tirto.id - Pemanfaatan Influencer atau pemengaruh dalam upaya pemasaran kian krusial di era digital. Efek promosi yang mereka berikan bisa mengangkat nama produk berkali lipat. Sejumlah riset meyakini, di Indonesia, praktik pemasaran menggunakan jasa pemengaruh juga akan terus naik, setidaknya sampai lima tahun ke depan.
Hal ini setidaknya berlaku bagi Regina Andrianie (29). Sebagai seorang wiraswasta, dia meyakini bahwa kehadiran influencer merupakan salah satu elemen krusial dalam mendorong pertumbuhan usaha di era digital saat ini.
Baginya, yang berbisnis produk kosmetik dan perawatan tubuh, tujuan utama menggunakan jasa influencer bukan semata untuk mendorong penjualan, tetapi lebih kepada membangun kesadaran jenama (brand awareness) dan meningkatkan engagement di media sosial.
Kepada Tirto, ia bercerita telah lebih dari lima kali bekerja sama dengan influencer dalam berbagai kampanye promosi. Ia bahkan mengalokasikan anggaran khusus, kadang sampai 60 persen dari total operasional yang digunakan untuk memakai jasa influencer. Hasilnya pun bervariasi, beberapa kampanye berhasil mendorong kenaikan penjualan dan jumlah pengikut di media sosial, meski ada juga yang tidak memberikan dampak signifikan.
“Berhasil atau enggak biasanya tergantung, apakah market kita sesuai sama si influencer itu. Makanya, biasanya gue research dulu, analisa dulu. Kalau misalnya oke nih, sesuai sama market bisnis kita, baru gue pakai (jasanya) gitu,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (8/7/2025).
Berdasarkan pengalamannya sebagai pelaku bisnis, peran pemengaruh masih sangat penting dalam mendongkrak penjualan dan perkembangan bisnis. Ia juga menyoroti bahwa meskipun tren pemasaran digital kini juga berkembang ke arah afiliasi (affiliate) dan iklan berbayar (ads), namun strategi itu belum bisa menggantikan peran influencer.
“Tetap konsumen lebih percaya, misal sama omongan Nagita Slavina yang sudah terkenal, dibanding sama orang biasa kayak gue misalnya. Jadi, menurut pengalaman gue, gak bisa kita cuman ngandelin affiliate atau ads doang karena selama ini yang gue rasain bisnis tetap yang paling ngaruh tuh kalo lo pake influencer,” sambungnya.
Masyarakat Anggap Pemengaruh Sebagai Role Model
Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, influencer kini memainkan peran yang sentral dalam membentuk perilaku berbelanja konsumen di Indonesia. Survei yang Tirto lakukan bersama Jakpat menunjukkan, 59,61 persen responden mengaku kepercayaan mereka terhadap informasi yang dari para influencer. Bahkan, hampir empat dari sepuluh responden mengakui bahwa influencer memiliki pengaruh signifikan dalam memengaruhi keputusan pembelian mereka.
Bahkan menurut laporan riset Cube Asia, berjudul ”The Power of Influence E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia”, sebanyak 87 persen konsumen Indonesia (sekitar 400 responden) menyatakan bahwa mereka masih memutuskan pembelian berdasarkan rekomendasi dari influencer atau selebritas terkemuka.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Intan Fitranisa, mengatakan di era digital saat ini, pemengaruh telah berkembang menjadi figur publik yang juga dianggap sebagai panutan (role model). Mereka punya kelebihan karena punya kedekatan dan keterhubungan (relatable) dengan konsumen.
Lebih jauh, Intan menyebut kepercayaan yang terbangun antara konsumen dan influencer sangat berbeda dibandingkan dengan iklan konvensional.
Pada iklan tradisional seperti yang biasa ditemukan di televisi atau media massa, komunikasi bersifat satu arah. Brand atau jenama sebagai pihak dominan yang menyampaikan pesan secara langsung kepada konsumen. Dalam struktur ini, konsumen cenderung pasif dan hanya menjadi penerima informasi.
“Berbeda dengan iklan atau promosi. Yang dilakukan influencer, mereka membangun kepercayaan konsumen dengan menciptakan persona dan storytelling dari narasi kehidupan sehari-hari mereka. Itu (alasan) kenapa promosi yang dilakukan oleh influencer seringkali lebih emosional dan personal bagi konsumen,” sambungnya.
Berapa Peluang Balik Modal dari Pemasaran Influencer?
Survei yang dilakukan Gregory Taslaud bersama media independen dan konsultan brand INSG.CO, menunjukkan minat kuat terhadap belanja jasa influencer. Para pelaku bisnis dan jenama di Indonesia akan mengalokasikan lebih dari 257 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk budget iklan melalui influencer pada tahun 2025, berdasar informasi laporan itu.
Dengan proyeksi tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 9,81 persen, nilai pasar influencer diprediksi meningkat secara signifikan hingga mencapai 410,85 juta dolar AS pada tahun 2030. Pesatnya pertumbuhan ini mencerminkan kepercayaan yang tinggi dari pelaku industri terhadap efektivitas strategi pemasaran influencer.
Laporan yang sama menyebut bahwa sejak tahun 2017, belanja iklan melalui influencer meningkat tajam dari 26,97 juta dolar AS menjadi 223,79 juta dolar AS pada tahun 2024. Naik sebesar 729 persen dalam kurun waktu kurang dari satu dekade.
Salah satu alasan kuat di balik meningkatnya minat merek terhadap pemasaran melalui pemengaruh adalah potensi pengembalian investasinya yang tinggi. Gregory dalam laporan yang sama menjabarkan, di Indonesia, rata-rata kampanye influencer marketing dapat menghasilkan Return on Investment (ROI) atau balik modal hingga 11 kali lipat.
Kondisi ini juga didukung oleh pesatnya pertumbuhan jumlah kreator konten dan pengguna media sosial di Tanah Air. Data dari Statista menunjukkan di Tanah Air terdapat sekitar 45.000 influencer di platform Instagram dengan jumlah pengikut antara 10.000 hingga 50.000 akun. Selain itu, terdapat sekitar 160 akun media sosial yang masing-masing memiliki lebih dari 10 juta pengikut di berbagai platform.
Perubahan Pola Konsumsi Informasi
Peneliti bidang Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Rani Septya, menyebut keberadaan influencer turut membentuk ulang lanskap bisnis di era ekonomi digital. Jika sebelumnya iklan banyak ditemukan di media tradisional seperti televisi, saat ini media sosial menjadi kanal utama yang dimanfaatkan oleh berbagai merek.
Menurutnya, perubahan ini didorong oleh evolusi pola konsumsi informasi generasi muda yang lebih banyak mengakses media sosial dibandingkan menonton televisi. Selain karena dominasi penduduk usia muda dalam struktur demografi, penetrasi internet yang semakin meluas juga mempercepat peralihan strategi pemasaran ke ranah digital, khususnya melalui influencer.
“Bersamaan dengan itu, platform e-commerce pun sekarang sudah banyak meniru platform media sosial. Misalnya ada short video dan live streaming di e-commerce,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (9/7/2025).
Pentingnya Literasi Masyarakat Sebagai Konsumen
Ke depannya, Intan dari Unair meyakini tren pemasaran menggunakan jasa influencer masih akan terus berkembang. Meski seiring berjalannya waktu, ia juga mengingatkan bahwa konsumen saat ini semakin cerdas dan sensitif terhadap konten-konten promosi yang terlalu agresif atau tidak otentik.
“Tapi brand juga harus menyadari bahwa makin hari konsumen juga makin peka dan pintar. Konsumen tahu konten influencer mana yang terkesan terlalu ‘jualan’. Sehingga influencer yang otentik dan konsisten dalam membangun interaksi organik dengan pengikutnya, dialah yang akan bertahan dan menjadi rujukan bagi konsumen,” ujarnya.
Dari sisi masyarakat, sebagai konsumen, Intan menyoroti sejumlah risiko yang patut diwaspadai dari semakin berkembangnya tren influencer marketing ini. Salah satu yang paling sering terjadi adalah praktik manipulasi dalam konten promosi.
“Contohnya, ada influencer dengan level trust yang cukup tinggi dari konsumen. Ketika dia me-review suatu produk, kecenderungan konsumen akan langsung percaya apa yang dia katakan karena menganggap itu rekomendasi pribadi. Ternyata di kemudian hari diketahui produk yang di-review belum punya izin edar resmi dari pemerintah,” ujarnya memaparkan studi kasus.
Untuk menghindari hal itu, ia menekankan pentingnya masyarakat selaku konsumen untuk memiliki kemampuan literasi media yang baik. Dengan begitu, mereka akan kritis dengan apapun yang ditampilkan atau disampaikan oleh pemengaruh.
Selain itu, ia menekankan bahwa konsumen juga perlu memahami kalau influencer itu juga salah satu bentuk profesi atau pekerjaan di era digital. Sehingga tidak selalu konten yang disajikan oleh influencer murni opini pribadi tanpa kepentingan merek.
“Seringkali kita akan temukan influencer dengan kemampuan storytelling yang bagus, membuat konten awalnya seperti pengalaman pribadi, tetapi di ending-nya jualan. Jadinya soft-selling dan itu sah-sah saja selama tidak manipulatif dan overclaimed,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, Rani dari CELIOS menilai pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan yang mengatur soal transparansi bahwa influencer memang dibayar untuk mempromosikan produk. Perlu ada disclaimer bahwa mereka memang dibayar untuk itu. Sehingga konsumen tidak merasa tertipu.
“Selanjutnya adalah, perlindungan konsumen di mana dengan penyebaran informasi yang masif, konsumen harus dilindungi dari informasi yang bersifat misleading misalnya. Kemudian pemerintah juga perlu menguatkan literasi digital masyarakat,” pungkasnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id





































