tirto.id - Andi Hendra, mahasiswa angkatan 2015 Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar, memilih mogok membayar uang kuliah tunggal (UKT) untuk semester ganjil paruh kedua 2020. Alasannya adalah problem mendasar yang kini dihadapi keluarga-keluarga Indonesia selama pandemi COVID-19.
Angga—panggilan akrab Andi Hendra—juga harus mencari pekerjaan sampingan. Ayahnya meninggal pada 2014, ibunya, yang tinggal di Jakarta, masih menanggung kedua adik Angga yang kini sudah kuliah. Angga tak mau lagi membebani ibunya. Biaya UKT dia Rp5 juta.
“Biar ibu lebih fokus saja biayai kuliah mereka,” kata Angga.
Angga mengikuti seruan Aliansi Mahasiswa Unhas, gerakan kolektif mahasiswa lintas fakultas, yang memboikot membayar UKT. Aliansi menilai pejabat Unhas tak punya inisiatif meringankan biaya kuliah di saat ekonomi keluarga mahasiswa tergerus pandemi.
Abdurrahman Abdullah, yang panggilan akrabnya Ammang, dari Aliansi mengatakan telah mendesak kampus agar menggratiskan UKT bagi seluruh mahasiswa sejak awal Juli 2020. Aliansi minta bertemu beberapa kali dengan Rektor Dwia Aries Tina Pulubuhu, tapi minim respons.
Unhas sebetulnya telah merilis tiga kali kebijakan keringanan UKT pada 24 Juni, 2 Juli, dan 6 Juli. Namun, ketiga kebijakan ini memiliki seabrek syarat dalam prosedur penurunan ataupun penyesuaian golongannya sehingga”kawan-kawan keberatan,” menurut Aliansi. (Tirto mendapatkan salinan ketiga surat keputusan Rektor Unhas ini.)
“Dampak pandemi terkena untuk semua orang, tidak pilah-pilih. Lagi pula, kondisi force majeure seperti ini, kami tidak membayar secara normal,” kata Ammang.
Angga termasuk yang terjegal oleh syarat keringanan UKT itu. Dalam SK Rektor 24 Juni, kampus akan memotong UKT 50% untuk mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir di semester sembilan. Syarat ini tak mungkin terpenuhi Angga, yang sudah semester sebelas.
“Intinya, kebijakan rektor tidak bisa dirasakan semua mahasiswa,” kata Angga.
Sementara kampus percaya diri dengan kebijakannya, dan tetap memberi tenggat pembayaran UKT untuk semester ganjil pada 14 Agustus, sebaliknya, Aliansi menggaungkan aksi mogok membayar UKT. Aliansi juga menggalang jajak pendapat, yang sampai 11 Agustus mengklaim ada 3.613 mahasiswa sepakat dan 275 mahasiswa tidak sepakat mogok.
Kampus, di sisi lain, mengeluarkan kebijakan perpanjangan pembayaran UKT pada 19 Agustus. Landasannya, “masih terdapat sejumlah kurang lebih 3.000 mahasiswa yang belum melakukan pembayaran UKT/SPP.” Artinya, pejabat-pejabat Unhas paham jika ada ribuan mahasiswa mogok bayar UKT.
Pada hari yang sama, Aliansi Mahasiswa Unhas merilis naskah kajian berjudulKertas Posisi Aliansi Mahasiswa Unhas Terhadap Akses Pendidikan Tinggi. Dalam naskah itu, Aliansi menyebut 79 persen mahasiswa dari 14 fakultas berkata tidak sanggup membayar UKT di tengah pandemi.
Selain itu, Aliansi mengolah perhitungan bagaimana seharusnya pemerintahan Joko Widodo bisa menggratiskan biaya UKT ke seluruh mahasiswa Indonesia, yang total APBN di ranah pendidikan mencapai Rp508 triliun. Aliansi juga menaksir bagaimana Unhas bisa menggratiskan biaya UKT untuk semua mahasiswa.
Aliansi menuding, dalam kondisi pandemi, pejabat Unhas tetap menjalankan proyek pembangunan Training Center dan Hotel tahap satu Rp33,4 miliar dan Student Center Fakultas Teknik tahap dua Rp6,4 miliar.
Ammang menilai baik pejabat Unhas maupun pejabat pendidikan nasional bisa memprioritas mahasiswa dan bisa menganggarkan pendidikan tinggi secara gratis, “tapi, lagi-lagi, tidak ada yang diprioritaskan dan tidak ada political will ke arah sana.”
Di Universitas Udayana, Bali, situasinya serupa. Badan eksekutif mahasiswa, dalam pertemuan dengan Rektor Anak Agung Raka Sudewi pada 5 Juni, menuntut UKT golongan I dan II digratiskan, serta UKT gol. III, IV, dan V dipotong 50%.
I Gusti Ayu Ari Meltriana, salah satu anggota pemerintahan mahasiswa Udayana, bercerita pada pertemuan itu rektor semula menolak tuntutan mahasiswa. Tapi, setelah mengetahui ada surat rekomendasi dari Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, “yang salah satu poinnya kampus bisa memberikan diskon UKT,” rektor berkata akan mengonfirmasi dan membentuk tim untuk meninjau ulang tuntutan mahasiswa, ujar Ari.
Pada 10 Juni, para mahasiswa bertemu dengan rektor dan pejabat kampus lain. Mereka menuntut hal sama, tapi rektor menolaknya.
Alasan rektor, tuntutan mahasiswa tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Kemendikbud, menurut cerita Ari. “Rektor lebih mengoptimalkan KIP [Kartu Indonesia Pintar] terlebih dulu. Dan, rektor berdalih sulit membuat laporan pertanggungjawaban.”
Pada 15 Juni, pertemuan membahas hal serupa digelar, tapi jawaban rektor juga serupa: menolak membebaskan dan memberi diskon UKT ke para mahasiswa.
Mahasiswa Universitas Udayana protes. Mereka membuat dapur umum di depan rektorat selama satu bulan. Itu aksi simbolis demi membantu logistik teman-teman mereka yang terjebak di Bali, yang tidak bisa pulang ke daerah asal, yang tak punya uang.
Pada 13 Juli, Universitas Udayana merilis kebijakan meringankan pembayaran UKT semester ganjil. Namun, sama macam Universitas Hasanuddin, kebijakan ini berbasis pengajuan dan dibebani ragam syarat.
Akibat Nadiem Dianggap Tidak Tegas
Birokratis, prosedurnya seabrek, berbeda-beda tiap kampus menerapkan keringanan UKT selama pandemi, menurut kelompok-kelompok mahasiswa yang bersuara kritis, berpangkal dari kebijakan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Peraturan Mendikbud No. 25 Tahun 2020, yang diteken Nadiem pada 19 Juni, memberikan empat arahan ke kampus-kampus untuk meringankan beban UKT mahasiswa.
Pertama, UKT dapat disesuaikan untuk mahasiswa yang keluarganya terkendala finansial akibat pandemi COVID-19. Kedua, mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika cuti kuliah atau tidak mengambil SKS sama sekali (contohnya saat menunggu kelulusan.)
Ketiga, pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan/atau memberlakukan UKT baru terhadap mahasiswa. Dan keempat, mahasiswa pada masa akhir kuliah membayar paling tinggi 50% UKT jika mengambil kurang atau sama dengan enam satuan kredit semester (SKS).
Namun, dari arahan-arahan ini, tak ada satu pun arahan tegas kepada kampus untuk “harus” atau “wajib” meringankan biaya UKT kepada para mahasiswa. Semua arahan memakai diksi “dapat” atau “mahasiswa tidak wajib membayar”. Masing-masing kampus menerjemahkan sendiri dalam merumuskan kebijakan UKT.
Misalnya, sebagaimana di Unhas dan Udayana, kampus menerapkan keringanan UKT lewat sistem pengajuan. Para mahasiswa harus mengajukan diri, bukan pihak kampus yang berinisiatif meringkankan UKT ke seluruh mahasiswa selama pandemi. Toh, ia memang tidak diwajibkan oleh Nadiem.
Remy Hastian, Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), menilai kebijakan Nadiem “terlalu biasa.” Mekanisme penyanggahan dan pengajuan penurunan biaya UKT sudah tersedia dalam UU Pendidikan Tinggi 12/2012. Artinya, dalam situasi normal, mahasiswa yang ekonomi keluarganya bermasalah boleh menunda atau mengajukan keringanan UKT, ujar Remy.
Alhasil, salah satu risikonya, Permendikbud 25/ 2020 digugat ke Mahkamah Agung oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Penggugat menilai peraturan Nadiem ini berseberangan dengan undang-undang lain. Ia juga dianggap tak menyelesaikan masalah krisis ekonomi mahasiswa selama pandemi COVID-19.
Saat Kampus Punya Jalan Masing-Masing
Sementara ada kampus-kampus yang mengabaikan desakan mahasiswanya, Universitas Cenderawasih di Papua membuat kebijakan progresif. Rektor Apolo Safanpo merilis surat edaran pada 22 Juni yang mendengar kebutuhan mahasiswanya selama pandemi.
Salinan surat yang diterima redaksi Tirto ini menyebut Uncen memberi keringanan UKT 50%, kecuali penerima beasiswa. Uncen juga menggratiskan UKT bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan seluruh mata kuliah dan sudah selesai skripsi (atau tinggal menunggu proses wisuda).
Tak ada syarat-syarat rumit, tak ada keharusan mahasiswa yang mengajukan. Kebijakan itu terang dan tegas.
“Untuk semester ini, UKT kami dikurangi 50%. Ini untuk umum. Semua,” kata Yops Itlay dari BEM Universitas Cenderawasih.
Itlay, misalnya, yang kuliah hukum hanya akan membayar UKT Rp610.000 pada semester ganjil ini, dari yang seharusnya Rp.1.210.000.
“Memang kebijakan ini mempertimbangkan banyak mahasiswa yang orangtuanya tidak mampu. Akhirnya, bapak rektor sendiri, yang orangnya bijak, sehingga dia ambil keputusan seperti itu,” katanya.
Ada juga kampus yang tak cuma mengabaikan tapi cenderung merespons secara otoriter atas tuntutan mahasiswanya.
Contohnya Universitas Nasional, yang memecat alias men-DO beberapa mahasiswa karena dianggap “tidak santun” berdemonstrasi saat menuntut keringanan UKT dan transparansi kampus. Bahkan, salah satu mahasiswinya dilaporkan ke polisi. Ini terjadi sepanjang Juli.
Kasus serupa muncul di Universitas 17 Agustus 1945 (UTA ’45) Jakarta. Ratusan mahasiswa memprotes via media sosial dan sewaktu wisuda daring digelar. Mereka harus tetap membayar wisuda sekalipun upacara kelulusan diadakan via daring.
UTA '45, yang dipimpin Rektor Virgo Simamora, mengancam akan men-DO, mencabut beasiswa, hingga melaporkan ke polisi terhadap mahasiswa yang protes itu. Sepuluh mahasiswanya bahkan meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban karena merasa terancam.
Mirza Fahmi dari Lokataru Foundation, organisasi nirlaba yang mengadvokasi problem ini, menilai watak represif kampus makin menguat seperti halnya watak represif negara selama pandemi COVID-19.
“Alih-alih transparan, membuka dialog dengan mahasiswa, dan ramai-ramai menuntut stimulus lebih substansial buat sektor pendidikan tinggi," ujar Mirza, "kampus justru kembali ke default mode-nya: mendisiplinkan mahasiswa dengan sanksi akademik sewenang-wenang dan kriminalisasi."
Mirza mendesak Menteri Nadiem Makarim segera mengeluarkan kebijakan stimulus pendidikan tinggi yang lebih substansial, konkret, dan tegas ke semua pihak: mahasiswa, kampus negeri, dan kampus swasta.
Ia minta Kementerian Pendidikan di bawah Nadiem benar-benar menjalankan "Program Kampus Merdeka", yakni menegakkan kemerdekaan berpendapat "yang sudah dijamin konstitusi" di dalam kampus.
“Berhenti berlindung di balik dalil otonomi kampus, dan belalah hak-hak mahasiswa yang disanksi kampus secara sewenang-wenang," katanya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Fahri Salam