejumlah produk atau brand, ia saat ini juga rutin menjaga kesehatan mentalnya agar tetap stabil.

Bagi Sefin, profesi influencer bukan pekerjaan yang mudah dan tidak selalu menjanjikan. Namun ia tetap belajar untuk mengatur strategi terbaik menyajikan konten, termasuk mulai merambah TikTok sebagai arena barunya dalam dunia konten.

“Karena memang menjadi influencer atau content creator itu tricky banget karena banyak saingannya, banyak tantangannya dan nggak semudah yang orang lihat, apalagi sekarang anak-anak muda yang mau jadi influencer, content creator,” ujar dia.

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, memandang influencer memang menjadi pekerjaan impian generasi muda. Terlebih karena fleksibilitas pekerjaannya dan kesempatan untuk bekerja sama dengan brand-brand ternama.

Menurutnya, banyak brand saat ini memilih menggunakan jasa influencer sebagai strategi komunikasi pemasaran yang dinilai lebih efektif, terutama dalam menjangkau pasar-pasar terfragmentasi.

Ilustrasi Influencer

Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

Mikro dan nano influencer—dengan pengikut mulai dari ribuan hingga ratusan ribu—menjadi pilihan utama karena tingkat engagement mereka yang tinggi. Menurut laporan dari We Are Social tahun lalu, jumlah uang yang digelontorkan untuk aktivitas influencer di dunia maya di Indonesia mencapai 190 juta dolar AS, meningkat 18,8 persen dari tahun sebelumnya.

Meski begitu, Kunto mengingatkan bahwa tantangan tetap ada, terutama soal ketergantungan pada algoritma media sosial dan perkembangan teknologi digital yang cepat. Ia menyimpulkan, meski job security masih relatif lemah, profesi influencer tetap akan dibutuhkan lima tahun ke depan karena menjadi kanal komunikasi paling efektif hari ini.

“Begitu platform bergeser, cara main juga harus berubah. Influencer harus adaptif. Mungkin ke depan, konten tak cukup hanya dalam bentuk video—bisa jadi harus lebih interaktif dan canggih,” kata Kunto.

Baca juga artikel terkait INDEPTH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Indepth
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty