Menuju konten utama

3 Kunci Influencer Efektif: Kredibilitas, Daya Tarik, Power

Tidak hanya influencer yang sangat besar, micro dan nano influencer juga punya dampak bagi kebiasaan membeli konsumen.

3 Kunci Influencer Efektif: Kredibilitas, Daya Tarik, Power
Header Wansus Syaifa Tania. tirto.id/Fuad

tirto.id - Keberadaan influencer dalam memberi pengaruh bagi keputusan membeli produk kian vital. Ada kesan berbeda ketika mendapat saran produk dari pemengaruh dibanding mengonsumsi iklan konvensional.

Hasil survei yang Tirto bekerja sama dengan Jakpat mengungkapkan, influencer memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap keputusan konsumen dalam membeli produk. Lebih dari 65 persen responden mengaku percaya terhadap pendapat influencer, dengan frekuensi keputusan belanja yang dipengaruhi tergolong tinggi.

Untuk menggali lebih dalam fenomena ini sekaligus mengonfirmasi dan memperkaya temuan survei dengan perspektif akademis, Tirto melakukan wawancara khusus dengan Syaifa Tania, Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Executive Secretary di Center for Digital Society (CfDS) UGM.

Sejumlah hal dibahas dalam wawancara ini mulai dari bagaimana cara kerja influencer hingga mampu memengaruhi keputusan belanja audiensnya, apa yang membuat rekomendasi mereka dianggap kredibel oleh konsumen, hingga pandangan tentang bagaimana tren influencer marketing akan berkembang ke depannya.

Berikut adalah hasil wawancara lengkap antara Tirto dan Syaifa Tania:

Hasil survei kami menunjukkan hanya sekitar 6 persen responden yang tidak menganggap peran influencer penting dalam membeli produk. Mengapa menurut Anda kepercayaan terhadap influencer bisa begitu tinggi di era digital ini?

Ya, jadi betul bahwa memang dari beberapa riset terakhir –yang saya juga baca dari beberapa lembaga– kepercayaan terhadap influencer itu tinggi sekali. Jadi, temuan yang diperoleh dari riset bersama Jakpat, bahwa lebih dari setengah responden yang terlibat dalam pendapatan ini sangat percaya pada influencer itu sesuatu yang memang bisa diprediksi. Memang arahnya ke sana.

Lalu, sebetulannya kenapa kepercayaan terhadap influencer itu bisa tinggi? Alasannya cukup beragam, tetapi jika merujuk secara konseptual, kepercayaan terhadap influencer bisa sangat tinggi karena audiens menganggap adanya autentisitas. Mereka merasa informasi yang disampaikan influencer lebih otentik dibandingkan iklan konvensional.

Dalam iklan tradisional, audiens sejak awal sudah menyadari bahwa pesan tersebut merupakan hasil kerja sama komersial yang dibeli slotnya oleh brand untuk tujuan promosi. Sementara pada influencer, meskipun tetap mengandung unsur promosi, masih ada anggapan dari audiens bahwa sang influencer benar-benar menggunakan produk yang direkomendasikan. Ini yang membuat pesan terasa lebih personal dan meyakinkan, meskipun disadari sebagai promosi, tetap dianggap lebih autentik.

Alasan kedua berkaitan dengan relasi parasosial atau ilusi intimacy. Berbeda dengan iklan dari brand yang bersifat satu arah dan tidak memungkinkan interaksi, komunikasi dari influencer membuka ruang dialog. Misalnya, audiens bisa langsung bertanya, “Beneran, Kak, ini bagus?” dan sering kali mendapatkan respons. Interaksi semacam ini menciptakan kesan kedekatan, seolah-olah mereka berteman. Meskipun hubungan itu tidak nyata, perasaan keterikatan tetap terbentuk.

Selanjutnya adalah faktor homofili, yakni kesamaan nilai atau kondisi antara influencer dan audiens. Misalnya, ketika seseorang memiliki kulit kering dan menemukan influencer dengan kondisi serupa, rekomendasi produk dari influencer tersebut akan cenderung lebih dipercaya karena mereka tadi punya shared value atau shared condition, ada shared interest yang sama, ada homofili di situ.

Yang terakhir adalah social proof. Saat ini, banyak konten di media sosial, baik di feed, story, maupun platform e-commerce, dilengkapi testimoni dari warganet lainnya. Komentar seperti, “Aku udah coba juga, ternyata cocok. Makasih rekomendasinya,” menjadi bentuk validasi tambahan yang memperkuat kepercayaan audiens terhadap influencer dan produk yang ditampilkan.

Apakah ada perbedaan mendasar antara kepercayaan terhadap influencer dengan kepercayaan terhadap iklan konvensional?

Tingkat kepercayaan audiens terhadap influencer dan iklan tentu derajatnya berbeda. Dalam konteks influencer, kepercayaan tumbuh dari adanya interaksi dan keterlibatan (engagement) yang aktif antara influencer dan audiens. Ketika ada ruang untuk saling berkomunikasi, entah lewat kolom komentar, DM, atau Q&A maka informasi yang disampaikan tidak terasa jauh, justru terkesan lebih personal dan meyakinkan.

Berbeda dengan iklan konvensional yang sejak awal sudah jelas merupakan bentuk persuasi dan promosi. Karena sifatnya yang hard selling. Audiens cenderung punya prasangka atau bahkan skeptisisme terhadap pesan yang disampaikan.

Sementara pada influencer, meskipun audiens sadar bahwa konten tersebut adalah promosi, mereka tetap merasa lebih percaya karena melihat bahwa sang influencer benar-benar menggunakan produk itu, punya pengalaman pribadi, dan membagikannya secara natural lewat interaksi dengan followers atau aidens. Maka tingkat kepercayaannya seolah lebih tinggi.

Berbeda dengan kita yang lihat iklan, ‘ah iklan doang, ini pasti promosi, ini pasti hal-hal positif yang disampaikan.’ Nah, itu yang kemudian membuat derajat kepercayaan yang akan berbeda.

Dari sisi ilmu komunikasi apa saja tipe-tipe utama yang membentuk persepsi kredibilitas bagi seorang influencer itu?

Secara konseptual, ada tiga atribut utama yang sangat berpengaruh dalam membentuk efektivitas seorang influencer, yaitu: kredibilitas, daya tarik (atraktivitas), dan power atau kekuatan pengaruh. Power dalam hal ini adalah kemampuannya dia untuk menjangkau audiens, bisa dalam bentuk reach-nya atau kemudian kedekatannya dengan audiens sehingga dia dipercaya.

Kredibilitas menjadi faktor yang paling kuat. Kredibilitas ini terbentuk dari dua elemen utama, yaitu trustworthiness (apakah ia dapat dipercaya) dan expertise (apakah ia memiliki keahlian di bidang yang dibahas). Jadi kalau dia bisa dipercayadan dia dianggap expert di bidang itu,maka kredibilitas ini bisa terbentuk.

Trustworthiness berkaitan dengan persepsi audiens terhadap kejujuran dan integritas influencer, soal presepsi audiens terhadapapakah influencer ini bisa dipercaya atau tidak.

Kemudian, expertise tentu berkaitan dengan pengalaman yang dimiliki influencer. Apakah dia punya background pengalaman atau pendidikan yang memang relevan di bidang tersebut? Atau kemudian dia juga konsisten untuk terus membahas bidang tertentu, misalnya. Nah, ini juga, kalau kita lihat, bisa dicontohkan lewat sejumlah kasus.

Contohnya, ada influencer yang dikenal luas karena memberikan ulasan jujur dan konsisten tentang produk tertentu, bahkan sampai menciptakan label seperti “approved” untuk menandakan rekomendasi yang terpercaya. Nah, itu merupakan salah satu contoh bagaimana kredibilitas ini terbentuk karena tadi: dia bisa dipercaya menurut audiens, dan juga dia dianggap expert di bidang tersebut.

Apakah kredibilitas ini lebih bersifat "persona" atau bisa dibentuk secara strategis oleh agensi/brand?

Kredibilitas sebenarnya sangat mungkin untuk dibangun, tetapi tentu saja tidak bisa terjadi secara instan. Prosesnya membutuhkan waktu dan konsistensi. Saat membahas kredibilitas, kita perlu membedakan antara kredibilitas individu, seperti influencer, dan kredibilitas yang dibentuk oleh brand atau agensi, karena pendekatannya berbeda.

Kalau misalnya kita membicarakan soal kredibilitas individu misalnya, influencer, atributnya akan cukup beragam. Tidak hanya dari apakah kita bisa percaya atau tidak, tetapi juga track record dari si influencer ini sendiri. Misalnya, tadi, konsistensinya terhadap bidang yang di-influence ini, atau kemudian juga apakah dia cukup transparan dalam menyampaikan ulasannya, begitu.

Sementara, kalau kita membicarakan soal kredibilitas yang dibentuk dari agensi atau dari brand, ini tentu terkait soal reputasi dari brand itu sendiri. Apakah brand-nya itu memang punya pengalaman yang baik dengan publik, atau kemudian ada stigma-stigma tertentu yang dilekatkan; kemudian kualitas produknya sendiri juga seperti apa, kualitas pelayanannya seperti apa, kemudian customer handling-nya seperti apa. Jadi, sebetulnya kredibilitas bisa dibangun, tetapi pendekatannya berbeda dan itu tidak bisa dilakukan begitu saja.

Lebih dari seperempat responden mengaku sering membeli karena influencer. Apa yang membuat konten influencer begitu efektif dalam mendorong tindakan?

Saya mengamati bahwa melalui media sosial, sering kali orang-orang menjadi tertarik setelah melihat ulasan suatu produk. Mereka mulai bertanya, kemudian tertarik membeli. Kita bisa lihat contohnya di kolom komentar, seperti: “Aku jadi check out nih gara-gara lihat ulasan ini.”

Dari aspek konten, hal yang menarik dari seorang influencer adalah gaya promosinya. Gaya penyampaian pesannya cenderung berbentuk storytelling dan report talk. Ini jelas berbeda dengan iklan konvensional yang biasanya bersifat sangat hard selling.

Sementara itu, ulasan dari influencer cenderung lebih bercerita, menyampaikan pengalaman secara naratif, dan memberikan penjelasan yang lebih detail. Misalnya, mereka bisa menjelaskan urutan pemakaian produk: “Oke, dari rangkaian produk ini, cara pakainya A-B-C-D-E,” dan seterusnya.

Selain itu, mereka juga sering memanfaatkan berbagai fitur interaktif yang memungkinkan terjadinya percakapan dengan audiens terkait produk yang sedang diulas. Hal ini membuat kontennya terasa lebih personal dan membangun kepercayaan.

Dengan begitu, audiens tidak hanya mendapatkan informasi tentang keunggulan produk seperti “Oke, ini highlight-nya bagus,” tetapi juga mendapatkan cerita, pengalaman, dan informasi tambahan lainnya. Elemen-elemen ini membuat minat terhadap produk menjadi lebih tinggi.

Kemudian, ini juga kadang-kadang menggunakan banyak fitur yang memungkinkan dia ngobrol juga dengan audiens terkait soal barang yang diulas. Sehingga secara konten, ini memungkinkan audiens lebih tertarik, lebih percaya, karena mereka tidak hanya mendapatkan aspek positif seperti, “Oke, ini highlight-nya bagus,”

Tetapi ada informasi lain, cerita lain, storytelling lain yang kemudian disampaikan, sehingga itu membuat minat audiens lebih tinggi terhadap produk tersebut.

Apa risiko atau sisi gelap dari hubungan ini (misalnya manipulasi, misleading promotion)?

Sebetulnya, ketika kita bicarakan risiko, tentu pasti ada risikonya. Kalau kita boleh lihat, sebetulnya salah satu risiko utamanya terkait soal transparansi informasi.

Jadi, kalau dalam praktiknya yang sering saya lihat di dalam beberapa ulasan influencer kadang-kadang informasi yang disampaikan itu tidak transparan, tidak menyebutkan bahwa itu merupakan sebuah promosi, kerja sama dengan brand, apakah itu sponsorship, paid partnership, atau lain sebagainya.

Padahal, ketika itu adalah konten yang sifatnya sponsored atau kemudian endorsed, kalau saya nggak salah, dari Etika Pariwara Indonesia itu juga perlu menyebutkan bahwa harusnya ada keterangan. Jadi, perlu ada tagar, misalnya #ads atau #sponsoredcontent, dan lain sebagainya.

Sehingga ini bisa membantu audiens untuk lebih kritis menerima atau lebih aware bahwa konten ini merupakan sebuah konten promosi. Yang kemudian, kadang-kadang, nggak banyak ditemukan di dalam ulasan-ulasan yang dilakukan oleh influencer.

Kemudian, kemungkinan bahwa dari sisi expertise justru muncul deceptive practice, misalnya misleading claim, atau khususnya untuk produk-produk yang efeknya personal, misalnya produk-produk skincare, yang mungkin buat si A itu hasilnya berbeda, si B juga berbeda, tetapi seolah-olah digeneralisasi dan diterima mentah-mentah saja.

Kemudian, aspek lain adalah virality versus quality, tentu saja. Kayaknya orang-orang itu cenderung lebih memilih produk yang viral dibandingkan memperhatikan kualitasnya. Padahal, ini juga perlu diperhatikan. Dan tentunya, satu hal yang cukup menjadi concern adalah bagaimana professional expertise ini juga akhirnya kalah dengan viralitas.

Jadi, ada produk-produk, mungkin yang kategorinya itu membutuhkan pengalaman profesional atau bidang pendidikan yang lebih spesifik, tetapi pengetahuan dari para expert ini, karena tidak sepopuler influencer, maka orang justru lebih percaya pada apa yang disampaikan oleh influencer tersebut. Padahal, mungkin expertise-nya tidak di bidang itu.

Apa yang sebaiknya dilakukan oleh konsumen agar tetap kritis dalam menerima rekomendasi influencer?

Saya setuju bahwa konsumen, sebagai individu, perlu memiliki sikap yang lebih kritis dalam menerima pesan dari influencer. Literasi periklanan menjadi aspek penting yang perlu kita gagas sebagai bagian dari literasi digital secara keseluruhan.

Ada beberapa poin penting dalam literasi periklanan yang patut dicatat. Pertama, adalah kemampuan audiens untuk secara kritis mengenali dan memahami keberadaan pesan komersial dalam sebuah konten.

Sering kali, ketika seorang influencer mengulas suatu produk, tidak selalu ada penjelasan eksplisit bahwa konten tersebut merupakan bagian dari kerja sama atau partnership. Inilah yang perlu disadari oleh audiens: apakah konten tersebut memuat pesan komersial? Apa maksud dari pesan itu? Apakah ingin menjual, membujuk, atau sekadar menginformasikan? Lalu, seperti apa bentuk taktik persuasinya?

Kemudian, dalam dimensi literasi moral, kita juga bisa melihat, misalnya, terkait persepsi audiens terhadap substansi pesan yang disampaikan. Dalam hal ini, kita perlu mempertanyakan apakah pesan yang disampaikan oleh influencer dapat diterima secara etis dan relevan dengan kapabilitas atau keahlian si influencer. Apakah pesan tersebut datang dari sumber yang kompeten, atau justru sebaliknya?

Kemudian yang ketiga adalah dimensi sikap atau attitude, yang berkaitan dengan kemampuan evaluatif audiens. Artinya, audiens perlu mengembangkan sikap skeptis yang sehat terhadap informasi yang diterima. Tidak serta-merta langsung percaya, tetapi melakukan evaluasi terlebih dahulu

Setelah itu akan ada follow-up: “Oke, saya akan langsung beli produknya” atau, “Saya akan mencari informasi lebih lanjut” atau, “Saya cari dulu testimoni dari pengguna lain, bukan hanya dari satu orang saja.”

Jadi, kemampuan untuk menyadari pesan komersial itu seperti apa, nature-nya di sana. Kemudian, apakah substansinya itu acceptable atau tidak? Valid atau tidak? Trustworthy atau tidak? Kemudian yang ketiga adalah sikap evaluatif terkait skeptisme terhadap substansinya dan mengevaluasi kebenaran informasi itu tidak hanya dari satu sumber, tetapi dari multi-sources.

Bagaimana sebaiknya brand atau pelaku bisnis memanfaatkan influencer secara etis dan bertanggung jawab?

Kalau menurut saya, memilih influencer dengan track record yang baik, kemudian punya value dan latar belakang kredibilitas yang sesuai dengan produk dan brand-nya, itu juga menjadi poin yang penting.

Kemudian, hal lain yang juga bisa dilakukan, sebetulnya, dari sisi brand atau pelaku usaha adalah memanfaatkan kerja sama dengan influencer secara etis dan bertanggung jawab, termasuk dengan memandatkan influencer untuk melakukan labeling konten secara transparan. Jadi, bukan hanya dari pihak influencer saja, tetapi brand juga punya tanggung jawab di situ.

Namun, kalau kita melihat dari sisi yang lebih luas lagi, sebetulnya ini juga bukan hanya perlu dilakukan oleh brand dan pelaku bisnis saja tetapi menurut saya, platform juga bisa ambil peran di situ.

Platform bisa punya peran, misalnya dengan menggunakan mekanisme penandaan konten yang sifatnya merupakan periklanan atau sponsorship. Jadi, bagaimana mekanisme penandaan kontennya dari pihak platform? Itu juga perlu diperjelas. Artinya, ini tidak hanya melibatkan brand-nya saja, influencer-nya saja, tetapi juga platform bisa turut ambil peran di situ.

Apakah Anda melihat tren influencer marketing ini akan semakin besar, atau justru menuju kejenuhan dalam waktu dekat?

Kayaknya, kalau saya lihat dalam beberapa studi yang dilakukan oleh berbagai sumber, tren ini nampaknya masih belum akan hilang. Karena, minat masyarakat dan kepercayaan masyarakat terhadap influencer cukup besar. Tetapi, boleh jadi cara kerja promosinya yang berbeda.

Jadi, tetap ada, tetapi cara kerjanya yang akan berubah, terutama karena perkembangan teknologi digital dan taktik komunikasi pemasaran yang juga akan terus berkembang dari waktu ke waktu.

Misalnya, dengan adanya teknologi AI dan algoritma platform yang sekarang ini memungkinkan hyper-targeting atau personalized content, konten yang masuk ke FYP saya bisa berbeda dengan teman-teman lainnya. Sehingga, boleh jadi, komunitas utama yang menjadi sasaran bukan lagi berdasarkan jumlah followers, tetapi kesesuaian atau alignment, matching-nya, antara konten yang disampaikan influencer dengan preferensi saya.

Kemudian, saya juga melihat saat ini masih sedikit yang menggunakan, tetapi ke depannya bisa saja menjadi tren, yaitu terkait soal AI virtual influencer. Sekarang itu juga mulai muncul. Jadi, influencer-nya bukan lagi hanya manusia, tetapi juga AI-based virtual influencer.

Satu hal lagi yang saya lihat cukup bergeser adalah popularitas micro dan nano influencer yang semakin besar. Jadi, kalau dulu konten-konten dari influencer dengan jumlah followers sangat banyak, mega influencer atau macro influencer—itu menjadi pilihan utama, sekarang micro dan nano influencer juga mulai banyak dipilih.

Mungkin dalam beberapa brand, mereka tetap menggunakan mega atau macro influencer untuk membangun awareness agar masyarakat lebih terpapar dengan produk. Tetapi, keputusan pembelian justru lebih kuat diberikan oleh micro dan nano influencer yang lebih kecil jangkauannya, namun memiliki relatability yang lebih tinggi.

Yang kedua adalah soal attainability, kemungkinan untuk menjangkau atau keterjangkauannya lebih mungkin. Kalau mega atau macro influencer, atau selebriti secara umum, itu kan seolah-olah terasa jauh dari masyarakat, dengan gaya hidup yang berbeda, buying power yang berbeda, dan sebagainya.

Tetapi kalau yang digunakan adalah micro atau nano influencer—yang mungkin ada di sekitar kita, dengan karakteristik yang mirip, atau gaya hidup yang ditampilkan di media sosialnya terasa dekat dengan publik—maka publik merasa lebih attainable, atau lebih mampu menjangkau gaya hidup tersebut.

Nah, ini yang kemudian membuat micro atau nano influencer saya rasa nantinya akan lebih banyak digunakan atau lebih kuat dampaknya dalam membantu konversi ke penjualan. Meskipun tentu saja, macro influencer masih tetap berperan dalam aspek membangun awareness terhadap produk atau brand yang ditampilkan.

Baca juga artikel terkait INFLUENCER atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - Decode
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto